Vaksinasi dan Inokulasi Komunikasi

Jum'at, 29 Januari 2021 - 05:07 WIB
Gun Gun Heryanto (Foto: Istimewa)
Gun Gun Heryanto

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

SALAH satu agenda sangat penting pada 2021 ini adalah vaksinasi Covid-19. Sudah dimulai sejak Rabu (13/1), yang ditandai dengan pemberian vaksin kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), beserta sejumlah tokoh lainnya. Ini merupakan ikhtiar dan menjadi salah satu dari ragam cara mengatasi pandemi yang saat ini mencatatkan rekor dengan angka yang positif terpapar korona melampaui 1 juta orang. Tak mudah memang, polarisasi persepsi masih terjadi, terlebih di era keberlimpahan komunikasi yang terfasilitasi ragam kanal, terutama media sosial. Belum lagi ketidaknyamanan dan ketidakpastian akibat pandemi berdampak pada kepercayaan publik yang tak mudah diyakinkan. Tulisan ini melihat vaksinasi dari sisi proses komunikasi yang semestinya dijalankan.

Komunikasi Persuasif

Dalam mengawal kesuksesan agenda vaksinasi ini diperlukan strategi komunikasi yang tepat untuk membangun pemahaman bersama dan penerimaan dari khalayak luas. Secara faktual, masyarakat masih terbagi di tiga zona. jika merujuk pada Social Judgement Theory dari Muzafer Sherif dan Carolyn Sherif, sebagaimana dikutip Richard M Perloff dalam bukunya, The Dynamics of Persuasion (2003). Pertama, warga yang berada di zona penerimaan (latitude of acceptance) terhadap vaksin. Argumen kelompok ini umumnya vaksin diperlukan bagi sistem imunitas tubuh untuk melawan virus korona. Dengan begitu, risiko terinfeksi virus ini akan jauh lebih kecil. Jika pun seseorang yang sudah divaksin tertular Covid-19, vaksin bisa mencegah terjadinya gejala yang berat dan komplikasi. Sebagian dari kelompok yang menerima ada yang memahami bahwa bila vaksin diberikan secara massal, akan mendorong terbentuknya kekebalan kelompok (herd immunity). Meskipun jika ditanya lebih rinci, turunan teknis soal vaksinasi ini belum banyak dipahami masyarakat umum.



Kedua, warga yang berada di zona penolakan (latitude of rejection), yakni masyarakat yang sedari awal tidak bisa menerima dan tidak mau divaksin. Umumnya disebabkan tiga hal, yakni sikap, norma subjektif, dan lingkungan. Ada kelompok masyarakat yang sejak awal bersikap antipati pada apa pun yang diambil pemerintahan Jokowi. Hal ini bisa jadi faktornya banyak antara lain pilihan politik selama pemilihan presiden yang memengaruhi sikap oposisional dirinya dengan kebijakan-kebijakan Jokowi. Norma subjektif terhubung dengan kerangka rujukan normatif yang memandu subjektivitas dirinya terhadap vaksin, bisa agama, bisa juga sumber bacaan yang memandu kepercayaan, nalar, dan emosinya. Jangan abaikan pula faktor lingkungan, misalnya keluarga, kelompok sebaya (peer group), sosialisasi di sekolah, dan lain-lain.

Ketiga, warga yang berada di zona keraguan dan belum berkomitmen menerima atau menolak (latitude of noncommitment). Lapis masyarakat seperti ini masih memerlukan penjelasan, informasi yang lebih memadai, peneguhan intensi untuk mengubah sikap dan perilakunya dari ragu menjadi menerima atau menolak. Merujuk salah satu teori persuasi, Theory of Reasoned Action yang dikembangkan Martin Fishbein dan Icek Ajzen pada 1980 dalam bukunya, Predicting and Changing Behavior: The Reasoned Action Approach (2007), perubahan perilaku itu ditentukan oleh intensi seseorang. Masyarakat berperilaku dengan cara sadar dan mempertimbangkan segala informasi yang tersedia. Dalam konteks inilah komunikasi memainkan peran dan fungsi strategisnya dalam vaksinasi. Tanpa komunikasi yang baik, vaksin ini tidak akan menyentuh kesadaran mayoritas warga untuk melakukannya.

Komunikasi Berjejaring

Sesungguhnya kalau kita mengikuti proses vaksinasi ini di Indonesia, masyarakat seharusnya tak perlu ragu, mengingat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA). Dengan izin tersebut, vaksin CoronaVac produksi Sinovac Life Science Co Ltd China dan PT Bio Farma (Persero) dapat digunakan untuk program vaksinasi di Indonesia. Dari sisi kerangka referensi evaluatif nilai pun bagi umat Islam telah keluar Fatwa MU Nomor 02 Tahun 2021 Tentang Produk Vaksin Covid-19 dari Sinovac dan PT Bio Farma (Persero). MUI menyatakan bahwa vaksin tersebut hukumnya suci dan halal. Vaksin tersebut boleh digunakan umat Islam sepanjang terjamin keamanannya menurut ahli yang kredibel dan kompeten.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More