Rancangan Perpres Pelibatan TNI Tangani Terorisme Dinilai Rancu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Desakan untuk menolak pembahasan dan pengesahan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme terus bergulir dari banyak penjuru.
Satu di antaranya datang dari Rafendi Djamin, Komisioner Komisi Hak Asasi Manusia Antar-Pemerintah ASEAN (AICHR).
Rafendi tidak menepis kemungkinan adanya niat baik dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk membantu menangani persoalan pertahanan dan keamanan.
Apalagi, lanjut dia, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pun memberi ruang kepada tentara untuk terlibat dalam penanggulangan terorisme. Persoalannya, banyak pasal dalam draf Perpres tersebut yang rancu dan berpotensi tumpang tindih, bertabrakan dengan badan atau lembaga lain.
”Kalau dicermati, keberadaan Perpres tersebut bukan hanya tidak akan mengurangi ancaman atau mencegah dan melakukan pemulihan (akibat terorisme) secara efektif, yang berpeluang terjadi justru timbulnya kerancuan di tingkat pelaksanaan,” ujar Rafendi Djamin dalam keterangan kepada pers di Jakarta, Sabtu 16 Mei 2020.
Dia mengatakan, isu seputar pelibatan TNI dalam menangani terorisme pada dasarnya masuk ke dalam dua ranah. Ranah penegakan hukum dan ranah dalam situasi perang. ( )
Ranah penegakan hukum itu bukan wilayah TNI yang tugas dan fungsinya lebih ke urusan pertahanan. Oleh karena itu, ketika tentara kemudian masuk ke ranah hukum, yang akan terjadi adalah kekacauan di lapangan karena terjadi tumpang tindih peran dengan badan atau lembaga lain.
”Terutama karena kita punya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yang menurut undang-undang menjadi leading sector dalam pencegahan hingga pemulihan terorisme,” tutur Rafendi.
Tumpang tindih dimungkinkan terjadi karena pada dasarnya terorisme adalah ”objek hukum pidana.” Sebagaimana pidana lain, yang bertugas menanganinya adalah penegak hukum seperti Polri.
Sementara TNI, kata dia, sejak awal tidak pernah didesain untuk menjalankan fungsi penegak hukum.
Tugas mereka, sebagaimana diatur dalam UUD 1945, adalah menjalankan fungsi pertahanan nasional, yakni menjaga negara dari ancaman militer luar negeri. ”Perpres ini cenderung melampaui kewenangan itu, juga kewenangan yang diatur dalam UU 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI),” tutur Rafendi
Aktivis HAM internasional ini berpendapat, urusan penegakan hukum harus tetap dipegang dalam satu sistem yang disebut criminal justice system sehingga jangan sampai mengacaukan _criminal justice system_ yang ada.
”Sebab, hal itu akan merugikan negara, karena bertentangan dengan UU TNI itu sendiri,” ujarnya.
Undang-undang tersebut memang memberikan 14 fungsi TNI. Antara lain, fungsi operasi militer selain perang (OMSP) di dalamnya termasuk pemberantasan terorisme. Artinya, memang ada tugas TNI untuk masuk ke masalah terorisme. ”Persoalan lebih pada bagaimana cara masuknya, itu yang dikacaukan oleh Perpres ini,” katanya.
Sudah begitu, sambung dia, draf Perpres juga mengikis kewenangan konsultatif DPR dan kewenangan Presiden untuk mengeluarkan Keputusan Presiden terkait pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang.
”Hal itu akan mengancam sistem check and balances dalam birokrasi pengerahan kekuatan pertahanan. Sebab, kewenangan Presiden sangat kuat (terkait pelibatan TNI) tanpa kontrol check and balances dari DPR,” kata Rafendi.
Dia mendukung desakan banyak kalangan untuk menolak Perpres ini. Jika Perpres ini dibuat sebagai turunan dari Pasal 431 UU Pemberantasan Tindak Pidana Teorisme maka semestinya lebih memuat pasal-pasal dan merincikan ancaman terorisme seperti apa.
Kalau ancaman terorisme memang bisa dimasuki atau dikerjakan oleh TNI, semisal mengganggu kedaulatan negara, harus diatur bagaimana proses pelibatannya dikaitkan dengan sistem penegakan hukum kita.
”Kalau pelibatan TNI tidak diatur rinci, bisa terjadi dia akan tunduk pada hukum perang yang notabene berbeda dengan sistem penegakan hukum kita. Dalam hukum perang, istilah yang ada hanya membunuh atau dibunuh,” tuturnya.
