Ekonomi Kedelai Bukan Masalah Kelas Tempe

Kamis, 14 Januari 2021 - 04:35 WIB
Asriana Ariyanti (Foto: Istimewa)
Asriana Ariyanti

Statistisi BPS Kota Bogor

BETAPA ramainya keluhan para ibu pada awal 2021 dengan menghilangnya tempe dan tahu di pasar. Dua komoditas yang sering dijadikan simbol makanan rakyat, makanan sederhana dan hemat tersebut tiba-tiba menjadi primadona perbincangan semua kalangan. Kalangan akademisi yang menyorot nilai ekonomi dan bagaimana teknis budidaya kedelai, kalangan birokrat tentang kebijakan importasi dan arah kebijakan sektor pangan. Masyarakat awam pun mengkhawatirkan ketiadaan tempe tahu dengan berbagai spekulasi kenaikan harga serta kelompok pengusaha yang memikirkan bagaimana kelanjutan bisnisnya terkait dengan kedelai.

Demand dan Supply Kedelai Nasional

Dominasi tahu dan tempe sebagai salah satu sumber protein utama keluarga di Indonesia tidak dapat dimungkiri. Menu ini hampir selalu ada di pola konsumsi masyarakat Indonesia dari kelompok ekonomi bawah hingga kelompok ekonomi atas. Pertumbuhan ekonomi masyarakat juga mengakibatkan perubahan pola konsumsi, yang semula didominasi bahan pangan penghasil energi menjadi konsumsi bahan pangan penghasil protein. Untuk memenuhi kebutuhan proteinnya, masyarakat mengonsumsi protein hewani dan juga protein nabati. Salah satu sumber protein nabati yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia adalah pangan berbahan dasar kedelai.



Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi secara otomatis meningkatkan kebutuhan kedelai sebagai bahan pangan sumber protein. Hal ini secara otomatis mendorong perkembangan sektor industri pangan berbahan baku kedelai juga. Selain kebutuhan untuk memenuhi industri pangan berbasi kedelai bagi masyarakat, kedelai juga sangat dibutuhkan sebagai salah satu komponen pakan ternak yang terus meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat. Semakin tinggi produk ternak yang dikonsumsi masyarakat, maka akan semakin meningkat pula kebutuhan bungkil kedelai sebagai pakan ternak.

Menurut data dari Kementerian Pertanian, rata-rata kebutuhan kedelai pada 2019 adalah 2,8 juta ton per tahun. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada 2019 total impor kedelai Indonesia 2,67 juta ton yang berasal dari Amerika Serikat (AS), Kanada, Malaysia, Brasil, Myanmar dan Prancis. Impor kedelai dari AS sebesar 2,51 juta ton kedelai atau sebesar 94,1% dan sebesar 5,9% diimpor dari Kanada, Brasil dan Malaysia.

Melihat besarnya total kebutuhan sebesar 2,8 juta ton dengan impor sebesar 2,67 juta ton, maka sebuah fakta bahwa sebagian besar kebutuhan kedelai nasional dipenuhi oleh impor. Kedelai impor berkisar 95,4% dan hanya kurang dari 5% merupakan produksi dalam negeri. BPS mencatat pada awal 2019 produksi kedelai domestik hanya 0,98 juta ton, sangat jauh dari kebutuhan kedelai nasional.

Beberapa hal yang menjadi penyebab rendahnya produktivitas tanaman kedelai di Indonesia adalah semakin sempitnya lahan pertanian tanaman kedelai serta kondisi iklim tropis yang tidak cocok untuk menghasilkan produktivitas optimal. Made Astawan, Guru Besar Bidang Pangan dan Kesehatan IPB University yang juga menjabat sebagai Ketua Forum Tempe Indonesia menyebutkan bahwa produktivitas kedelai di Indonesia hanya sekitar 50% dibandingkan produktivitas kedelai di Amerika Serikat. Hal ini berkaitan dengan kedelai yang lebih cocok ditanam di iklim subtropis dengan penyinaran matahari sekitar 16 jam sedangkan di Indonesia hanya 12 jam. Jika di negeri Paman Sam tiap hektare lahan dapat menghasilkan rata-rata 4 ton, maka di Indonesia hanya berkisar 1,5-2 ton.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More