Memperingati Hari Kebangkitan Nasional: Bersatu Menghalau Musuh Bersama
Rabu, 19 Mei 2021 - 16:45 WIB
Musuh bersama yang kita hadapi saat ini sebagai bangsa bukan hanya Covid-19. Selain krisis kesehatan ini sekarang munculkrisis ekonomi, krisis sosial, krisis kepercayaan yang melahirkan low-trust society, krisis hukum dan keadilan, krisis politik identitas, krisis kepemimpinan dan keteladanan, krisis keamanan dan kedaulatan, krisis persatuan bangsa, krisis kebablasan demokrasi liberal yang menggeser demokrasi Pancasila, krisis proxy war, dan krisis kebudayaan.
Mengatasi semua masalah ini tidaklah mudah. Tak mungkin juga kita menggantungkan harapan pada rezim yang sedang berkuasa untuk menciptakan solusi bagi semua permasalahan itu, karena skala permasalahannya sangat besar, sementara kapasitas untuk mengatasinya sangat kecil.
Yang dapat kita lakukan adalah mengawal pemerintahan Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin untuk mengakhiri masa jabatannya dengan aman dan mencari pemimpin nasional yang lebih peka dan efektif sehingga dapat men-deliver lebih banyak lagi manfaat bagi bangsa ini.
Sebab yang justru perlu dibangun di negeri ini adalah sistem pengkaderan dan kepemimpinan nasional yang mengedepankan proses sebelum hasil, bukan sebaliknya. Negara ini membutuhkan sistem pengkaderan kepemimpinan nasional yang mengutamakan kapasitas dan prestasi, bukan popularitas belaka, apalagi hanya hubungan kekeluargaan.
Bisakah, dalam memperingati Hari Kebangkitan Nasional tahun ini, kita mulai berbalik arah untuk mencari calon-calon pemimpin bangsa di semua tingkatan, yang diseleksi berdasakan kriteria kapasitas dan prestasi sehingga yang memimpin di semua bidang dan tingkatan adalah putra-putri terbaik bangsa ini?
Indonesia tidak kekurangan orang-orang cerdas dan berpotensi untuk memimpin. Yang kurang hanyalah sistem pengkaderan dan seleksi yang memungkinkan orang-orang hebat itu tampil ke atas panggung kepemimpinan nasional. Karena itu maka sistem seleksi kepemimpinan nasional itu sendiri perlu diperbaiki dari hulu ke hilir.
Sebab sangat disayangkan apabila suatu bangsa yang memiliki potensi sumberdaya alam, potensi sumberdaya manusia, serta sumber daya sosial-budaya yang sangat besar ini dipimpin oleh sosok-sosok yang kurang memahami bagaimana caranya mendayagunakan semua sumberdaya itu untuk membuat Indonesia naik kelas agar sejajar dengan negara-negara maju dan dapat unggul di tengah krisis global.
Di masa silam, bahkan semenjak pergerakan Boedi Oetomo didirikan, modal sosial yang dimiliki oleh keluarga besar Stovia adalah semangat untuk berkorban dalam perjuangan membela Tanah Air. Ketika para pemuda menggelar Soempah Pemoeda 1928, modal sosial yang mereka miliki adalah semangat persatuan untuk berjuang tanpa pamrih demi suatu cita-cita yang tidak mereka nikmati sendiri, karena perjuangan mereka diabdikan sepenuhnya untuk kepentingan generasi masa depan.
Kenapa ketika cita-cita kemerdekaan yang mereka perjuangkan itu sudah dicapai dan dinikmati oleh generasi masa kini, justru generasi masa kini tidak memikirkan kepentingan generasi masa depan, tetapi hanya mementingkan kepentingan transaksionalnya sendiri, bahkan hanya mementingkan kepentingan kelompoknya sendiri?
