Pengerahan Militer Tangani Terorisme Harus Ketat dan Selektif
Selasa, 02 Juni 2020 - 08:02 WIB
JAKARTA - Pengerahan militer dalam sebuah operasi, termasuk terorisme, harus dilakukan secara ketat dan selektif. (Baca juga: Ahli Hukum Tata Negara UGM Sebut Perpres TNI Atasi Terorisme Bermasalah)
Koordinator peneliti Imparsial, Ardimanto Adiputra menekankan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Menangani Aksi Terorisme bukanlah solusi karena negara tidak sedang dalam kondisi gawat terorisme. Dirinya sependapat TNI dibutuhkan dalam penanganan terorisme namun sifatnya hanya membantu, khususnya di daerah-daerah tertentu yang memiliki medan berat seperti hutan belantara. (Baca juga: Pemerintah Didesak Perbaiki Rancangan Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme)
“Pelibatan TNI dalam menghadapi terorisme di dalam negeri saat ini belum urgent, baru sebatas supporting (perbantuan) kepada institusi penegak hukum, itupun hanya untuk kasus tertentu seperti di Poso mengingat area operasinya adalah hutan belantara dimana aparat penegak hukum tidak terlatih untuk itu. Dalam operasi terorisme di Poso, pelibatan TNI sudah benar,” kata Ardimanto, Selasa (2/6/2020). (Baca juga: Ubah Citra Positif, Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme Harus Dicabut)
Bahkan yang sifatnya membantu pun, keterlibatan TNI dalam kasus tertentu penanganan terorisme tukas Ardimanto, tak urung masih ada yang cacat prosedural. Sebagai salah satu contoh perbantuan penanganan teror oleh TNI di Poso tanpa ada keputusan politik melibatkan DPR. (Baca juga: Perpres Tugas TNI Atasi Terorisme Picu Polemik, Begini Reaksi Kapuspen)
“Proses pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme, termasuk di Poso, terdapat cacat prosedural. Seharusnya pelibatan tersebut dilakukan berdasarkan keputusan politik negara yangbdibuat bersama DPR sebagai fungsi check and balances. (Pasal 7 ayat 3 UU TNI). Hal ini diperlukan agar ada akuntabilitas penggunaan alat tempur negara (militer) yang terukur dan bisa dipertanggungjawabkan. Prinsipnya, pengerahan atau penggunaan militer dalam sebuah operasi, termasuk terorisme, harus dilakukan secara ketat dan selektif,” sambungnya.
Alih-alih menjadi solusi, rancangan perpres tentang pelibatan TNI dalam penanganan terorisme yang beredar saat ini dinilainya bahkan bertentangan dengan UU TNI Pasal 7 ayat 2 dan 3. Perpres tersebut mempertegas tak diperlukannya pengawasan oleh parlemen. Bahkan perpres tersebut rentan terjadi penyalahgunaan anggaran karena minim akuntabilitas.
“Karena menghilangkan kewajiban adanya keputusan politik negara yang dibuat bersama DPR. Selain itu rancangan perpres juga bertentangan dengan UU TNI tentang sumber anggaran dapat digunakan untuk penanganan terorisme oleh TNI dapat bersumber selain APBN, yakni APBD, dan sumber lain yang tidak mengikat. Hal ini berpotensi terjadi penyalahgunaan karena minim akuntabilitas,” timpal Ardimanto.
Seperti diberitakan sebelumnya, awal Mei 2020 lalu pemerintah menyerahkan draf Peraturan Presiden tentang tugas TNI dalam mengatasi Aksi Terorisme ke DPR. Penyerahan rancangan perpres yang dilakukan di tengah pandemi Covid 19 itu sontak memicu reaksi penolakan oleh sejumlah aktivis, akademisi hingga tokoh masyarakat melalui penandatanganan petisi. Ardimanto termasuk salah satu aktivis yang menandatangani Petisi Bersama Masyarakat Sipil tertanggal 27 Mei tersebut.
Adapun para tokoh yang menandatangani petisi tersebut di antaranya, Ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM), M. Najib Azca, guru besar Fisipol UGM Mochtar Mas'oed dan Yunizar Adiputera MA, guru besar FH UGM Sigit Riyanto, PSKP UGM Arifah Rahmawati, dosen FISIP UI Nur Iman Subono, Alissa Wahid, putri mendiang Gus Dur.
Dosen Universitas Paramadina Phil Shiskha Prabawaningtyas, mantan legislator Nursyahbani Katjasungkana, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Direktur Riset di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, Usman Hamid. Termasuk pengajar Universitas Syiah Kuala Aceh Otto Nur Abdullah, pengajar FISIP UIN Jakarta Saiful Mujani, Sekjen PBHI Julius Ibrani, Direktur Imparsial Al Araf, dan pegiat Antikorupsi Emerson Yuntho.
