Sengkarut Komunikasi Kebijakan

Kamis, 01 April 2021 - 05:04 WIB
Polemik yang mirip juga terjadi dalam sikap pemerintah mengenai impor beras. Presiden Jokowi memastikan pemerintah tidak akan mengimpor beras hingga Juni 2021. Bahkan, Presiden Jokowi menyebut bahwa Indonesia sudah tidak impor beras sejak hampir tiga tahun terakhir. Hal tersebut disampaikan Jokowi melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden pada Jumat, 26 Maret 2021 lalu. Banyak media menelisik pernyataan ini, dan mengungkap data berbeda seperti dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Berdasarkan data milik BPS, impor beras masih terjadi dalam kurun waktu tersebut. Pada 2018 Indonesia mengimpor beras hingga 2.253.824,5 ton dengan nilai 1,037 miliar dolar AS. Tahun 2018 memang tercatat sebagai tahun terakhir Indonesia membuka keran impor beras secara besar-besaran. Impor beras Indonesia menurun pada 2019. Jumlahnya menjadi 444.508,8 ton dengan nilai 184,2 juta dolar AS. Sepanjang tahun 2020 Indonesia masih mengimpor beras sebanyak 356.286 ton beras dengan nilai mencapai 195,4 juta dolar AS. Negara pengekspor beras terbanyak untuk Indonesia pada 2020 adalah Pakistan. Jumlahnya mencapai 110.516 ton atau senilai 41,51 juta dolar AS.

Perbedaan cara pandang ini tentu saja harus dikomunikasikan dengan baik. Mengapa ada perbedaan narasi antara mengimpor beras dan tidak selama 3 tahun terakhir versinya pemerintah. Belum lagi sebelumnya juga muncul polemik soal rencana impor beras ini antara Menko Perekonomian, Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian, dan Direktur Utama Perum Bulog. Publik membaca ada silang sengketa di antara pemerintah sendiri terkait dengan rencana impor beras ini. Situasi ini yang membuat Jokowi kembali harus membuat klarifikasi tidak ada impor beras hingga bulan Juni tahun ini.

Memperbaiki Komunikasi

Ke depan sebuah kebijakan yang sudah diambil oleh pemerintah harus mengoptimalkan peran dan fungsi komunikasi kebijakan. Dalam pendekatan komunikasi kebijakan ada lima faktor yang sangat penting diperhatikan. Pertama, soal data terintegrasi. Pemahaman tentang data ini menjadi sangat penting sekali mengingat perbedaan pandangan antarpejabat dan antarinstansi kerap bermula dari data yang tak sama dan interpretasinya yang berbeda-beda pula. Substansi kebijakannya seperti apa, harus diperkuat dengan data-data yang mendukungnya.

Kedua, sumber daya manusia (SDM) yang berperan dalam proses komunikasinya. Harus jelas tim, kelompok kerja, atau jejaring birokrasi komunikasi yang akan mendukung diseminasi kebijakan ini. Jelas siapa yang akan menjadi penghidang informasi dan siapa yang menjadi “koki”. Inilah yang disebut sebagai peran informasi (information roles) dalam komunikasi kebijakan. Ketiga, anggaran yang menunjang ragam program untuk mengomunikasikan kebijakan. Keempat, adanya road map komunikasi yang jelas mulai dari kebijakan saat disahkan, kemudian penyamaan persepsi di antara para pemangku kebijakan, hingga saat kebijakan disosialisasikan dan dievaluasi pelaksanaannya. Jangan pernah membiarkan sebuah kebijakan “menggelinding” begitu saja ke publik tanpa perhitungan risiko yang akan muncul dan rencana mitigasi yang memadai. Ada aspek komponensial komunikasi seperti komunikator, pesan, saluran, khalayak, komunikan dan efek yang mesti direncanakan dalam komunikasi kebijakan.

Kelima, aktivitas komunikasi prioritas yang urgen dilakukan secara sistemis dan terorganisasi dalam komunikasi kebijakan adalah arahan personal (personal direction), rekognisi media (media recognition) dan pendekatan komunikasi ke sasaran prioritas. Arahan personal yang dimaksud adalah memperkuat arahan singkat (policy brief) ke semua pejabat yang terkait mulai dari presiden, menteri, kepala daerah dengan narasi kebijakan yang sama agar seluruh narasi para pejabat terkait berada dalam orkestrasi yang sama. Rekognisi media, tentu saja terhubung dengan bagaimana media mengakui kebijakan ini dalam pe-rangking-an isu mereka. Bingkai berita positif diperlukan agar opini publik yang terbangun positif dan kondusif bagi tahapan implementasi berikutnya. Hubungan media sangat diperlukan, selain untuk mendiseminasikan kebijakan ke khalayak luas, juga bisa untuk membangun kepercayaan publik (trust building) dengan pembentukan opini publik yang positif.

Terakhir adalah mengembangkan jejaring komunikasi langsung ke khalayak dan orang-orang kunci untuk memastikan kebijakan mendapatkan dukungan hingga bisa sampai ke masyarakat. Komunikasi kebijakan bukanlah pemadam kebakaran, yang bereaksi ketika ada masalah. Jangan lagi tempatkan komunikasi kebijakan hanya sebagai peran pinggiran dan asal-asalan!
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(bmm)
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More