Harapan bagi Pegawai KPK Nonaktif
Kamis, 15 Juli 2021 - 14:34 WIB
Pertanyaannya adalah apakah dapat dibenarkan PerKPK 1/2021 menambah syarat adanya TWK yang kemudian menimbulkan kerugian pada beberapa pegawai KPK. Secara substantif, pertanyaan ini patut diajukan mengingat adanya pertimbangan hukum putusan MK di atas yang menyatakan bahwa alih status pegawai KPK menjadi ASN tak boleh merugikan hak pegawai KPK.
Sebuah pertimbangan hukum yang sangat rasional mengingat pengabdian dan dedikasi para pegawai KPK dalam pemberantasan korupsi yang dilakukan dalam kelembagaan KPK selama ini tak dapat diragukan lagi (Ratio Decidendi Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019).
Dengan demikian, maka legalitas ketentuan TWK dalam PerKPK 1/2021 layak untuk diuji. Uji legalitas PerKPK 1/2021 tersebut dapat ditempuh dengan melakukan permohonan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung (MA). Apabila permohonan dikabulkan oleh MA, maka SK KPK 652/2021 akan kehilangan validitas hukumnya.
Putusan MA tersebut tentunya akan mengakhiri beda tafsir terhadap pertimbangan hukum putusan MK yang disusul pula arahan Presiden Jokowi bahwa alih status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan pegawai KPK. Dikatakan demikian karena hasil asesmen TWK itulah yang menjadi dasar keluarnya SK KPK 621/2021 dimana oleh BKN dikatakan bahwa arahan Presiden tidak berarti bahwa pegawai KPK harus menjadi ASN (Sindonews, Kamis, 27/5). Tafsir yang jelas berbeda dengan tafsir pegawai KPK yang memaknai arahan Presiden itu sebaliknya.
Terhadap beda tafsir tersebut, harapan besar pegawai KPK nonaktif sebenarnya ada pada Presiden Jokowi. Apabila benar tafsir mereka bahwa Presiden memang tidak menghendaki pemberhentian terhadap pegawai KPK tersebut, maka Presiden dapat mengeluarkan keputusan tentang pembatalan atau pencabutan terhadap keputusan tentang hasil asesmen TWK yang menjadi dasar lahirnya SK KPK 652/2021.
Hal ini dimungkinkan secara hukum sebab ketentuan UU AP telah memperluas makna asas contrarius actus, yaitu bahwa kewewenangan untuk melakukan pencabutan atau pembatalan terhadap keputusan bukan hanya dimiliki oleh badan dan/atau pejabat yang menerbitkannya, akan tetapi atasan badan atau atasan pejabat yang mengeluarkan keputusan tersebut mempunyai kewenangan pula untuk melakukan pencabutan atau pembatalan.
Oleh sebab itu, Presiden sebagai atasan pejabat bagi menteri/pimpinan lembaga jelas dapat menganulir keputusan tentang hasil asesmen TWK yang kemudian dijadikan sebagai dasar oleh pimpinan KPK dalam mengelurkan SK KPK 621/2021. Untuk mendorong hal ini, tentu saja pegawai KPK nonaktif secara prosedural formal dapat melakukan laporan kepada Presiden.
Selain laporan dari para pegawai KPK nonaktif tersebut, tentu saja misalnya ada temuan pelanggaran HAM berdasarkan pemeriksaan yang dilakukannya, Komnas HAM dapat memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk melakukan pencabutan atau pembatalan atas hasil asesmen TWK. Nah, di sinilah sebenarnya peran normatif yang perlu dipersembahkan oleh Komnas kepada Publik, bukan membeberkan keterangan yang didapatkan dalam proses pemeriksaan yang sifatnya tertutup.
Namun, laporan pegawai KPK nonaktif dan dan/atau rekomendasi dari Komnas HAM tersebut tentu saja tidak menjadi syarat terhadap pelaksanaan kewenangan yang dimiliki oleh Presiden. Artinya apabila berkehendak, tanpa perlu menunggu kedua hal tersebut Presiden berwenang secara mandiri untuk menganulir keputusan hasil asesmen TWK.
Sebuah pertimbangan hukum yang sangat rasional mengingat pengabdian dan dedikasi para pegawai KPK dalam pemberantasan korupsi yang dilakukan dalam kelembagaan KPK selama ini tak dapat diragukan lagi (Ratio Decidendi Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019).
Dengan demikian, maka legalitas ketentuan TWK dalam PerKPK 1/2021 layak untuk diuji. Uji legalitas PerKPK 1/2021 tersebut dapat ditempuh dengan melakukan permohonan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung (MA). Apabila permohonan dikabulkan oleh MA, maka SK KPK 652/2021 akan kehilangan validitas hukumnya.
Putusan MA tersebut tentunya akan mengakhiri beda tafsir terhadap pertimbangan hukum putusan MK yang disusul pula arahan Presiden Jokowi bahwa alih status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan pegawai KPK. Dikatakan demikian karena hasil asesmen TWK itulah yang menjadi dasar keluarnya SK KPK 621/2021 dimana oleh BKN dikatakan bahwa arahan Presiden tidak berarti bahwa pegawai KPK harus menjadi ASN (Sindonews, Kamis, 27/5). Tafsir yang jelas berbeda dengan tafsir pegawai KPK yang memaknai arahan Presiden itu sebaliknya.
Terhadap beda tafsir tersebut, harapan besar pegawai KPK nonaktif sebenarnya ada pada Presiden Jokowi. Apabila benar tafsir mereka bahwa Presiden memang tidak menghendaki pemberhentian terhadap pegawai KPK tersebut, maka Presiden dapat mengeluarkan keputusan tentang pembatalan atau pencabutan terhadap keputusan tentang hasil asesmen TWK yang menjadi dasar lahirnya SK KPK 652/2021.
Hal ini dimungkinkan secara hukum sebab ketentuan UU AP telah memperluas makna asas contrarius actus, yaitu bahwa kewewenangan untuk melakukan pencabutan atau pembatalan terhadap keputusan bukan hanya dimiliki oleh badan dan/atau pejabat yang menerbitkannya, akan tetapi atasan badan atau atasan pejabat yang mengeluarkan keputusan tersebut mempunyai kewenangan pula untuk melakukan pencabutan atau pembatalan.
Oleh sebab itu, Presiden sebagai atasan pejabat bagi menteri/pimpinan lembaga jelas dapat menganulir keputusan tentang hasil asesmen TWK yang kemudian dijadikan sebagai dasar oleh pimpinan KPK dalam mengelurkan SK KPK 621/2021. Untuk mendorong hal ini, tentu saja pegawai KPK nonaktif secara prosedural formal dapat melakukan laporan kepada Presiden.
Selain laporan dari para pegawai KPK nonaktif tersebut, tentu saja misalnya ada temuan pelanggaran HAM berdasarkan pemeriksaan yang dilakukannya, Komnas HAM dapat memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk melakukan pencabutan atau pembatalan atas hasil asesmen TWK. Nah, di sinilah sebenarnya peran normatif yang perlu dipersembahkan oleh Komnas kepada Publik, bukan membeberkan keterangan yang didapatkan dalam proses pemeriksaan yang sifatnya tertutup.
Namun, laporan pegawai KPK nonaktif dan dan/atau rekomendasi dari Komnas HAM tersebut tentu saja tidak menjadi syarat terhadap pelaksanaan kewenangan yang dimiliki oleh Presiden. Artinya apabila berkehendak, tanpa perlu menunggu kedua hal tersebut Presiden berwenang secara mandiri untuk menganulir keputusan hasil asesmen TWK.
(poe)
tulis komentar anda