Jalan Mulus Alih Fungsi Lahan Pertanian
Senin, 20 April 2020 - 06:45 WIB
Pertanyaannya, apa kerugian konversi lahan? Sebagai negara berpenduduk besar, seperti kata Presiden Soekarno, pangan adalah soal hidup-mati. Dalam jangka pendek, konversi lahan seolah-olah menguntungkan secara ekonomi. Padahal, konversi lahan yang tidak terkendali menjadi ancaman serius masa depan negara. Konversi lahan akan membuat ketahanan pangan rapuh, produksi pangan domestik merosot, lalu kita akan tergantung pada impor. Sebagian besar pasar pangan dunia bersifat oligopoli; pasarnya tipis dan harganya tidak stabil. Bergantung pada pangan impor jelas tidak menguntungkan.
Sawah terkonversi bersifat irreversible. Pernahkah Anda membayangkan dampak jika seperempat dari luas sawah yang ada sekarang dikonversi? Hampir pasti suhu udara meningkat; kemungkinan erosi, banjir, dan longsor lebih besar; kualitas dan kuantitas air akan berkurang drastis. Demikian juga keindahan alam, bio-diversity dan kebudayaan perdesaan cepat punah, bahkan akan muncul disharmoni kelembagaan sosial di desa.
Dampak berganda konversi itu tidak pernah kita sadari karena kita hanya menilai sawah sebagai penghasil pangan dan serat (tangible). Padahal, selain menghasilkan pangan, sawah mempunyai multifungsi; menjaga ketahanan pangan, menjaga kestabilan fungsi hidrologis DAS, menurunkan erosi, menyerap tenaga kerja, memberikan keunikan dan daya tarik perdesaan, dan mempertahankan nilai-nilai sosial budaya perdesaan. Fungsi ini tidak bisa dipasarkan (non-marketable) dan tidak mudah dikenali (intangible).
Roh dan spirit UU No 41/2009 dan UU No 22/2019 adalah melarang konversi lahan pertanian. Konversi bisa dilakukan dengan syarat mahaberat. Pelanggarnya dipidana 2–7 tahun dan didenda Rp1 miliar–Rp7 miliar. Lewat RUU Cipta Kerja, roh dan spirit itu dibongkar dengan menyusupkan roh dan spirit baru yang dihela oleh hasrat menggenjot investasi seolah-olah investasi memberi jalan keluar tiap persoalan. Padahal, dengan perubahan roh dan spirit baru ini, ancaman sanksi konversi terasa kurang bertaji. Ketika konversi menjadi-jadi, pertanian sebagai ladang hidup dan penghidupan terancam. Lapangan kerja yang dicita-citakan RUU Cipta Kerja, meminjam istilah Didie Kempot, bisa ambyar. (*)
Sawah terkonversi bersifat irreversible. Pernahkah Anda membayangkan dampak jika seperempat dari luas sawah yang ada sekarang dikonversi? Hampir pasti suhu udara meningkat; kemungkinan erosi, banjir, dan longsor lebih besar; kualitas dan kuantitas air akan berkurang drastis. Demikian juga keindahan alam, bio-diversity dan kebudayaan perdesaan cepat punah, bahkan akan muncul disharmoni kelembagaan sosial di desa.
Dampak berganda konversi itu tidak pernah kita sadari karena kita hanya menilai sawah sebagai penghasil pangan dan serat (tangible). Padahal, selain menghasilkan pangan, sawah mempunyai multifungsi; menjaga ketahanan pangan, menjaga kestabilan fungsi hidrologis DAS, menurunkan erosi, menyerap tenaga kerja, memberikan keunikan dan daya tarik perdesaan, dan mempertahankan nilai-nilai sosial budaya perdesaan. Fungsi ini tidak bisa dipasarkan (non-marketable) dan tidak mudah dikenali (intangible).
Roh dan spirit UU No 41/2009 dan UU No 22/2019 adalah melarang konversi lahan pertanian. Konversi bisa dilakukan dengan syarat mahaberat. Pelanggarnya dipidana 2–7 tahun dan didenda Rp1 miliar–Rp7 miliar. Lewat RUU Cipta Kerja, roh dan spirit itu dibongkar dengan menyusupkan roh dan spirit baru yang dihela oleh hasrat menggenjot investasi seolah-olah investasi memberi jalan keluar tiap persoalan. Padahal, dengan perubahan roh dan spirit baru ini, ancaman sanksi konversi terasa kurang bertaji. Ketika konversi menjadi-jadi, pertanian sebagai ladang hidup dan penghidupan terancam. Lapangan kerja yang dicita-citakan RUU Cipta Kerja, meminjam istilah Didie Kempot, bisa ambyar. (*)
(cip)
tulis komentar anda