Malfungsi Rokok dan Mimpi Merawat Generasi
Sabtu, 06 Juni 2020 - 10:10 WIB
Harus diakui, rokok yang berbahan baku tembakau dan cengkeh punya dimensi ekonomi dan tradisi panjang di Indonesia. Sektor ini menyerap total tenaga kerja 5,9 juta orang sekaligus menjadi penyumbang utama pendapatan cukai nasional. Indonesia juga adalah produsen nomor satu cengkeh dan terbesar keenam untuk tembakau di dunia.
Meski begitu, penyalahgunaan konsumsi kepada kelompok yang bukan semestinya seperti anak adalah sebuah kekeliruan. Pada anak, pangkal persoalan terjadi karena rokok mudah dijangkau peredaran maupun harganya. Akses rokok pada anak datang dari berbagai sumber, termasuk warung di dekat sekolah. Ini karena ada kaidah konsumsi dan distribusi yang diabaikan.
Demikian pula dengan harga. Setiap tahun pemerintah menaikkan cukai rokok dan memaksa harga rokok naik, bahkan mewajibkan harga jual dicetak di pita cukai bungkus rokok. Kenyataannya, banyak sekali merek yang harganya jauh lebih rendah dari harga minimal dari pemerintah. Akibatnya, harga rokok tetap saja terjangkau kantong anak-anak. Alhasil, kemudahan akses terhadap barang dan harga yang murah menjadi kombinasi yang sangat mendukung untuk anak terpapar konsumsi rokok.
Bisa dibayangkan betapa besar kerusakan yang timbul manakala persoalan ini tak segera dibereskan. Data Statistik Pendidikan 2019 menunjukkan sampai tahun ajaran 2018/2019, jumlah sekolah dari mulai sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, termasuk sekolah menengah kejuruan, mencapai 216.066 sekolah dengan jumlah siswa hingga 45,07 juta jiwa. Sungguh angka yang luar biasa besar.
Mencermati fenomena di atas, paling tidak ada tiga hal yang harus segera dilakukan agar anak-anak tak terpapar penyalahgunaan konsumsi rokok. Pertama, konsistensi pelaksanaan regulasi dan kaidah distribusi.
Sebagai contoh, konsumsi rokok sudah jelas diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Aturan itu mewajibkan rokok hanya diperuntukkan bagi penduduk berusia 18 tahun ke atas.
Oleh karenanya, penjual dan pembeli rokok perlu mendapat edukasi terus menerus terhadap hal ini, sekaligus tegas memberi sanksi bagi yang melanggar. Pemerintah pusat maupun daerah juga telah menetapkan berbagai aturan penguat lainnya. Tinggal dilaksanakan secara tepat, sehingga ketersediaan produk untuk diakses anak-anak dapat terkendali.
Kedua, pengaturan harga rokok. Kenaikan tarif cukai dan harga jual eceran setiap tahun bukanlah satu-satunya instrumen yang tepat untuk mengendalikan penyalahgunaan konsumsi rokok. Kebijakan ini tidak akan efektif manakala di saat yang sama pemerintah membolehkan pedagang menjual di bawah harga pita cukai yang membuat rokok tetap bisa dijual murah. Pemerintah seyogyanya perlu mengatur dan menegakkan aturan harga rokok minimal dijual sehargayang diatur pemerintah di pita cukai sehingga tidak terjangkau anak-anak.
Ketiga, edukasi manfaat dan bahaya produk tembakau. Bagian ini tidak kalah penting dari sekadar penertiban aturan konsumsi, distribusi, dan harga. Anak-anak harus tahu apa sesungguhnya manfaat dan bahaya produk tembakau, khususnya rokok. Dengan demikian, ia akan mampu mengukur risiko yang timbul.
Mencegah paparan produk rokok terhadap anak di Indonesia tidak bisa hanya berhenti pada polemik kontribusi produk tembakau sebagai pendapatan negara. Walaupun tak bisa dipungkiri rokok berkontribusi besar terhadap negara dalam hal ekonomi dan tenaga kerja, namun Pemerintah seharusnya tidak mengedepankan sisi penerimaan saja tapi juga mendorong fungsi pengawasan konsumsi rokok sebagai salah satu barang kena cukai, khususnya penyalahgunaan konsumsi rokok pada anak.
