Reformasi Pajak Penghasilan
Rabu, 25 Agustus 2021 - 07:18 WIB
Selain itu, semakin banyak WP Badan yang menggunakan skema penghindaran pajak. Dan hal tersebut telah menjadi permasalah global. Berdasarkan data dari UNCTAD pada 2013, sekitar 60-80% perdagangan dunia merupakan transaksi afiliasi yang dilakukan oleh perusahaan multinasional. Di Indonesia sendiri jumlahnya mencapai 37-42% dari PDB, dilaporkan sebagai transaksi afiliasi dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) WP. Maraknya praktik penghindaran pajak (tax avoidance) oleh WP Badan ini semakin mengerus realisasi penerimaan PPh. Hal ini menjadi perhatian pemerintah untuk merumuskan agenda reformasi PPh ke depannya.
Di instrumen PPh OP lebih runyam lagi. Selain penerimaannya sangat rendah, rata-rata hanya Rp84,6 triliun per tahun, instrumen ini sangat tidak berkeadilan. Kontribusi PPh OP dengan tarif tertinggi (30% untuk kelompok Penghasilan Kena Pajak/PKP lebih dari Rp5 miliar setahun) hanya 1,42% dari total WP OP. Jumlah WP OP dari kelompok ini juga hanya 0,03%. Bandingkan dengan WP OP kelompok PKP Rp0-50 juta sebesar 85,66% dan Rp50-250 juta sebesar 10,87%. Ini menunjukan minimnya penerimaan PPh OP pada kelompok berpenghasilan tinggi di Indonesia.
Meski tarif PPh OP ini bersifat progresif, tapi dengan kondisi lapisan PKP (tax bracket) yang hanya 4 lapis dan tarif tertinggi 30%, maka prinsip-prinsip keadilan dalam pengenaan PPh pada instrumen ini tidak optimal. Di banyak negara, tax bracket bisa mencapai 7-11 lapis PKP dengan tarif tertinggi mencapai 35-75%. Semakin banyak tax bracket, semakin optimal penerapan pajak progresif.
Dari kondisi di atas, ada tiga agenda reformasi yang perlu didorong dalam instrumen PPh. Pertama, perlu menerapakan kebijakan alternative minimum tax. Kebijakan ini merespon banyaknya WP Badan yang melaporkan rugi, sehingga tidak membayar pajak. Dengan kebijakan alternative minimum tax, pemerintah bisa menarik pajak dengan menghitungnya dari penghasilan bruto, misalnya 1% dari penghasilan bruto. Jika ini bisa dilakukan, maka tidak ada lagi WP Badan yang tidak membayar pajak karena alasan rugi.
Kedua, melakukan perubahan terhadap tax bracket dan tarif PPh OP. Perubahan ini penting agar bisa mengoptimalkan tarif pajak progresif pada kelompok PKP yang berpenghasilan tinggi. Sarannya adalah menambah satu sampai dua lapis lagi kelompok PKP besar dari Rp500 juta dan menaikan tarif tertinggi sebesar 35-40% pada lapisan PKP tertinggi.
Ketiga, memasukan instrumen general anti-avoidance rule (GAAR) sebagai upaya pemerintah untuk mengejar transaksi-transaksi yang bertujuan menghindari pembayaran pajak. Instrumen ini penting, agar otoritas pajak memiliki kewenangan besar mengejar pelaku penghindaran tersebut. Pemerintah bisa mengadopsi instrumen GAAR dari dokumen BEPS Action Plan yang direkomendasikan oleh OECD dan telah banyak diterapkan di berbagai negara. Tiga agenda perbaikan ini harus bisa masuk ke dalam RUU KUP dan menjadi basis dalam reformasi PPh di Indonesia.
Di instrumen PPh OP lebih runyam lagi. Selain penerimaannya sangat rendah, rata-rata hanya Rp84,6 triliun per tahun, instrumen ini sangat tidak berkeadilan. Kontribusi PPh OP dengan tarif tertinggi (30% untuk kelompok Penghasilan Kena Pajak/PKP lebih dari Rp5 miliar setahun) hanya 1,42% dari total WP OP. Jumlah WP OP dari kelompok ini juga hanya 0,03%. Bandingkan dengan WP OP kelompok PKP Rp0-50 juta sebesar 85,66% dan Rp50-250 juta sebesar 10,87%. Ini menunjukan minimnya penerimaan PPh OP pada kelompok berpenghasilan tinggi di Indonesia.
Meski tarif PPh OP ini bersifat progresif, tapi dengan kondisi lapisan PKP (tax bracket) yang hanya 4 lapis dan tarif tertinggi 30%, maka prinsip-prinsip keadilan dalam pengenaan PPh pada instrumen ini tidak optimal. Di banyak negara, tax bracket bisa mencapai 7-11 lapis PKP dengan tarif tertinggi mencapai 35-75%. Semakin banyak tax bracket, semakin optimal penerapan pajak progresif.
Dari kondisi di atas, ada tiga agenda reformasi yang perlu didorong dalam instrumen PPh. Pertama, perlu menerapakan kebijakan alternative minimum tax. Kebijakan ini merespon banyaknya WP Badan yang melaporkan rugi, sehingga tidak membayar pajak. Dengan kebijakan alternative minimum tax, pemerintah bisa menarik pajak dengan menghitungnya dari penghasilan bruto, misalnya 1% dari penghasilan bruto. Jika ini bisa dilakukan, maka tidak ada lagi WP Badan yang tidak membayar pajak karena alasan rugi.
Kedua, melakukan perubahan terhadap tax bracket dan tarif PPh OP. Perubahan ini penting agar bisa mengoptimalkan tarif pajak progresif pada kelompok PKP yang berpenghasilan tinggi. Sarannya adalah menambah satu sampai dua lapis lagi kelompok PKP besar dari Rp500 juta dan menaikan tarif tertinggi sebesar 35-40% pada lapisan PKP tertinggi.
Ketiga, memasukan instrumen general anti-avoidance rule (GAAR) sebagai upaya pemerintah untuk mengejar transaksi-transaksi yang bertujuan menghindari pembayaran pajak. Instrumen ini penting, agar otoritas pajak memiliki kewenangan besar mengejar pelaku penghindaran tersebut. Pemerintah bisa mengadopsi instrumen GAAR dari dokumen BEPS Action Plan yang direkomendasikan oleh OECD dan telah banyak diterapkan di berbagai negara. Tiga agenda perbaikan ini harus bisa masuk ke dalam RUU KUP dan menjadi basis dalam reformasi PPh di Indonesia.
(bmm)
tulis komentar anda