Tafsir Kontekstual Pancasila

Rabu, 14 Juli 2021 - 20:20 WIB
Tentu yang kita kenali terbatas pada etnis Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau, Batak, Banjar, Dayak, Bugis, Dani, dan banyak lagi. Kalau Anda mampir di pulau Papua, ada tiga ratus lebih suku dan bahasa. Masing-masing kelompok yang tinggal di satu lembah atau ngarai, berbahasa berbeda dengan gunung seberang. Betapa kayanya pulau itu. Seribu kelompok manusia dari dua puluh ribu pulau di Nusantara adalah perkiraan kasar para antropolog dan sensus. Kenyataannya varna jauh lebih dari itu. Nusantara jauh lebih beragam, lebih berwarna, dan itulah jati diri kita.

Menurut tradisi lama India, masing-masing jati dan varna itu mengagungkan dewa tertentu dan membangun tempat puja yang berbeda. Namun, idealnya apapun cara puja, bhakti, dan dharma mereka, harusnya saling berdampingan, memahami, dan melindungi. Itulah harmonis, dan itulah idealnya berpancasila. Berbeda pulau, berbeda jati, berlainan varna, mempunyai jatidiri satu, kebersamaan sebagai warga negeri.

Baca juga: UNS Wujudkan Harmonisasi Perguruan Tinggi Melalui Kampus Benteng Pancasila



Sektarianisme adalah jika umat dari kuil atau pura merasa menjadi kelompok yang terhebat melebihi yang lain dan bahkan memaksa kelompok lain untuk mengikuti atau mematuhi. Kelompok lain tidak penting, atau tidak berhak atas desa, bahkan negeri. Hanya kelompoknya yang berhak atas tafsir suci berdoa dan tafsir bermasyarakat.

Sikap ini sudah disinggung oleh Abdurrachman Wachid (Gus Dur) dan Nurcholish Madjid (Cak Nur) tiga puluh tahun yang lalu, tentang fenomena sektarianisme dan primordialisme dan hendaknya kita berhati-hati dalam berbangsa dan bernegara. Dalam bahasa kunonya, jati dan varna, dan dalam bahasa cendekiawan berdua itu adalah primordialisme dan sektarianisme.

Di India kuno varna dan jati menjadi kelas, berupa kasta. Di abad dua puluh satu di alam global ini, dan dalam bahasa kritis sosialisme, pembeda kelas ini disebut pemilik modal dan pekerja. Buruh dan tuan tanah, dalam bahasa klasik Eropa.

Kritik sosialisme dan tradisi India memang sering saling memahamkan hakekat kita. Pancasila, yang seharusnya menjadi alat moderasi jati dan varna, perlu tafsir ulang kita semua. Bagaimana menjadikan Lima Sila itu, tidak hanya menjadi dasar hukum formal, tetapi juga tafsir hidup yang mengurangi tensi jati dan varna. Jati dan varna perlu diredam, dengan kesepakatan atau konsensus ketika kita merdeka: lima nilai itu.

Ada dua ketetapan MPR yang membahas tentang tafsir Pancasila, dan dibahasakan menjadi butir-butir. Tap MPR MPR No. II/MPR/1978 menjelaskan Ekaprasetia Pancakarsa dengan 36 butir, sedangkan Tap MPR No I/MPR/2003 mengembangkan lagi menjadi 45 butir. Sudah hampir dua dasawarsa belum lagi kita saksikan upaya formal dan informal signifikan untuk kontekstualisasi tafsir atau butir lagi. Padahal ada banyak isu baru: lingkungan, sumber daya alam, relasi antar jati dan varna, antar-iman, sistem multi-parati, otonomi lokal, wabah pandemi, sains, teknologi dan informasi, serta kompetisi ekonomi global. Bahasa tafsir lama belum mencakup tema-tema baru.

Kabar baik tentang Rancangan Undang-Undang Haluan Negara (RUU HIP) yang menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila masih menunggu. Komentar dari beberapa pihak, sayangnya, masih menyiratkan trauma tafsir monopolis, jati dan varna. Kelompok tertentu dan warna tertentu dikhawatirkan akan mendominasi.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More