Reformasi Pajak Penghasilan
Rabu, 25 Agustus 2021 - 07:18 WIB
Wiko Saputra
Peneliti Kebijakan Publik
REALISASI penerimaan pajak compang-camping dihantam oleh pandemi Covid-19. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, pada 2020, total realisasi penerimaan pajak hanya sebesar Rp1.070 triliun atau 89,3% dari target pemerintah. Angka tersebut terkontraksi sebesar 19,7% dibandingkan realisasi penerimaan pajak pada 2019. Begitu juga pada semester I/2021, penerimaan pajak baru tumbuh sebesar 4,89%. Bahkan, pajak penghasilan (PPh) badan masih terkontraksi sebesar 7,3% (YoY)
Pandemi Covid-19 menjadi alasan melemahnya penerimaan pajak. Meski demikian, alasan tersebut tidak sepenuhnya benar. Memang akibat pandemi, perekonomian Indonesia terkontraksi sebesar 2,07% pada 2020. Untuk menekan agar tidak mengalami kontraksi yang lebih dalam, pemerintah memberikan berbagai insentif pajak, seperti diskon angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan potongan tarif PPh Badan. Sehingga, berakibat pada berkurangnya penerimaan pajak.
Meski demikian, rendahnya realisasi penerimaan pajak tersebut sudah menjadi gejala lama, bahkan sebelum pandemi. Terbukti, data nisbah bagi hasil antara realisasi penerimaan pajak terhadap PDB atau tax ratio selalu mengalami penurunan. Menarikanya, perkembangan tax ratio belum mengikuti perkembangan PDB. Tax ratioIndonesia pada 2020 hanya 7,9%. Ini mirip dengan rata-rata tax ratio kelompok negara miskin (low income countries).
Ke depan, gejala pelemahan penerimaan pajak ini akan terus terjadi dan menambah tinggi risikonya dengan efek pandemi. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk melakukan reformasi perpajakan di Indonesia. Patut disyukuri, agenda reformasi tersebut sudah mulai dilakukan oleh pemerintah dengan mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Agenda Reformasi
Salah satu yang perlu dilakukan adalah reformasi instrumen PPh. Dalam komponen penerimaan pajak, penerimaan PPh merupakan yang terbesar jumlahnya, kontribusinya mencapai 55,5% dari total penerimaan pajak. Meski terbesar, realisasi penerimaannya setiap tahun cenderung menurun. Pada 2020, total penerimaan PPh (migas dan non migas) sebesar Rp593,9 triliun, jauh lebih rendah dibandingkan penerimaan PPh pada 2019 yang mencapai Rp772,3 triliun.
Banyak persoalan yang terjadi dalam penerimaan PPh tersebut. Hal yang krusial terjadi pada PPh Badan dan PPh Orang Pribadi (OP). Pada PPh Badan, kita menghadapi kondisi, semakin banyaknya Wajib Pajak (WP) Badan yang melaporkan kerugian dalam laporan pajaknya. Berdasarkan laporan dari Kementerian Keuangan, pada 2012, ada sekitar 8% dari total WP Badan yang terdaftar yang melaporkan rugi, sedangkan pada 2019 meningkat menjadi 11%. Anehnya, ada yang melaporkan terus merugi selama lima tahun berturut-turut. Jumlahnya pada periode 2015-2019 mencapai 9.496 WP. Tapi, usaha mereka terus berkembang bahkan terus berekspansi.
Peneliti Kebijakan Publik
REALISASI penerimaan pajak compang-camping dihantam oleh pandemi Covid-19. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, pada 2020, total realisasi penerimaan pajak hanya sebesar Rp1.070 triliun atau 89,3% dari target pemerintah. Angka tersebut terkontraksi sebesar 19,7% dibandingkan realisasi penerimaan pajak pada 2019. Begitu juga pada semester I/2021, penerimaan pajak baru tumbuh sebesar 4,89%. Bahkan, pajak penghasilan (PPh) badan masih terkontraksi sebesar 7,3% (YoY)
Pandemi Covid-19 menjadi alasan melemahnya penerimaan pajak. Meski demikian, alasan tersebut tidak sepenuhnya benar. Memang akibat pandemi, perekonomian Indonesia terkontraksi sebesar 2,07% pada 2020. Untuk menekan agar tidak mengalami kontraksi yang lebih dalam, pemerintah memberikan berbagai insentif pajak, seperti diskon angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan potongan tarif PPh Badan. Sehingga, berakibat pada berkurangnya penerimaan pajak.
Meski demikian, rendahnya realisasi penerimaan pajak tersebut sudah menjadi gejala lama, bahkan sebelum pandemi. Terbukti, data nisbah bagi hasil antara realisasi penerimaan pajak terhadap PDB atau tax ratio selalu mengalami penurunan. Menarikanya, perkembangan tax ratio belum mengikuti perkembangan PDB. Tax ratioIndonesia pada 2020 hanya 7,9%. Ini mirip dengan rata-rata tax ratio kelompok negara miskin (low income countries).
Ke depan, gejala pelemahan penerimaan pajak ini akan terus terjadi dan menambah tinggi risikonya dengan efek pandemi. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk melakukan reformasi perpajakan di Indonesia. Patut disyukuri, agenda reformasi tersebut sudah mulai dilakukan oleh pemerintah dengan mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Agenda Reformasi
Salah satu yang perlu dilakukan adalah reformasi instrumen PPh. Dalam komponen penerimaan pajak, penerimaan PPh merupakan yang terbesar jumlahnya, kontribusinya mencapai 55,5% dari total penerimaan pajak. Meski terbesar, realisasi penerimaannya setiap tahun cenderung menurun. Pada 2020, total penerimaan PPh (migas dan non migas) sebesar Rp593,9 triliun, jauh lebih rendah dibandingkan penerimaan PPh pada 2019 yang mencapai Rp772,3 triliun.
Banyak persoalan yang terjadi dalam penerimaan PPh tersebut. Hal yang krusial terjadi pada PPh Badan dan PPh Orang Pribadi (OP). Pada PPh Badan, kita menghadapi kondisi, semakin banyaknya Wajib Pajak (WP) Badan yang melaporkan kerugian dalam laporan pajaknya. Berdasarkan laporan dari Kementerian Keuangan, pada 2012, ada sekitar 8% dari total WP Badan yang terdaftar yang melaporkan rugi, sedangkan pada 2019 meningkat menjadi 11%. Anehnya, ada yang melaporkan terus merugi selama lima tahun berturut-turut. Jumlahnya pada periode 2015-2019 mencapai 9.496 WP. Tapi, usaha mereka terus berkembang bahkan terus berekspansi.
tulis komentar anda