Sengkarut Komunikasi Kebijakan
Kamis, 01 April 2021 - 05:04 WIB
Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
MENARIK untuk memberi catatan sekaligus mengkritisi praktik komunikasi yang dilakukan pemerintah akhir-akhir ini. Terutama, terhubung dengan komunikasi kebijakan yang mengundang polemik meluas di tengah masyarakat. Situasi pandemi memunculkan situasi tidak nyaman dan tidak pasti sehingga seharusnya setiap kebijakan yang diambil dan diimplementasikan oleh pemerintah harus dikomunikasikan secara efektif di internal birokrasi pemerintah, juga saat dipublikasikan ke khalayak luas. Komunikasi kebijakan sangat penting dikelola. Tidak ada kebijakan yang bisa sukses tanpa adanya peran dan fungsi komunikasi yang direncanakan, diimplementasikan dan dievaluasi secara terorganisasi.
Polemik Kebijakan
Di antara polemik yang mencuat, misalnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang bidang usaha penanaman modal. Terdapat lampiran Perpres yang mengatur pembukaan investasi baru industri miras. Publik pun beramai-ramai bereaksi menyikapi perpres ini. Isu sensitif soal miras pun menyeruak ke publik melalui pe-rangking-an isu oleh media dan membentuk persepsi yang cenderung negatif ke pemerintah. Oleh karena itulah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya mencabut lampiran III Perpres No10/2021 tersebut.
Dalam perspektif kebijakan publik, tentu saja perpres ini tidak lahir begitu saja. Sebuah kebijakan publik lahir dari sejumlah pertimbangan. Tahapan dalam pembuatan kebijakan publik biasanya bertahap, mulai dari identifikasi masalah, agenda, perumusan kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi. Thomas R Dye, salah seorang pakar kebijakan publik, menulis di buku klasiknya,Understanding Public Policy (1972), kebijakan publik sebagai "apa pun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidakā. Asumsi ini menyiratkan bahwa jika pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu pasti ada tujuan atau sasaran.
Tulisan lain dari Clarke E Cochran dalam American Public Policy: Introduction (1999), menyebutkan kebijakan publik merupakan hasil dari pertarungan dalam pemerintahan sehingga seseorang mendapatkan sesuatu (who gets what). Dalam menyusun dan mengesahkan kebijakan publik sudah pasti ada pergulatan, dialektika, bahkan mungkin pertarungan nilai, gagasan, dan kepentingan. Pemerintah juga tentu memiliki proyeksi terhadap prospek penerimaan khalayak atas kebijakan tersebut. Itulah mengapa sebelum kebijakan publik itu diambil harus diberi sejumlah pertimbangan hingga prediksi penerimaan khalayak terhadap kebijakan publik yang akan dikeluarkan.
Jika kebijakan yang sudah diambil dan diumumkan ke publik, kemudian ditarik ulang dalam tempo singkat, hal ini menggambarkan adanya masalah dalam proses dan tahapan pengambilan kebijakannya. Implementasi dari kebijakan publik yang diambil menjadi rapuh sehingga mudah sekali berada dalam kebimbangan, ketidakpastian, dan ketidaktegasan. Sebuah kebijakan publik sejatinya sudah dipertimbangkan memiliki tiga dimensi yang saling terkait. Pertama, dimensi subjek di mana kebijakan publik adalah kebijakan dari pemerintah. Sehingga kebijakan pemerintah dianggap resmi, memiliki kewenangan dan dapat memaksa masyarakat untuk mematuhinya. Kedua, dimensi lingkungan, yakni masyarakat yang dikenai kebijakan. Seharusnya hal ini dipertimbangkan secara cermat dengan berbagai disiplin ilmu yang bisa menjadi acuan pemerintah untuk mengambil atau tidak mengambil kebijakan. Ketiga, dimensi umum terkait dengan strata kebijakan yang terdiri dari kebijakan umum, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis.
Jika menempatkan Perpres 10 Tahun 2021 dalam dimensi strata tadi, maka masuk ke dalam strata pelaksanaan dari strata umum kebijakan yang terdapat dalam Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Jadi, sekali lagi jika kita menempatkan perpres tersebut dalam konteks kebijakan publik tentu bukan hal yang tidak direncanakan, bukan?
