La Nyalla dan BEM DIY Diskusi Sistem Demokrasi, Amendemen Konstitusi Dibahas

Minggu, 06 Juni 2021 - 20:53 WIB
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) AA La Nyalla Mahmud Mattalitti (tengah). Foto/Istimewa
JAKARTA - Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) AA La Nyalla Mahmud Mattalitti berdiskusi dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) se-Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam acara Ngopi Bareng di Oase Cafe, Minggu (6/6/2021).

Dalam diskusi bertajuk Menampung Aspirasi Millennials Menuju Demokrasi Indonesia Lebih Baik, Berdaulat, dan Mandiri, La Nyalla mengajak berdiskusi mengenai sistem demokrasi di Indonesia.

Selain Ketua DPD, para pembicara yang mengisi acara adalah Dr (c) S. Aminuddin (Ketua Majelis Mubaligh Muda Indonesia), dr Ali Mahsun Atmo Biomed (Ketua Umum Asosiasi Pedagang Kaki Lima se-Indonesia) dan Arie Gumilar (Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu).

La Nyalla mengatakan, mahasiswa dan para pemuda adalah motor dalam reformasi tahun 98. Momen reformasi dimanfaatkan untuk melakukan amendemen terhadap UUD 1945 untuk pertama kalinya.

“Semangat amendemen saat itu adalah untuk membatasi masa jabatan presiden sekaligus memperkuat peran DPR. Tetapi amendemen kemudian bergulir terus hingga perubahan posisi MPR,” kata La Nyalla.



Senator asal Jawa Timur itu menambahkan, sejak amendemen dilakukan, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Hal tersebut juga berlaku bagi anggota DPR dan DPD yang sekaligus merupakan anggota MPR.

“Ini artinya kita telah memasuki sistem presidensiil murni dan liberal. Dimana suara rakyat, one man one vote, dihitung sebagai kedaulatan rakyat. Artinya, kita sudah meninggalkan secara total bayangan dan harapan para pendiri bangsa ini, yang menempatkan Pancasila sebagai sumber inspirasi sekaligus way of life sistem bernegara Indonesia,” tutur La Nyalla.

“Khususnya sila ke-4, dimana kedaulatan rakyat diwujudkan melalui pemilu untuk memilih wakil-wakilnya dan memberikan kedaulatan itu kepada wakilnya untuk bermusyawarah dalam menjalankan dan mengelola negara ini. Termasuk memilih siapa yang diberi mandat sebagai pemerintah. Dalam hal ini presiden,” lanjutnya.



La Nyalla menyadari pemilihan presiden oleh MPR saat itu memiliki beberapa kekurangan, terutama di era Orde Baru yang didominasi oleh faksi pendukung presiden masa itu.

“Terutama sejak fusi partai dan fakta bahwa Utusan Golongan adalah ‘orang-orang’ yang direstui Presiden. Bahkan Utusan Daerah, meskipun dipilih oleh DPRD di setiap provinsi, tetap saja calon-calonnya ‘disetujui’ dan ‘dilakukan litsus oleh Sospol’ terlebih dahulu. Sehingga yang maju ke Senayan, ya hampir setali tiga uang dengan Utusan Golongan,” paparnya.

La Nyalla menegaskan jika kelemahan tersebut harus diperbaiki. Menurut dia, arah perbaikan bangsa seharusnya tetap berpegang teguh terhadap cita-cita para pendiri bangsa agar Indonesia tidak membentuk dan menjalankan pemerintahan yang meniru apa yang ada di Barat.

Mengenai suara rakyat dihitung hanya sebagai angka, atau one man one vote, LaNyalla mengatakan, seharusnya suara rakyat disalurkan kepada hikmat permusyawaratan perwakilan, yang bersidang dengan menimbang suara, sesuai amanah Pancasila.

“Bukan menghitung suara, sehingga MPR dalam bersidang tidak boleh mengambil keputusan melalui voting. Tetapi harus benar-benar menimbang suara dan pendapat. Sehingga pada akhirnya menuju titik mufakat,” tuturnya.

Menurut dia, sistem presidensiil Indonesia sangat khas, yang disebut dengan Demokrasi Pancasila. Untuk itu, Pancasila seharusnya dijadikan nafas dalam semangat perbaikan bangsa.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More