Satu di antaranya datang dari Rafendi Djamin, Komisioner Komisi Hak Asasi Manusia Antar-Pemerintah ASEAN (AICHR).
Rafendi tidak menepis kemungkinan adanya niat baik dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk membantu menangani persoalan pertahanan dan keamanan.
Apalagi, lanjut dia, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pun memberi ruang kepada tentara untuk terlibat dalam penanggulangan terorisme. Persoalannya, banyak pasal dalam draf Perpres tersebut yang rancu dan berpotensi tumpang tindih, bertabrakan dengan badan atau lembaga lain.
”Kalau dicermati, keberadaan Perpres tersebut bukan hanya tidak akan mengurangi ancaman atau mencegah dan melakukan pemulihan (akibat terorisme) secara efektif, yang berpeluang terjadi justru timbulnya kerancuan di tingkat pelaksanaan,” ujar Rafendi Djamin dalam keterangan kepada pers di Jakarta, Sabtu 16 Mei 2020.
Dia mengatakan, isu seputar pelibatan TNI dalam menangani terorisme pada dasarnya masuk ke dalam dua ranah. Ranah penegakan hukum dan ranah dalam situasi perang. ( )
Ranah penegakan hukum itu bukan wilayah TNI yang tugas dan fungsinya lebih ke urusan pertahanan. Oleh karena itu, ketika tentara kemudian masuk ke ranah hukum, yang akan terjadi adalah kekacauan di lapangan karena terjadi tumpang tindih peran dengan badan atau lembaga lain.
”Terutama karena kita punya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yang menurut undang-undang menjadi leading sector dalam pencegahan hingga pemulihan terorisme,” tutur Rafendi.
Tumpang tindih dimungkinkan terjadi karena pada dasarnya terorisme adalah ”objek hukum pidana.” Sebagaimana pidana lain, yang bertugas menanganinya adalah penegak hukum seperti Polri.
Sementara TNI, kata dia, sejak awal tidak pernah didesain untuk menjalankan fungsi penegak hukum.
Tugas mereka, sebagaimana diatur dalam UUD 1945, adalah menjalankan fungsi pertahanan nasional, yakni menjaga negara dari ancaman militer luar negeri. ”Perpres ini cenderung melampaui kewenangan itu, juga kewenangan yang diatur dalam UU 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI),” tutur Rafendi
Aktivis HAM internasional ini berpendapat, urusan penegakan hukum harus tetap dipegang dalam satu sistem yang disebut criminal justice system sehingga jangan sampai mengacaukan _criminal justice system_ yang ada.
”Sebab, hal itu akan merugikan negara, karena bertentangan dengan UU TNI itu sendiri,” ujarnya.
Undang-undang tersebut memang memberikan 14 fungsi TNI. Antara lain, fungsi operasi militer selain perang (OMSP) di dalamnya termasuk pemberantasan terorisme. Artinya, memang ada tugas TNI untuk masuk ke masalah terorisme. ”Persoalan lebih pada bagaimana cara masuknya, itu yang dikacaukan oleh Perpres ini,” katanya.
Sudah begitu, sambung dia, draf Perpres juga mengikis kewenangan konsultatif DPR dan kewenangan Presiden untuk mengeluarkan Keputusan Presiden terkait pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang.
”Hal itu akan mengancam sistem check and balances dalam birokrasi pengerahan kekuatan pertahanan. Sebab, kewenangan Presiden sangat kuat (terkait pelibatan TNI) tanpa kontrol check and balances dari DPR,” kata Rafendi.
Dia mendukung desakan banyak kalangan untuk menolak Perpres ini. Jika Perpres ini dibuat sebagai turunan dari Pasal 431 UU Pemberantasan Tindak Pidana Teorisme maka semestinya lebih memuat pasal-pasal dan merincikan ancaman terorisme seperti apa.
Kalau ancaman terorisme memang bisa dimasuki atau dikerjakan oleh TNI, semisal mengganggu kedaulatan negara, harus diatur bagaimana proses pelibatannya dikaitkan dengan sistem penegakan hukum kita.
”Kalau pelibatan TNI tidak diatur rinci, bisa terjadi dia akan tunduk pada hukum perang yang notabene berbeda dengan sistem penegakan hukum kita. Dalam hukum perang, istilah yang ada hanya membunuh atau dibunuh,” tuturnya.
(dam)