Pernah Ngotot Gelar Pilkada 2020, Pemerintah Dinilai Amnesia Tolak Revisi UU Pemilu
Senin, 01 Februari 2021 - 12:08 WIB
JAKARTA - Di tengah kencangnya suara desakan publik untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Pemilihan Umum ( UU Pemilu ), pemerintah justru menolak melakukan revisi UU Pemilu, meski sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar mengatakan UU Pemilu belum perlu direvisi. Sebab, UU itu masih mengatur rangkaian pemilu di Indonesia hingga 2024. ”UU tersebut belum dilaksanakan. Tidak tepat jika belum dilaksanakan, sudah direvisi. Mestinya, dilaksanakan dulu, kemudian dievaluasi, baru kemudian direvisi jika diperlukan," kata Bahtiar dalam keterangan tertulis, Jumat (29/1/2021).
(Baca: Mayoritas Parpol Tak Mau Revisi UU Pemilu, Jimly: Yang Penting Capres Jangan Dua)
Analis Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, argumentasi dan sikap pemerintah yang menolak revisi di luar nalar logika berfikir dan terlihat sangat tidak konsisten dengan argumen yang justru keluar dari pemerintah sendiri terutama saat publik meminta Pilkada Serentak 2020 ditunda.
Saat itu, Pemerintah bersikukuh tetap melaksanakan pilkada serentak 2020 dengan berbagai argumen dan alasan, di antaranya untuk menjaga hak konstitusi rakyat untuk dipilih dan memilih. Alasan kuat lain, pemerintah tidak mau ada pelaksana tugas (plt) yang menjabat secara bersamaan di 270 wilayah. Sebab seorang plt tidak boleh mengambil kebijakan strategis yang justru kerap dibutuhkan dalam masa pandemi.
Pemerintah juga beralasan bahwa pilkada bisa menggerakkan ekonomi karena perputaran duitnya besar dan pelbagai macam argumen lainnya. ”Menurut saya pemerintah sedang dijangkiti penyakit amnesia, mengapa dengan begitu cepat melupakan argumentasi yang pernah mereka gunakan untuk tetap ngotot melaksanakan pilkada tahun lalu?” katanya, Senin (1/2/2021).
(Baca: UU Pemilu Tak Direvisi, PDIP Diuntungkan karena Bisa Usung Capres Sendiri)
Pangi mempertanyakan argumen yang sama mengapa tidak dipakai kembali untuk tetap konsisten melakukan normalisasi trayek pilkada serentak 2022 dan 2023? ”Bagaimana mungkin secara akal sehat, common sense pemerintah mendukung dan memberikan sinyal pilkada serentak hanya di tahun 2024, tidak ada penyelenggaraan pilkada serentak di tahun 2022-2023. Itu artinya, akan ada lebih kurang 272 kepala daerah plt? Ini yang merusak kualitas demokrasi, disharmoni, disorder,” katanya.
Menurutnya, prasyarat negara demokratis yakni terjadi pertukaran elite berkuasa (kepala daerah) secara reguler. ”Saya mencermati justru banyak kepala daerah yang dizalimi karena masa jabatannya berkurang hanya demi ambisi pilkada serentak yang kita tidak tahu apa manfaatnya dan keuntungannya sampai hari ini. Korelasi linear efficiency cost pun kita belum temukan. Ini yang saya maksud cacat bawaan demokrasi karena pemerintah yang tidak konsisten sikapnya," ujar Pangi.
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar mengatakan UU Pemilu belum perlu direvisi. Sebab, UU itu masih mengatur rangkaian pemilu di Indonesia hingga 2024. ”UU tersebut belum dilaksanakan. Tidak tepat jika belum dilaksanakan, sudah direvisi. Mestinya, dilaksanakan dulu, kemudian dievaluasi, baru kemudian direvisi jika diperlukan," kata Bahtiar dalam keterangan tertulis, Jumat (29/1/2021).
(Baca: Mayoritas Parpol Tak Mau Revisi UU Pemilu, Jimly: Yang Penting Capres Jangan Dua)
Analis Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, argumentasi dan sikap pemerintah yang menolak revisi di luar nalar logika berfikir dan terlihat sangat tidak konsisten dengan argumen yang justru keluar dari pemerintah sendiri terutama saat publik meminta Pilkada Serentak 2020 ditunda.
Saat itu, Pemerintah bersikukuh tetap melaksanakan pilkada serentak 2020 dengan berbagai argumen dan alasan, di antaranya untuk menjaga hak konstitusi rakyat untuk dipilih dan memilih. Alasan kuat lain, pemerintah tidak mau ada pelaksana tugas (plt) yang menjabat secara bersamaan di 270 wilayah. Sebab seorang plt tidak boleh mengambil kebijakan strategis yang justru kerap dibutuhkan dalam masa pandemi.
Pemerintah juga beralasan bahwa pilkada bisa menggerakkan ekonomi karena perputaran duitnya besar dan pelbagai macam argumen lainnya. ”Menurut saya pemerintah sedang dijangkiti penyakit amnesia, mengapa dengan begitu cepat melupakan argumentasi yang pernah mereka gunakan untuk tetap ngotot melaksanakan pilkada tahun lalu?” katanya, Senin (1/2/2021).
(Baca: UU Pemilu Tak Direvisi, PDIP Diuntungkan karena Bisa Usung Capres Sendiri)
Pangi mempertanyakan argumen yang sama mengapa tidak dipakai kembali untuk tetap konsisten melakukan normalisasi trayek pilkada serentak 2022 dan 2023? ”Bagaimana mungkin secara akal sehat, common sense pemerintah mendukung dan memberikan sinyal pilkada serentak hanya di tahun 2024, tidak ada penyelenggaraan pilkada serentak di tahun 2022-2023. Itu artinya, akan ada lebih kurang 272 kepala daerah plt? Ini yang merusak kualitas demokrasi, disharmoni, disorder,” katanya.
Menurutnya, prasyarat negara demokratis yakni terjadi pertukaran elite berkuasa (kepala daerah) secara reguler. ”Saya mencermati justru banyak kepala daerah yang dizalimi karena masa jabatannya berkurang hanya demi ambisi pilkada serentak yang kita tidak tahu apa manfaatnya dan keuntungannya sampai hari ini. Korelasi linear efficiency cost pun kita belum temukan. Ini yang saya maksud cacat bawaan demokrasi karena pemerintah yang tidak konsisten sikapnya," ujar Pangi.
(muh)
tulis komentar anda