Meski begitu, penyalahgunaan konsumsi kepada kelompok yang bukan semestinya seperti anak adalah sebuah kekeliruan. Pada anak, pangkal persoalan terjadi karena rokok mudah dijangkau peredaran maupun harganya. Akses rokok pada anak datang dari berbagai sumber, termasuk warung di dekat sekolah. Ini karena ada kaidah konsumsi dan distribusi yang diabaikan.
Demikian pula dengan harga. Setiap tahun pemerintah menaikkan cukai rokok dan memaksa harga rokok naik, bahkan mewajibkan harga jual dicetak di pita cukai bungkus rokok. Kenyataannya, banyak sekali merek yang harganya jauh lebih rendah dari harga minimal dari pemerintah. Akibatnya, harga rokok tetap saja terjangkau kantong anak-anak. Alhasil, kemudahan akses terhadap barang dan harga yang murah menjadi kombinasi yang sangat mendukung untuk anak terpapar konsumsi rokok.
Bisa dibayangkan betapa besar kerusakan yang timbul manakala persoalan ini tak segera dibereskan. Data Statistik Pendidikan 2019 menunjukkan sampai tahun ajaran 2018/2019, jumlah sekolah dari mulai sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, termasuk sekolah menengah kejuruan, mencapai 216.066 sekolah dengan jumlah siswa hingga 45,07 juta jiwa. Sungguh angka yang luar biasa besar.
Mencermati fenomena di atas, paling tidak ada tiga hal yang harus segera dilakukan agar anak-anak tak terpapar penyalahgunaan konsumsi rokok. Pertama, konsistensi pelaksanaan regulasi dan kaidah distribusi.
Sebagai contoh, konsumsi rokok sudah jelas diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Aturan itu mewajibkan rokok hanya diperuntukkan bagi penduduk berusia 18 tahun ke atas.
Oleh karenanya, penjual dan pembeli rokok perlu mendapat edukasi terus menerus terhadap hal ini, sekaligus tegas memberi sanksi bagi yang melanggar. Pemerintah pusat maupun daerah juga telah menetapkan berbagai aturan penguat lainnya. Tinggal dilaksanakan secara tepat, sehingga ketersediaan produk untuk diakses anak-anak dapat terkendali.
Kedua, pengaturan harga rokok. Kenaikan tarif cukai dan harga jual eceran setiap tahun bukanlah satu-satunya instrumen yang tepat untuk mengendalikan penyalahgunaan konsumsi rokok. Kebijakan ini tidak akan efektif manakala di saat yang sama pemerintah membolehkan pedagang menjual di bawah harga pita cukai yang membuat rokok tetap bisa dijual murah. Pemerintah seyogyanya perlu mengatur dan menegakkan aturan harga rokok minimal dijual sehargayang diatur pemerintah di pita cukai sehingga tidak terjangkau anak-anak.
Ketiga, edukasi manfaat dan bahaya produk tembakau. Bagian ini tidak kalah penting dari sekadar penertiban aturan konsumsi, distribusi, dan harga. Anak-anak harus tahu apa sesungguhnya manfaat dan bahaya produk tembakau, khususnya rokok. Dengan demikian, ia akan mampu mengukur risiko yang timbul.
Mencegah paparan produk rokok terhadap anak di Indonesia tidak bisa hanya berhenti pada polemik kontribusi produk tembakau sebagai pendapatan negara. Walaupun tak bisa dipungkiri rokok berkontribusi besar terhadap negara dalam hal ekonomi dan tenaga kerja, namun Pemerintah seharusnya tidak mengedepankan sisi penerimaan saja tapi juga mendorong fungsi pengawasan konsumsi rokok sebagai salah satu barang kena cukai, khususnya penyalahgunaan konsumsi rokok pada anak.
tulis komentar anda