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
MENARIK untuk memberi catatan sekaligus mengkritisi praktik komunikasi yang dilakukan pemerintah akhir-akhir ini. Terutama, terhubung dengan komunikasi kebijakan yang mengundang polemik meluas di tengah masyarakat. Situasi pandemi memunculkan situasi tidak nyaman dan tidak pasti sehingga seharusnya setiap kebijakan yang diambil dan diimplementasikan oleh pemerintah harus dikomunikasikan secara efektif di internal birokrasi pemerintah, juga saat dipublikasikan ke khalayak luas. Komunikasi kebijakan sangat penting dikelola. Tidak ada kebijakan yang bisa sukses tanpa adanya peran dan fungsi komunikasi yang direncanakan, diimplementasikan dan dievaluasi secara terorganisasi.
Polemik Kebijakan
Di antara polemik yang mencuat, misalnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang bidang usaha penanaman modal. Terdapat lampiran Perpres yang mengatur pembukaan investasi baru industri miras. Publik pun beramai-ramai bereaksi menyikapi perpres ini. Isu sensitif soal miras pun menyeruak ke publik melalui pe-rangking-an isu oleh media dan membentuk persepsi yang cenderung negatif ke pemerintah. Oleh karena itulah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya mencabut lampiran III Perpres No10/2021 tersebut.
Dalam perspektif kebijakan publik, tentu saja perpres ini tidak lahir begitu saja. Sebuah kebijakan publik lahir dari sejumlah pertimbangan. Tahapan dalam pembuatan kebijakan publik biasanya bertahap, mulai dari identifikasi masalah, agenda, perumusan kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi. Thomas R Dye, salah seorang pakar kebijakan publik, menulis di buku klasiknya,Understanding Public Policy (1972), kebijakan publik sebagai "apa pun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidakā. Asumsi ini menyiratkan bahwa jika pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu pasti ada tujuan atau sasaran.
Tulisan lain dari Clarke E Cochran dalam American Public Policy: Introduction (1999), menyebutkan kebijakan publik merupakan hasil dari pertarungan dalam pemerintahan sehingga seseorang mendapatkan sesuatu (who gets what). Dalam menyusun dan mengesahkan kebijakan publik sudah pasti ada pergulatan, dialektika, bahkan mungkin pertarungan nilai, gagasan, dan kepentingan. Pemerintah juga tentu memiliki proyeksi terhadap prospek penerimaan khalayak atas kebijakan tersebut. Itulah mengapa sebelum kebijakan publik itu diambil harus diberi sejumlah pertimbangan hingga prediksi penerimaan khalayak terhadap kebijakan publik yang akan dikeluarkan.
Jika kebijakan yang sudah diambil dan diumumkan ke publik, kemudian ditarik ulang dalam tempo singkat, hal ini menggambarkan adanya masalah dalam proses dan tahapan pengambilan kebijakannya. Implementasi dari kebijakan publik yang diambil menjadi rapuh sehingga mudah sekali berada dalam kebimbangan, ketidakpastian, dan ketidaktegasan. Sebuah kebijakan publik sejatinya sudah dipertimbangkan memiliki tiga dimensi yang saling terkait. Pertama, dimensi subjek di mana kebijakan publik adalah kebijakan dari pemerintah. Sehingga kebijakan pemerintah dianggap resmi, memiliki kewenangan dan dapat memaksa masyarakat untuk mematuhinya. Kedua, dimensi lingkungan, yakni masyarakat yang dikenai kebijakan. Seharusnya hal ini dipertimbangkan secara cermat dengan berbagai disiplin ilmu yang bisa menjadi acuan pemerintah untuk mengambil atau tidak mengambil kebijakan. Ketiga, dimensi umum terkait dengan strata kebijakan yang terdiri dari kebijakan umum, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis.
Jika menempatkan Perpres 10 Tahun 2021 dalam dimensi strata tadi, maka masuk ke dalam strata pelaksanaan dari strata umum kebijakan yang terdapat dalam Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Jadi, sekali lagi jika kita menempatkan perpres tersebut dalam konteks kebijakan publik tentu bukan hal yang tidak direncanakan, bukan?
Lihat Juga :
tulis komentar anda