Patutlah kita yang hidup di masa sekarang merasa malu pada luhurnya perjuangan generasi masa lampau yang mengorbankan jiwa dan raga untuk kemerdekaan dan kedaulatan negara dan bangsa kita saat ini. Mereka telah mewariskan kemerdekaan dan kedaultan kepada kita yang hidup di masa kini. Apa yang akan kita wariskan kepada generasi masa depan bangsa ini? Pertanyaan ini perlu direnungkan dan dijawab di peringatan Hari Kebangkitan Nasional tahun ini.
Mengatasi semua masalah ini tidaklah mudah. Tak mungkin juga kita menggantungkan harapan pada rezim yang sedang berkuasa untuk menciptakan solusi bagi semua permasalahan itu, karena skala permasalahannya sangat besar, sementara kapasitas untuk mengatasinya sangat kecil.
Yang dapat kita lakukan adalah mengawal pemerintahan Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin untuk mengakhiri masa jabatannya dengan aman dan mencari pemimpin nasional yang lebih peka dan efektif sehingga dapat men-deliver lebih banyak lagi manfaat bagi bangsa ini.
Sebab yang justru perlu dibangun di negeri ini adalah sistem pengkaderan dan kepemimpinan nasional yang mengedepankan proses sebelum hasil, bukan sebaliknya. Negara ini membutuhkan sistem pengkaderan kepemimpinan nasional yang mengutamakan kapasitas dan prestasi, bukan popularitas belaka, apalagi hanya hubungan kekeluargaan.
Bisakah, dalam memperingati Hari Kebangkitan Nasional tahun ini, kita mulai berbalik arah untuk mencari calon-calon pemimpin bangsa di semua tingkatan, yang diseleksi berdasakan kriteria kapasitas dan prestasi sehingga yang memimpin di semua bidang dan tingkatan adalah putra-putri terbaik bangsa ini?
Indonesia tidak kekurangan orang-orang cerdas dan berpotensi untuk memimpin. Yang kurang hanyalah sistem pengkaderan dan seleksi yang memungkinkan orang-orang hebat itu tampil ke atas panggung kepemimpinan nasional. Karena itu maka sistem seleksi kepemimpinan nasional itu sendiri perlu diperbaiki dari hulu ke hilir.
Sebab sangat disayangkan apabila suatu bangsa yang memiliki potensi sumberdaya alam, potensi sumberdaya manusia, serta sumber daya sosial-budaya yang sangat besar ini dipimpin oleh sosok-sosok yang kurang memahami bagaimana caranya mendayagunakan semua sumberdaya itu untuk membuat Indonesia naik kelas agar sejajar dengan negara-negara maju dan dapat unggul di tengah krisis global.
Di masa silam, bahkan semenjak pergerakan Boedi Oetomo didirikan, modal sosial yang dimiliki oleh keluarga besar Stovia adalah semangat untuk berkorban dalam perjuangan membela Tanah Air. Ketika para pemuda menggelar Soempah Pemoeda 1928, modal sosial yang mereka miliki adalah semangat persatuan untuk berjuang tanpa pamrih demi suatu cita-cita yang tidak mereka nikmati sendiri, karena perjuangan mereka diabdikan sepenuhnya untuk kepentingan generasi masa depan.
Kenapa ketika cita-cita kemerdekaan yang mereka perjuangkan itu sudah dicapai dan dinikmati oleh generasi masa kini, justru generasi masa kini tidak memikirkan kepentingan generasi masa depan, tetapi hanya mementingkan kepentingan transaksionalnya sendiri, bahkan hanya mementingkan kepentingan kelompoknya sendiri?
Patutlah kita yang hidup di masa sekarang merasa malu pada luhurnya perjuangan generasi masa lampau yang mengorbankan jiwa dan raga untuk kemerdekaan dan kedaulatan negara dan bangsa kita saat ini. Mereka telah mewariskan kemerdekaan dan kedaultan kepada kita yang hidup di masa kini. Apa yang akan kita wariskan kepada generasi masa depan bangsa ini? Pertanyaan ini perlu direnungkan dan dijawab di peringatan Hari Kebangkitan Nasional tahun ini.
tulis komentar anda