Koordinator peneliti Imparsial, Ardimanto Adiputra menekankan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Menangani Aksi Terorisme bukanlah solusi karena negara tidak sedang dalam kondisi gawat terorisme. Dirinya sependapat TNI dibutuhkan dalam penanganan terorisme namun sifatnya hanya membantu, khususnya di daerah-daerah tertentu yang memiliki medan berat seperti hutan belantara. (Baca juga: Pemerintah Didesak Perbaiki Rancangan Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme)
“Pelibatan TNI dalam menghadapi terorisme di dalam negeri saat ini belum urgent, baru sebatas supporting (perbantuan) kepada institusi penegak hukum, itupun hanya untuk kasus tertentu seperti di Poso mengingat area operasinya adalah hutan belantara dimana aparat penegak hukum tidak terlatih untuk itu. Dalam operasi terorisme di Poso, pelibatan TNI sudah benar,” kata Ardimanto, Selasa (2/6/2020). (Baca juga: Ubah Citra Positif, Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme Harus Dicabut)
Bahkan yang sifatnya membantu pun, keterlibatan TNI dalam kasus tertentu penanganan terorisme tukas Ardimanto, tak urung masih ada yang cacat prosedural. Sebagai salah satu contoh perbantuan penanganan teror oleh TNI di Poso tanpa ada keputusan politik melibatkan DPR. (Baca juga: Perpres Tugas TNI Atasi Terorisme Picu Polemik, Begini Reaksi Kapuspen)
“Proses pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme, termasuk di Poso, terdapat cacat prosedural. Seharusnya pelibatan tersebut dilakukan berdasarkan keputusan politik negara yangbdibuat bersama DPR sebagai fungsi check and balances. (Pasal 7 ayat 3 UU TNI). Hal ini diperlukan agar ada akuntabilitas penggunaan alat tempur negara (militer) yang terukur dan bisa dipertanggungjawabkan. Prinsipnya, pengerahan atau penggunaan militer dalam sebuah operasi, termasuk terorisme, harus dilakukan secara ketat dan selektif,” sambungnya.
Alih-alih menjadi solusi, rancangan perpres tentang pelibatan TNI dalam penanganan terorisme yang beredar saat ini dinilainya bahkan bertentangan dengan UU TNI Pasal 7 ayat 2 dan 3. Perpres tersebut mempertegas tak diperlukannya pengawasan oleh parlemen. Bahkan perpres tersebut rentan terjadi penyalahgunaan anggaran karena minim akuntabilitas.
“Karena menghilangkan kewajiban adanya keputusan politik negara yang dibuat bersama DPR. Selain itu rancangan perpres juga bertentangan dengan UU TNI tentang sumber anggaran dapat digunakan untuk penanganan terorisme oleh TNI dapat bersumber selain APBN, yakni APBD, dan sumber lain yang tidak mengikat. Hal ini berpotensi terjadi penyalahgunaan karena minim akuntabilitas,” timpal Ardimanto.
Seperti diberitakan sebelumnya, awal Mei 2020 lalu pemerintah menyerahkan draf Peraturan Presiden tentang tugas TNI dalam mengatasi Aksi Terorisme ke DPR. Penyerahan rancangan perpres yang dilakukan di tengah pandemi Covid 19 itu sontak memicu reaksi penolakan oleh sejumlah aktivis, akademisi hingga tokoh masyarakat melalui penandatanganan petisi. Ardimanto termasuk salah satu aktivis yang menandatangani Petisi Bersama Masyarakat Sipil tertanggal 27 Mei tersebut.
Adapun para tokoh yang menandatangani petisi tersebut di antaranya, Ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM), M. Najib Azca, guru besar Fisipol UGM Mochtar Mas'oed dan Yunizar Adiputera MA, guru besar FH UGM Sigit Riyanto, PSKP UGM Arifah Rahmawati, dosen FISIP UI Nur Iman Subono, Alissa Wahid, putri mendiang Gus Dur.
Dosen Universitas Paramadina Phil Shiskha Prabawaningtyas, mantan legislator Nursyahbani Katjasungkana, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Direktur Riset di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, Usman Hamid. Termasuk pengajar Universitas Syiah Kuala Aceh Otto Nur Abdullah, pengajar FISIP UIN Jakarta Saiful Mujani, Sekjen PBHI Julius Ibrani, Direktur Imparsial Al Araf, dan pegiat Antikorupsi Emerson Yuntho.
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda