Memperingati Hari Kebangkitan Nasional: Bersatu Menghalau Musuh Bersama

Rabu, 19 Mei 2021 - 16:45 WIB
loading...
Memperingati Hari Kebangkitan Nasional: Bersatu Menghalau Musuh Bersama
Irman Gusman, Ketua DPD RI periode 2009-2016. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Irman Gusman
Ketua DPD RI periode 2009-2016

KETIKA pergerakan Boedi Oetomo didirikan pada tahun 1908, musuh bersama yang dihadapi bangsa ini adalah penjajahan. Menghadapi satu common enemy bernama penjajahan itu, bangsa kita muai bersatu dan 20 tahun kemudian melahirkan Soempah Pemoeda sebagai tonggak persatuan menuju proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Satu musuh bersama bernama penjajahan membuat seluruh bangsa ini bersatu untuk melawan dan menghalaunya. Tapi 113 tahun setelah pergerakan kebangkitan nasional bergulir, dan 93 tahun setelah Soempah Pemoeda diikrarkan, persatuan bangsa kita terkesan tercabik-cabik, justru pada saat kita menghadapi banyak common enemies, banyak musuh bersama.

Lebih tragis lagi, banyak musuh bersama itu justru berasal dari dalam negeri sendiri. Kemiskinan, pengangguran, kesenjangan sosial dan kesenjangan antardaerah, ketidakadilan di bidang hukum dan HAM serta ekonomi, keterbelakangan dan ketertinggalan di bidang pendidikan di tengah dunia yang semakin canggih, erosi moral dan nilai-nilai budaya, mengendornya rasa kebersamaan dan solidaritas serta kedermawanan di tengah krisis, merosotnya kepatuhan pada ajaran agama -- semua itu adalah sebagian dari musuh-musuh bersama yang sekarang kita hadapi.

Yang lebih berbahaya lagi adalah musuh-musuh bersama yang tidak disadari kehadirannya. Eksploitasi sumberdaya alam tanpa menyadari bahwa sumberdaya alam Indonesia bukanlah warisan masa silam melainkan titipan dari generasi masa depan, adalah musuh bersama yang jarang disadari bahayanya.

Begitu pun ketergantungan yang semakin meningkat pada komoditas dan sumberdaya asing merupakan musuh bersama yang ironisnya, bukannya dihentikan malah dilanggengkan, sementara potensi dalam negeri yang sebetulnya dapat dikembangkan untuk menciptakan kemandirian dan kedaulatan justru dilemahkan oleh ketergantungan yang demikian itu.

Di tengah situasi demikian itu, terlalu banyak waktu dan energi bangsa ini terbuang untuk hal-hal yang tidak mengarah pada penciptaan solusi terhadap semua musuh bersama itu. Hal ini terjadi antara lain karena masyarakat tidak melihat adanya leadership yang kuat di bangsa ini untuk menghimpun segenap potensi negeri ini demi mengatasi berbagai common enemies dimaksud.

Kita memiliki terlalu banyak leaders tetapi terlalu sedikit leadership di bangsa ini sebagai pembawa solusi untuk berbagai permasalahan yang sedang dihadapi. Dan kondisi seperti ini terjadi di tengah absennya sense of crisis sehingga berbagai terapi yang diimplementasikan untuk menghadapi common enemies dimaksud hanyalah terapi normatif, pendekatan yang hanya cocok dipakai dalam kondisi normal, bukan dalam kondidi abnormal seperti sekarang.

Musuh bersama yang kita hadapi saat ini sebagai bangsa bukan hanya Covid-19. Selain krisis kesehatan ini sekarang munculkrisis ekonomi, krisis sosial, krisis kepercayaan yang melahirkan low-trust society, krisis hukum dan keadilan, krisis politik identitas, krisis kepemimpinan dan keteladanan, krisis keamanan dan kedaulatan, krisis persatuan bangsa, krisis kebablasan demokrasi liberal yang menggeser demokrasi Pancasila, krisis proxy war, dan krisis kebudayaan.

Mengatasi semua masalah ini tidaklah mudah. Tak mungkin juga kita menggantungkan harapan pada rezim yang sedang berkuasa untuk menciptakan solusi bagi semua permasalahan itu, karena skala permasalahannya sangat besar, sementara kapasitas untuk mengatasinya sangat kecil.

Yang dapat kita lakukan adalah mengawal pemerintahan Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin untuk mengakhiri masa jabatannya dengan aman dan mencari pemimpin nasional yang lebih peka dan efektif sehingga dapat men-deliver lebih banyak lagi manfaat bagi bangsa ini.

Sebab yang justru perlu dibangun di negeri ini adalah sistem pengkaderan dan kepemimpinan nasional yang mengedepankan proses sebelum hasil, bukan sebaliknya. Negara ini membutuhkan sistem pengkaderan kepemimpinan nasional yang mengutamakan kapasitas dan prestasi, bukan popularitas belaka, apalagi hanya hubungan kekeluargaan.

Bisakah, dalam memperingati Hari Kebangkitan Nasional tahun ini, kita mulai berbalik arah untuk mencari calon-calon pemimpin bangsa di semua tingkatan, yang diseleksi berdasakan kriteria kapasitas dan prestasi sehingga yang memimpin di semua bidang dan tingkatan adalah putra-putri terbaik bangsa ini?

