Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang sejatinya diperuntukkan melindungi warga negara di ruang digital. Foto/SINDOnews
JAKARTA - Kebebasan berekspresi menjadi salah satu isu yang paling mengemuka di tengah refleksi 23 tahun Reformasi di Indonesia. Terlebih, hal ini menjadi keprihatinan bersama ketika maraknya ancaman pemidanaan terhadap beberapa aktivis demokrasi yang bersuara kritis.
Berdasarkan studi kebijakan TII yang berjudul “Mendorong dan Melindungi Kebebasan Berekspresi Warga Negara terhadap Pemerintah dalam Ruang Digital di Indonesia”, beberapa pasal yang selama ini menjadi permasalahan dalam penerapan UU ITE.
"Pasal-pasal yang bermasalah tersebut yaitu, Pasal 26 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 ayat (2a), Pasal 40 ayat (2b), Pasal 45 ayat (3)," papar Adinda lewat siaran pers yang diterima SINDOnews, Kamis (24/6/2021).
Adinda mengatakan studi TII mencoba melihat konten dan konteks implementasi UU ITE selama ini. Pasal-pasal yang bermasalah tersebut kemudian diperkeruh dengan masih lemahnya perspektif HAM dan kebebasan sipil dari sumber daya manusia yang dikerahkan untuk menegakkan UU ITE tersebut.
"Aparatur negara cenderung menjalankan hukum dalam perspektif mereka sendiri. Dalam beberapa kasus, mereka mengambil tindakan berdasarkan interpretasi mereka sendiri (subyektif). Tindakan yang dilakukan oleh aparat itu justru mengabaikan mandat dari Pasal 4 huruf E UU ITE misalnya, yang bertujuan memberi rasa aman, keadilan dan kepastian hukum," lanjut dia.
Atas dasar itu, terdapat beberapa rekomendasi kebijakan dari hasil studi TII diantaranya, yaitu pertama, perlu memperjelas perbedaan antara ekspresi dan pelanggaran hukum. Kedua, mengupayakan kolaborasi antara eksekutif dan legislatif dalam menangani persoalan pasal multitafsir dalam UU ITE. Ketiga, UU ITE harus dikembalikan ke tujuan awal pembentukannya.
Kemudian, mengembalikan beberapa ketentuan yang memuat sanksi pidana di dalam UU ITE ke KUHP. Kelima, terkait upaya penegakan hukum, pengarusutamaan perspektif HAM kepada penegak hukum sangat diperlukan, didukung dengan merevisi pasal multitafsir dalam UU ITE. Juga dengan mengutamakan pendekatan restorative justice, didukung dengan merevisi pasal multitafsir dalam UU ITE. Lalu, penerapan tugas dan fungsi yang jelas dari para pelaksana UU ITE.
Menyikapi temuan studi TII ini, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika, Kemenkominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, mengapresiasi studi dan rekomendasi kebijakan TII tersebut. Semuel juga mengatakan bahwa keputusan untuk merevisi atau tidaknya UU ITE merupakan keputusan politik. Oleh karena itu, perlu pemahaman yang sama dari berbagai pihak terkait permasalahan UU ITE ini.
Semuel juga menambahkan bahwa Kominfo bersama dengan Kejaksaan dan Kepolisian juga tengah mempersiapkan SKB terkait panduan pelaksanaan UU ITE. Selain itu, Semuel juga mengatakan bahwa masalah yang terjadi dalam implementasi UU ITE ini juga banyak terjadi antara warga dengan warga.
Christina Aryani, Anggota Komisi I DPR yang juga hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut ikut mengkonfirmasi studi kebijakan TII dan menekankan pentingnya revisi UU ITE dan mencari alternatif sanksi hukum lain selain pemidanaan. Ia mengatakan DPR menyadari ada permasalahan terkait penerapan UU ITE selama ini.
"Salah satunya seperti yang disampaikan oleh studi TII yaitu tentang adanya pasal-pasal problematik dalam UU ITE. Ketika pasal-pasal ini bermasalah, maka penegakan hukum sulit untuk dilakukan," ujar politikus Partai Golkar itu.
"Setelah dilakukan beberapa kali review terhadap UU ITE, sejauh ini belum ada perintah dari Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mencabut dan merevisi pasal-pasal yang ada, sehingga kita tetap harus mendorong revisi UU tersebut," tukas dia.