KAMI Menilai Pemerintah Bekerja dengan Kepalsuan Pencitraan Kekuasaan
Selasa, 12 Januari 2021 - 16:57 WIB
"Hampir tidak ada kontrol karena parlemen juga cenderung hanya sebagai stempel kekuasaan. Semua itu sangat berbahaya dalam praktek berdemokrasi," katanya.
(BACA JUGA : Ada Ancaman Pemberontakan Besar, Trump Nyatakan Darurat 13 Hari di Washington )
Rochmat mengungkapkan, KAMI berpandangan bahwa demoralisasi terjadi pada birokrasi pemerintahan baik pusat dan daerah. Orientasi pada jabatan membuat birokrasi tidak lagi peka pada pelayanan publik dan berbagai persoalan masyarakat. Jual beli jabatan dan pangkat dan nepostisme makin dianggap biasa.
Sehingga, ujar dia, berujung pada munculnya kasus-kasus korupsi dan abuse of power. Sebanyak 33 kepala daerah dan 4 menteri terjerat korupsi di era Jokowi. Bahkan bantuan sosial untuk rakyat miskin di tengah pandemi Covid-19 yang dananya berasal dari utang luar negeri pun dikorupsi, dengan melibatkan langsung seorang Menteri.
"Hal demikian menjadi bukti bahwa tidak ada niat serius pemerintahan Jokowi untuk memperbaiki moral dan sistem pemerintahan yang mampu menjalankan prinsipprinsip good governance dan menghindarkan diri dari praktek KKN," ujarnya.
(Baca:Sekali Lagi Demokrasi Dinilai Mundur, LP3ES: Indonesia Balik Kananke Tirani)
Dia menegaskan, KAMI sepakat dan sesuai dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Moh Mahfud MD yang menyatakan agar para menteri yang melakukan tindak pidana korupsi saat bencana pandemi Covid-19 seperti saat ini diancam dan dituntut dengan hukuman mati.
Berikutnya tutur Rochmat, di tengah pandemi Covid 19 juga pemerintah telah memaksakan diri untuk melaksanakan Pilkada Serantak pada 9 Desember 2020. Padahal sebelumnya, hampir seluruh eleman bangsa, termasuk NU dan Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan terbesar di Indonesia, telah memberikan peringatan keras agar menundanya. Kini akibatnya tampak jelas, sekitar sebulan setelah pelaksanaan Pilkada serentak dilaksanakan, penyebaran Wabah Covid-19 semakin luas dan parah.
"Sangat memilukan sekaligus memalukan, karena Pemerintah justeru mengunakan alasan Covid-19 untuk kepentingan politik, memberangus siapa saja yang kritis dan tidak sejalan dengan pemerintah. Lantas, siapa pihak yang berani menyatakan diri bertangung jawab? Bagaimana pertangung jawaban pemerintah atas semua resiko yang terjadi sekarang ini?" ucap Rochmat.
(BACA JUGA : Ada Ancaman Pemberontakan Besar, Trump Nyatakan Darurat 13 Hari di Washington )
Rochmat mengungkapkan, KAMI berpandangan bahwa demoralisasi terjadi pada birokrasi pemerintahan baik pusat dan daerah. Orientasi pada jabatan membuat birokrasi tidak lagi peka pada pelayanan publik dan berbagai persoalan masyarakat. Jual beli jabatan dan pangkat dan nepostisme makin dianggap biasa.
Sehingga, ujar dia, berujung pada munculnya kasus-kasus korupsi dan abuse of power. Sebanyak 33 kepala daerah dan 4 menteri terjerat korupsi di era Jokowi. Bahkan bantuan sosial untuk rakyat miskin di tengah pandemi Covid-19 yang dananya berasal dari utang luar negeri pun dikorupsi, dengan melibatkan langsung seorang Menteri.
"Hal demikian menjadi bukti bahwa tidak ada niat serius pemerintahan Jokowi untuk memperbaiki moral dan sistem pemerintahan yang mampu menjalankan prinsipprinsip good governance dan menghindarkan diri dari praktek KKN," ujarnya.
(Baca:Sekali Lagi Demokrasi Dinilai Mundur, LP3ES: Indonesia Balik Kananke Tirani)
Dia menegaskan, KAMI sepakat dan sesuai dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Moh Mahfud MD yang menyatakan agar para menteri yang melakukan tindak pidana korupsi saat bencana pandemi Covid-19 seperti saat ini diancam dan dituntut dengan hukuman mati.
Berikutnya tutur Rochmat, di tengah pandemi Covid 19 juga pemerintah telah memaksakan diri untuk melaksanakan Pilkada Serantak pada 9 Desember 2020. Padahal sebelumnya, hampir seluruh eleman bangsa, termasuk NU dan Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan terbesar di Indonesia, telah memberikan peringatan keras agar menundanya. Kini akibatnya tampak jelas, sekitar sebulan setelah pelaksanaan Pilkada serentak dilaksanakan, penyebaran Wabah Covid-19 semakin luas dan parah.
"Sangat memilukan sekaligus memalukan, karena Pemerintah justeru mengunakan alasan Covid-19 untuk kepentingan politik, memberangus siapa saja yang kritis dan tidak sejalan dengan pemerintah. Lantas, siapa pihak yang berani menyatakan diri bertangung jawab? Bagaimana pertangung jawaban pemerintah atas semua resiko yang terjadi sekarang ini?" ucap Rochmat.
(muh)
Lihat Juga :
tulis komentar anda