Indonesia tidak kekurangan orang-orang cerdas dan berpotensi untuk memimpin. Yang kurang hanyalah sistem pengkaderan dan seleksi yang memungkinkan orang-orang hebat itu tampil ke atas panggung kepemimpinan nasional. Karena itu maka sistem seleksi kepemimpinan nasional itu sendiri perlu diperbaiki dari hulu ke hilir.

Sebab sangat disayangkan apabila suatu bangsa yang memiliki potensi sumberdaya alam, potensi sumberdaya manusia, serta sumber daya sosial-budaya yang sangat besar ini dipimpin oleh sosok-sosok yang kurang memahami bagaimana caranya mendayagunakan semua sumberdaya itu untuk membuat Indonesia naik kelas agar sejajar dengan negara-negara maju dan dapat unggul di tengah krisis global.

Di masa silam, bahkan semenjak pergerakan Boedi Oetomo didirikan, modal sosial yang dimiliki oleh keluarga besar Stovia adalah semangat untuk berkorban dalam perjuangan membela Tanah Air. Ketika para pemuda menggelar Soempah Pemoeda 1928, modal sosial yang mereka miliki adalah semangat persatuan untuk berjuang tanpa pamrih demi suatu cita-cita yang tidak mereka nikmati sendiri, karena perjuangan mereka diabdikan sepenuhnya untuk kepentingan generasi masa depan.

Kenapa ketika cita-cita kemerdekaan yang mereka perjuangkan itu sudah dicapai dan dinikmati oleh generasi masa kini, justru generasi masa kini tidak memikirkan kepentingan generasi masa depan, tetapi hanya mementingkan kepentingan transaksionalnya sendiri, bahkan hanya mementingkan kepentingan kelompoknya sendiri?

Patutlah kita yang hidup di masa sekarang merasa malu pada luhurnya perjuangan generasi masa lampau yang mengorbankan jiwa dan raga untuk kemerdekaan dan kedaulatan negara dan bangsa kita saat ini. Mereka telah mewariskan kemerdekaan dan kedaultan kepada kita yang hidup di masa kini. Apa yang akan kita wariskan kepada generasi masa depan bangsa ini? Pertanyaan ini perlu direnungkan dan dijawab di peringatan Hari Kebangkitan Nasional tahun ini.

Jangan-jangan yang kita wariskan hanyalah beban ekonomi yang akan semakin menyengsarakan generasi masa depan. Hutang negara sudah ribuan triliun sementara pemasukan hanya sekitar sepertiga dari beban hutang dimaksud. Secara teori ekonomi, sudah bangkrut negara ini, sebetulnya. Bahwa kita masih bisa hidup sebagai negara, itu karena kita masih memiliki napas dan semangat untuk bertahan di tengah pendemi Covid-19 yang memunculkan banyak krisis turunannya.

Oleh karena itu, marilah, dalam memperingati Hari Kebangkitan Nasional tahun ini, kita tinggalkan dahulu semua kepentingan kelompok dan kepentingan sesaat yang hanya menguntungkan diri dan kelompok sendiri. Sebab ada kepentigan yang jauh lebih besar, yaitu menyelamatkan bahtera bangsa ini yang bocor di sana-sini di tengah hantaman gelombang dan badai krisis multidimensional saat ini.

Bagi mereka yang beruntung berada di lapisan atas piramida ekonomi, inilah saat yang terbaik untuk menunjukkan kedermawanan sosial demi mengamankan eksistensi usaha di masa depan. Sebab bukan tidak mungkin bahwa absennya empati demikian akan menciptakan bom waktu yang dapat membahayakan diri sendiri.

Bagi penyelenggara negara, inilah saatnya berkorban demi bangsa dan negara, setelah sekian lama menikmati semua fasiltas dan bayaran yang diberikan oleh negara. Tidak ada salahnya gerakan kedermawanan sosial di tengah pandemi Covi-19 ini dimulai dari lembaga-lembaga penyelenggara negara, baik di eksekutif, legislatif, maupun di yudikatif, sebagai teladan kepedulian dan solidaritas sosial. Dimulai dari para pimpinan lembaga penyelenggara negara, kementerian, BUMN, dan seterusnya.

Selain itu, semua proyek mercusuar yang menghabiskan dana besar sepatutnyalah ditunda dulu sampai kondisi perekonomian kembali normal lagi. Juga semua pengeluaran birokrasi penyelenggaraan negara yang dapat diefisienkan seharusnya ditinjau ulang. Sebab bukti tentang adanya sense of crisis adalah hadirnya sistem implementasi kebijakan yang lebih prudent tanpa mengganggu roda pemerintahan.

Semoga di Hari Kebangkitan Nasional ini kita semua bangkit dari kondisi suram dan mulai melakukan perbaikan di berbagai bidang dan tingkatan. Sebab kondisi dunia tidak akan semakin membaik, dan kita harus belajar hidup berdampingan dengan dan mengatasi berbagai krisis yang menghadang derap perjalanan kita sebagai bangsa.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1737 seconds (0.1#10.140)