Kebenaran Dahulu, Kebagusan Kemudian: Refleksi Kesenian saat Pandemi

Selasa, 27 Juli 2021 - 17:14 WIB
Sebagai dicontohkan di atas, agenda-agenda program, misalnya sebuah event seni besar program Dewan Kesenian yang memaknai Doxa sebagai seperangkat kriteria, semacam tata-tertib dan aturan estetis, nilai-nilai tertentu, kesepakatan-kesepakatan dan wacana yang mengatur sedemikian rupa gelanggang seni seolah-olah itu adalah sesuatu yang wajar dan sesuai dengan fitrah akal sehat.

Stimulus dan Hibah serta Tujuh Kebijakan Barat

Maka yang disebut gerhana, dalam polemik seni rupa beberapa waktu ini di media-media online dan koran cetak idealnya bermuara pada konsepsi seni berparas etik dan pragmatik.

Bagaimana sejatinya hibah senilai Rp2,4 triliun yang akan digelontorkan pada akhir Juli 2021 dan di masa pandemi untuk sektor ekonomi kreatif, budaya dan seni pun stimulus-stimulus lainnya yang dijanjikan pemerintah tersebut seharusnya bisa dikontrol dan dijamin transparan serta tepat sasaran dalam tulisan-tulisan polemik di media massa?

Bagaimana juga Kemendikbud, Kemenparekraf, Kemenkeu, dan Kemenperin bisa saling terbuka dan bersinergi bertanggung jawab terhadap penggelontoran dana-dana tersebut? Konsep Doxa, kemudian mengemuka dengan catatan tentang seberapa adil, kompetensi dan kriteria bagi penerima hibah itu kelak?

Ingatan tentang kebijakan-kebijakan yang harus dilakukan Pemerintah di masa krisis ini, mau tidak mau tertaut pada seorang ahli kebijakan publik dan pakar geo-politik dan ilmuwan sosial sohor, Kishore Mahbubani. Buku karyanya, Asia Hemisfer Baru Dunia: Pergeseran Kekuatan Global ke Timur yang Tak Terelakkan (2008) terpatri dalam benak. Mahbubani menemukan konsep penemuan jati diri bangsa Asia, setelah 200 tahun dihegemoni oleh Barat pada abad 21 ini telah “terbebaskan” yang justru karena telah meniru Barat.

Sementara bangsa Barat (terutama oleh pemerintahnya masing-masing) telah menjauh dari keyakinan “prinsip-prinsip kebijaksanaan Barat sendiri”. Barat cenderung mengutamakan energi aktif untuk berkonflik di beberapa kawasan, menerapkan pasar bebas yang ambigu, seperti adanya proteksi produk-produk Barat tertentu.

Juga bagaimana Barat hari ini ternyata sistem demokratisasinya terinfeksi faham non meritokrasi, yang menerima nilai-nilai kekerabatan dan perkoncoan ketimbang kemampuan dan kemandirian nalar manusia pada sisi yang objektif.

Menurut Mabhubani bisa ditelaah dalam Tujuh Kebijakan Barat itu di dalam tujuh kriteria seperti: pasar bebas, meritokrasi, pragmatisme, iptek, budaya damai, pendidikan dan penegakan hukum. Yang dalam bukunya Mabhubani menyebutnya dengan istilah Asia dengan modal itu sedang “Berbaris Ke Arah Modernitas”.

Dari Tesis Mahbubani tersebut, tentunya perwakilan teritori Asia telah berhasil pulih dari pandemi, bahkan mencengangkan performanya yakni kebijakan publik ala China layak ditiru. Setidaknya dalam konteks penerima dan pengelolaan dana hibah yang tepat sasaran sesuai dengan prinsip-prinsip meritokrasi dan keadilan sosial.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More