Ekonomi Kedelai Bukan Masalah Kelas Tempe

Kamis, 14 Januari 2021 - 04:35 WIB
Selain iklim, tingginya komposisi ongkos produksi tanaman kedelai juga lebih tinggi dibandingkan tanaman pangan lain seperti padi sawah, padi ladang dan jagung. Menurut BPS, pada setiap hektare lahan produktif, akan menghasilkan nilai produksi kedelai sebesar Rp10.274.310,- dengan ongkos produksi sebesar Rp9.045.850. Proporsi ongkos produksi dibandingkan nilai produksi tanaman kedelai sebesar 88,04% dan hanya memberikan keuntungan pada petani sebesar 11,96% pada tiap musim tanam per hektare lahan. Hal ini tentu di bawah keuntungan jika lahan produktif ditanami jagung yang dapat memberikan keuntungan sebesar 29,12%, padi sawah sebesar 26,77% dan padi ladang sebesar 21,27%. Tingginya ongkos produksi kedelai menyebabkan petani lebih memilih tanaman lain di lahan produktifnya.

Politik Ekonomi Kedelai

Polemik mogoknya pengusaha tempe tahu pada awal 2021 ini membuat masyarakat berspekulasi tentang kondisi ekonomi dan politik nasional. Kembali dipertanyakan berbagai kebijakan pemerintah berkaitan dengan perdagangan dan impor kedelai serta kemampuan pemerintah dalam melindungi pengusaha dan konsumen produk berbahan baku kedelai.

Masalah politik ekonomi kedelai bukan saja ditentukan oleh kebijakan nasional semata. Hal ini disebabkan kedelai sebagai komoditas impor yang melibatkan hubungan antarnegara serta dipengaruhi oleh perdagangan global. Dominasi impor kedelai Indonesia dari Amerika Serikat pada akhir 2020 diguncang oleh keterbatasan stok dan kenaikan harga.

Berdasarkan Food and Agriculture Organization (FAO), AS merupakan negara penghasil kedelai dengan jumlah paling besar di dunia dengan produksi lebih dari 119,52 juta ton per tahun. Negara lain penghasil kedelai dengan jumlah yang besar lainnya adalah Brasil, Argentina, China dan India.

Aksi protes pengusaha tahu tempe dengan mogok berproduksi sangat mengagetkan bagi masyarakat apalagi jika ini dikaitkan dengan fakta kenaikan harga kedelai pada pasar global serta permasalahan stok nasional karena tidak adanya pasokan (supply) impor dari AS pada akhir 2020. Kenaikan harga yang cukup tinggi pada pasar global sebenarnya sudah terjadi semenjak awal tahun lalu, tapi mencapai puncak kenaikan pada Desember 2020, yaitu sebesar 37,65%. Lonjakan harga ini dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu penurunan produksi karena efek La Nina, pulihnya permintaan kedelai dari China dan dampak pandemi Covid-19.

Akan tetapi, faktor terbesar penyebab lonjakan harga kedelai pada akhir 2020 adalah lonjakan permintaan Negeri Tirai Bambu akibat program pemulihan peternakan babi setelah adanya bencana demam babi Afrika. Program pemulihan peternakan babi ini akan membutuhkan permintaan kedelai lebih dari 100 juta ton yang sebagian besar akan dipenuhi dari AS, meskipun di antara keduanya sering terlibat perang dagang. Konsumsi kedelai China membutuhkan sekitar 60% dari total produksi kedelai di dunia, sehingga tingginya permintaan kedelai oleh pasar China sangat memengaruhi kenaikan harga kedelai dunia.

Selain itu, faktor politik yang berpengaruh terhadap perjanjian perdagangan bilateral antara China dan AS yang membaik pascaterpilihnya Joe Biden sebagai Presiden AS sangat memengaruhi arus perdagangan kedelai di pasar global. Tingginya permintaan impor kedelai dari negara tersebut adalah upaya memperbaiki hubungan dagang yang sempat menurun di masa Presiden Donald Trump. Hal ini merupakan realisasi kesepakatan perjanjian dagang fase pertama antara China dan AS untuk pembelian barang, jasa dan energi dengan nilai total USD200 miliar dalam waktu dua tahun, termasuk di dalamnya tentang perjanjian pembelian komoditas pertanian Amerika Serikat sebesar USD80 miliar.

Perjanjian dagang antara China dan AS untuk komoditas pertanian yang sangat besar hingga 2021 tentu akan sangat berdampak pada harga komoditas pertanian yang selama ini banyak dipasok oleh negara adidaya itu ke pasar global. Oleh karena itu, kenaikan harga kedelai masih mungkin akan terus berlangsung hingga 2021 akibat dampak sangat tingginya impor kedelai dari AS ke China yang secara otomatis akan menguragi stok impor kedelai ke negara-negara lain, termasuk Indonesia.

Pemerintah Indonesia yang sempat mengemukakan ide swasembada kedelai pada era Presiden Joko Widodo tentu bukan suatu janji politik yang populer dengan memperhatikan kondisi luas lahan, iklim serta tingginya ongkos produksi kedelai pada setiap satu hektare lahan yang mencapai lebih dari 88%. Mengharapkan pemenuhan kebutuhan kedelai dari pasar impor AS juga tidak dapat dilakukan karena produksi kedelai Amerika Serikat akan lebih banyak dikirim ke China.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More