Nasib Petani Tembakau dan Wacana Amendemen PP 109/2012

Rabu, 14 April 2021 - 05:05 WIB
Kedua, di dalam amendemen PP sama sekali tidak menyebut atau menyinggung baik secara tersurat dan atau tersirat terkait petani tembakau. Mengingat PP 109/2012 adalah PP atas turunan dari UU Kesehatan, bukan PP dari turunan UU Pertanian atau UU Perkebunan. Jadi apa yang ditakutkan dan dikhawatirkan oleh petani tembakau (APTI)? Kecuali memang industri rokok menjadikan petani tembakau sebagai tameng saja, dengan ancaman tertentu, seperti tidak mau membeli daun tembakau dari petani tembakau lokal.Nah, inilah yang seharusnya diprotes oleh APTI dkk, yakni terkait impor daun tembakau, atau tata niaga tembakau yang tidak adil. Saat ini pasar tembakau lokal acap dibanjiri oleh aksi impor daun tembakau oleh industri rokok besar. Per tahun tidak kurang dari 200 juta dolar devisa kita kabur keluar negeri untuk impor daun tembakau.

Aksi impor tembakau ini sudah pasti berdampak kepada petani tembakau, karena hasil panen tanaman tembakau para petani lokal tidak semuanya terserap oleh industri rokok. Secara logika hal inilah yang seharusnya diadvokasi (ditolak) oleh APTI, bukan menolak amendemen PP 109/2021.

Keberadaan regulasi pengendalian tembakau, sekuat apapun tidak akan mampu menggusur keberadaan industri rokok, dan atau mematikan petani tembakau. Jika rokok/tembakau masih menjadi komoditas legal, maka produksi rokok akan terus meningkat, dan pertanian tembakau tetap eksis. Sebagai misal, apakah sejak diberlakukan PP 109/2012 (sudah 8 tahun) produksi-penjualan rokok dan jumlah perokok di Indonesia mengalami penurunan? Plus, apakah jumlah perokok anak juga menurun? Fakta menunjukkan, yang terjadi malah sebaliknya, produksi dan penjualan rokok selama 8 tahun terakhir malah mengalami peningkatan signifikan. Bahkan selama setahun pandemi Covid-19 jumlah perokok dan konsumsi rokok di Indonesia melonjak. Terbukti, menurut hasil riset Komnas Pengendalian Tembakau (2020), sebanyak 49,8% responden tetap merokok selama pandemi (tidak mengurangi biaya merokok). Di sisi lain, lebih dari 13% belanja merokoknya selama pandemi malah mengalami peningkatan. Fenomena yang sama saat terjadi krisis ekonomi pada 1997.

Dengan masalah tersebut, maka upaya pengendalian tembakau dengan mengamendemen PP 109/2012 adalah hal yang sangat mendesak. Tidak ada alasan bagi pemerintah, terkhusus Menteri BGS sebagai “panglima” kesehatan publik untuk serius melanjutkan amandemen PP 109/2012 tersebut, demi pengendalian konsumsi tembakau bagi masyarakat Indonesia. PP 109/2012 hanyalah secuil regulasi yang dimiliki Indonesia sebagai instrumen pengendalian tembakau untuk melindungi masyarakat.

Di sisi lain, saat ini sudah 181 negara di dunia (lebih dari 90% negara anggota WHO), telah meratifikasi/mengaksesi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Faktanya, FCTC yang secara substansi jauh lebih keras, terbukti tidak meruntuhkan keberadaan industri rokok dan petani tembakau, di semua negara yang meratifikasi FCTC. Sejak FCFC disahkan menjadi hukum internasional (sejak 2004), tidak ada kisahnya industri rokok bangkrut, dan petani tembakau dimatikan. Apalagi jika regulasinya hanya selevel PP 109/2012 yang secara substansi hanya “kurcaci” sebagai instrumen pengendalian tembakau di Indonesia.

Ayolah, Pak Menkes BGS, jadilah panglima dalam kesehatan publik dengan menjadikan amendemen PP 109/2012 sebagailegacy.
(bmm)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More