Rancangan Perpres Pelibatan TNI Tangani Terorisme Dinilai Rancu
Minggu, 17 Mei 2020 - 15:32 WIB
Sementara TNI, kata dia, sejak awal tidak pernah didesain untuk menjalankan fungsi penegak hukum.
Tugas mereka, sebagaimana diatur dalam UUD 1945, adalah menjalankan fungsi pertahanan nasional, yakni menjaga negara dari ancaman militer luar negeri. ”Perpres ini cenderung melampaui kewenangan itu, juga kewenangan yang diatur dalam UU 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI),” tutur Rafendi
Aktivis HAM internasional ini berpendapat, urusan penegakan hukum harus tetap dipegang dalam satu sistem yang disebut criminal justice system sehingga jangan sampai mengacaukan _criminal justice system_ yang ada.
”Sebab, hal itu akan merugikan negara, karena bertentangan dengan UU TNI itu sendiri,” ujarnya.
Undang-undang tersebut memang memberikan 14 fungsi TNI. Antara lain, fungsi operasi militer selain perang (OMSP) di dalamnya termasuk pemberantasan terorisme. Artinya, memang ada tugas TNI untuk masuk ke masalah terorisme. ”Persoalan lebih pada bagaimana cara masuknya, itu yang dikacaukan oleh Perpres ini,” katanya.
Sudah begitu, sambung dia, draf Perpres juga mengikis kewenangan konsultatif DPR dan kewenangan Presiden untuk mengeluarkan Keputusan Presiden terkait pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang.
”Hal itu akan mengancam sistem check and balances dalam birokrasi pengerahan kekuatan pertahanan. Sebab, kewenangan Presiden sangat kuat (terkait pelibatan TNI) tanpa kontrol check and balances dari DPR,” kata Rafendi.
Dia mendukung desakan banyak kalangan untuk menolak Perpres ini. Jika Perpres ini dibuat sebagai turunan dari Pasal 431 UU Pemberantasan Tindak Pidana Teorisme maka semestinya lebih memuat pasal-pasal dan merincikan ancaman terorisme seperti apa.
Kalau ancaman terorisme memang bisa dimasuki atau dikerjakan oleh TNI, semisal mengganggu kedaulatan negara, harus diatur bagaimana proses pelibatannya dikaitkan dengan sistem penegakan hukum kita.
”Kalau pelibatan TNI tidak diatur rinci, bisa terjadi dia akan tunduk pada hukum perang yang notabene berbeda dengan sistem penegakan hukum kita. Dalam hukum perang, istilah yang ada hanya membunuh atau dibunuh,” tuturnya.
Tugas mereka, sebagaimana diatur dalam UUD 1945, adalah menjalankan fungsi pertahanan nasional, yakni menjaga negara dari ancaman militer luar negeri. ”Perpres ini cenderung melampaui kewenangan itu, juga kewenangan yang diatur dalam UU 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI),” tutur Rafendi
Aktivis HAM internasional ini berpendapat, urusan penegakan hukum harus tetap dipegang dalam satu sistem yang disebut criminal justice system sehingga jangan sampai mengacaukan _criminal justice system_ yang ada.
”Sebab, hal itu akan merugikan negara, karena bertentangan dengan UU TNI itu sendiri,” ujarnya.
Undang-undang tersebut memang memberikan 14 fungsi TNI. Antara lain, fungsi operasi militer selain perang (OMSP) di dalamnya termasuk pemberantasan terorisme. Artinya, memang ada tugas TNI untuk masuk ke masalah terorisme. ”Persoalan lebih pada bagaimana cara masuknya, itu yang dikacaukan oleh Perpres ini,” katanya.
Sudah begitu, sambung dia, draf Perpres juga mengikis kewenangan konsultatif DPR dan kewenangan Presiden untuk mengeluarkan Keputusan Presiden terkait pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang.
”Hal itu akan mengancam sistem check and balances dalam birokrasi pengerahan kekuatan pertahanan. Sebab, kewenangan Presiden sangat kuat (terkait pelibatan TNI) tanpa kontrol check and balances dari DPR,” kata Rafendi.
Dia mendukung desakan banyak kalangan untuk menolak Perpres ini. Jika Perpres ini dibuat sebagai turunan dari Pasal 431 UU Pemberantasan Tindak Pidana Teorisme maka semestinya lebih memuat pasal-pasal dan merincikan ancaman terorisme seperti apa.
Kalau ancaman terorisme memang bisa dimasuki atau dikerjakan oleh TNI, semisal mengganggu kedaulatan negara, harus diatur bagaimana proses pelibatannya dikaitkan dengan sistem penegakan hukum kita.
”Kalau pelibatan TNI tidak diatur rinci, bisa terjadi dia akan tunduk pada hukum perang yang notabene berbeda dengan sistem penegakan hukum kita. Dalam hukum perang, istilah yang ada hanya membunuh atau dibunuh,” tuturnya.
tulis komentar anda