Malfungsi Rokok dan Mimpi Merawat Generasi
Sabtu, 06 Juni 2020 - 10:10 WIB
Yuliati Umrah
Pendiri Yayasan Arek Lintang Indonesia, Surabaya.
PERINGATAN Hari Tanpa Tembakau Sedunia (World No Tobacco Day) setiap tanggal 31 Mei 2020 punya nuansa berbeda. Bukan hanya karena gerakan yang menginisiasi para perokok dewasa untuk “berpuasa merokok” selama 24 jam tersebut berada di tengah pandemi Coronavirus Disease (Covid-19). Tapi, kampanye tahun ini juga fokus pada proteksi anak-anak dan remaja dari paparan produk tembakau dan nikotin.
Ya, anak-anak. Satu kelompok usia di masyarakat yang acapkali terabaikan saat kita berbicara satu produk kontroversial seperti rokok. Mereka yang menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2020 tentang Perlindungan Anak berusia kurang dari 18 tahun atau 19 tahun jika mengacu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sangat rentan terhadap penyalahgunaan rokok.
Celakanya, ancaman itu kini sudah terpampang di depan mata. Data menunjukkan jumlah perokok anak di Indonesia yang tinggi, mencapai 7,8 juta anak atau 9,1 persen. Jumlah ini diprediksi terus bertambah menjadi 15,8 juta anak atau 15,91 persen pada 2030.
Sumber data lain bahkan menyebutkan kini, dua dari lima anak Indonesia berusia 10-15 tahun mengisap 12 batang rokok per hari. Sungguh mengkhawatirkan di tengah harapan bonus demografi penduduk usia produktif (15-64 tahun) mencapai 64% dari total penduduk 297 juta jiwa pada tahun 2030-2040.
Sayangnya, saat berbicara rokok kita kerap terjebak berbagai mispersepsi. Padahal secara kategori, produk rokok sama dengan alkohol dan obat yang legal beredar namun harus diatur ketat konsumsinya.
Kita sering lupa bahwa persoalan utama paparan rokok, obat, dan minuman beralkohol terhadap anak, tidak seharusnya hanya berkutat pada produknya bermasalah, tetapi penyalahgunaan (malfungsi) konsumsinya.
Pendiri Yayasan Arek Lintang Indonesia, Surabaya.
PERINGATAN Hari Tanpa Tembakau Sedunia (World No Tobacco Day) setiap tanggal 31 Mei 2020 punya nuansa berbeda. Bukan hanya karena gerakan yang menginisiasi para perokok dewasa untuk “berpuasa merokok” selama 24 jam tersebut berada di tengah pandemi Coronavirus Disease (Covid-19). Tapi, kampanye tahun ini juga fokus pada proteksi anak-anak dan remaja dari paparan produk tembakau dan nikotin.
Ya, anak-anak. Satu kelompok usia di masyarakat yang acapkali terabaikan saat kita berbicara satu produk kontroversial seperti rokok. Mereka yang menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2020 tentang Perlindungan Anak berusia kurang dari 18 tahun atau 19 tahun jika mengacu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sangat rentan terhadap penyalahgunaan rokok.
Celakanya, ancaman itu kini sudah terpampang di depan mata. Data menunjukkan jumlah perokok anak di Indonesia yang tinggi, mencapai 7,8 juta anak atau 9,1 persen. Jumlah ini diprediksi terus bertambah menjadi 15,8 juta anak atau 15,91 persen pada 2030.
Sumber data lain bahkan menyebutkan kini, dua dari lima anak Indonesia berusia 10-15 tahun mengisap 12 batang rokok per hari. Sungguh mengkhawatirkan di tengah harapan bonus demografi penduduk usia produktif (15-64 tahun) mencapai 64% dari total penduduk 297 juta jiwa pada tahun 2030-2040.
Sayangnya, saat berbicara rokok kita kerap terjebak berbagai mispersepsi. Padahal secara kategori, produk rokok sama dengan alkohol dan obat yang legal beredar namun harus diatur ketat konsumsinya.
Kita sering lupa bahwa persoalan utama paparan rokok, obat, dan minuman beralkohol terhadap anak, tidak seharusnya hanya berkutat pada produknya bermasalah, tetapi penyalahgunaan (malfungsi) konsumsinya.
tulis komentar anda