Kehilangan Orang Tua akibat Covid-19, Ribuan Anak Butuh Bantuan

Senin, 26 Juli 2021 - 13:47 WIB
Mengenai data jumlah anak yang menjadi yatim akibat Covid-19, Kemen PPPA mengaku tidak punya. Data soal anak yatim disebut ada pada Kementerian Sosial. Agustina mengatakan, tugas pokok dan fungsi Kemen PPPA, serta mandat perlindungan anak sesuai arahan Presiden kepada Menteri PPPA memang terkait dengan kondisi anak yang terpaksa mengalami keterpisahan dengan orang tua karena terdampak Covid-19.

Karena itu, ada sejumlah langkah perlindungan yang akan diambil demi menjamin terpenuhinya hak anak. Di antaranya, pertama, melalui keluarga. Kemen PPPA melalui 189 unit layanan keluarga yaitu pusat pembelajaran keluarga (puspaga) menjadikan keluarga sebagai pelopor dan pelapor akan pentingnya pengasuhan berbasis hak anak. "Hak anak yang diasuh oleh orang tua, jika tidak ada maka keluarga pengganti yang bertanggung jawab," ujarnya.

Kedua, melalui sekolah dan madrasah ramah anak. Dari sini akan dimonitor hak pendidikan bagi anak yang mengalami dampak keterpisahan dari orang tuanya. Ketiga, melalui puskesmas ramah anak. Kesehatan anak akan selalu dipastikan melalui puskesmas yang ada.

Keempat, melalui rumah ibadah ramah anak. Dijelaskan bahwa masyarakat dapat berperan serta dengan turut melakukan pengasuhan bersama sementara kepada anak. "Dengan dibantu para tokoh agama, tokoh adat, itu untuk memastikan bahwa anak diasuh oleh keluarga pengganti," katanya.

Negara Harus Jamin Hak Anak

Banyaknya anak yang kehilangan orangtua akibat Covid-19 mengundang keprihatinan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Lembaga ini mendorong pemerintah daerah (pemda) memastikan pemenuhan hak anak-anak yang kehilangan orangtuanya tersebut, seperti hak atas pendidikan, hak pemenuhan kesehatan, dan memastikan sang anak dalam pengasuhan keluarga terdekat.

“Kalaupun harus masuk ke panti asuhan, itu adalah pilihan terakhir,” ujar Komisioner KPAI Retno Listyarti, Minggu (25/7/2021).

Penanganan anak-anak tanpa orang tua akibat Covid-19 menurut dia memerlukan kehadiran negara dalam bentuk dukungan APBN dan APBD. Kelangsungan hidup serta masa depan anak-anak, terutama yang masih di bawah umur, harus bisa dijamin oleh negara.

Dalam hal kesehatan KPAI mendorong pemerintah melengkapi imunisasi dasar untuk balita dan anak-anak, karena program tersebut menurun selama pandemi. Jika kondisinya makin menurun, maka dapat berpotensi memicu wabah lainnya.

“Pandemi mengakibatkan layanan dasar kesehatan berupa pemberian imunisasi dan vaksin seperti polio, hepatitis B, dan lain-lain pada anak-anak balita menurun. Hal ini disebabkan para orangtua khawatir anak-anaknya tertular Covid-19 jika dibawa ke fasilitas kesehatan,” ujarnya.

KPAI juga mendorong pemerintah dan pemerintah daerah mempercepat program vaksinasi Covid-19 pada anak usia 12-17 tahun agar segera terbentuk kekebalan komunitas, termasuk kekebalan di lingkungan satuan pendidikan ketika PTM (pembelajaran tatap muka) digelar nanti.

Dalam hal hak pendidikan, KPAI mendorong pemerintah, termasuk pemda, memberikan beasiswa dan fasilitas belajar daring. Tujuannya mencegah anak-anak putus sekolah karena alasan ekonomi, seperti tidak mampu membayar SPP, tidak memiliki alat belajar daring, terpaksa harus bekerja membantu orang tuanya, dan menikah di usia anak.

Retno juga meminta pemerintah untuk membuat pasal khusus mengenai perlindungan anak pada situasi bencana, baik dalam Undang-Undang (UU) Kebencanaan maupun dalam UU Perlindungan Anak. Pada dua regulasi tersebut, kata dia, tidak ditemukan pasal yang spesifik mengatur perlindungan anak pada situasi bencana.

Anak Terancam Perkawinan di Bawah Umur

Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor mengatakan dukungan secara psikologis sangat dibutuhkan oleh anak yang kehilangan orangtua akibat Covid-19. Sudah seharusnya pemerintah bergerak cepat untuk membantu anak -anak tersebut.

Dimulai dari struktur pemerintahan paling bawah yakni RT, RW dan kelurahan dengan menyiapkan data untuk disampaikan kepada pemerintah daerah setempat. Kemudian Kementerian Sosial dapat bekerja sama dengan Kemen PPPA untuk membuat kebijakan demi memperhatikan masa depan anak anak yang ditinggal orangtuanya. Apalagi, banyak anak-anak yang kehilangan orang tua berasal dari keluarga kurang mampu.

Dia mengakui anak perempuan usia remaja yang tanpa orang tua tersebut bisa mengalami kekerasan dengan dipaksa dinikahkan. Komnas Perempuan memang diakuinya belum punya data akurat mengenai hal ini. Namun data Unicef dapat menjadi acuan yang menjelaskan bahwa pernikahan anak mencapai 10 juta dalam dekade terakhir termasuk selama pandemi.

"Meski data secara global tetapi ini menjadi realitas di negara-negara berkembang. Sebelumnya juga memang Indonesia mencatatkan angka tinggi untuk perkawinan anak. Bisa dibayangkan di situasi pandemi, seperti apa di Indonesia, terutama bagi keluarga yang tidak mampu," ungkapnya, Minggu (25/7/2021).

Dijelaskan, pemerintah sebenarnya sudah punya rencana strategis mengenai aturan pernikahan anak yang disusun sebelum masa pandemi yakni pada 2018-2019 dan diluncurkan pada awal 2020. Karena fakta terjadi pandemi, pemerintah diharapkan menyususn ulang strategi nasional sesuai dengan situasi saat ini.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More