KAMI Menilai Pemerintah Bekerja dengan Kepalsuan Pencitraan Kekuasaan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menilai pemerintah saat ini bekerja dengan kepalsuan pencitraan serta terus menerus menggerus kedaulatan rakyat.Hal ini merupakan indikator merosotnya bidang politik atas kondisi bangsa dan negara Indonesia dalam keadaan bahaya yang masuk pada 6 pernyataan sikap KAMI bertajuk "Tatapan Indonesia 2021".
(BACA JUGA : Blusukan, Cara Risma Pinjam Tangan Anies untuk Dongkrak Popularitas )
Presidium KAMI Rochmat Wahab menyatakan, pada indikator politik, menurut KAMI tampak jelas hilangnya keinginan luhur penyelenggara negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Akibatnya, bukan hanya menunjukkan terjadinya defisit kenegarawanan, tapi juga telah menabrak semangat, nilai-nilai dan kejuangan kemerdekaan Indonesia.
(Baca:2020 Tahun Kelam, KAMI: Pancasila Diancam Kudeta secara Sistematis-Konstitusional)
Di sisi lain, tutur Rochmat, merosotnya indeks demokrasi dengan angka kebebasan sipil 5,59. Bahkan, kata dia, indeks diperkirakan cenderung makin menurun pada tahun 2021 ini, dengan memperlihatkan betapa kekuasaan membungkam hak berbicara dan berorganisasi warga negara, sebagai hak dasar warga negara yang dijamin UUD 1945. Mereka yang menyampaikan aspirasi dan kritis terhadap pemerintah, yang harusnya dilindungi, justeru diperkarakan dan dipenjarakan.
(BACA JUGA : BPOM Menyatakan Vaksin Sinovac Aman, Khasiat Capai 65% )
"Sangat terlihat bahwa pemerintah bekerja dengan kepalsuan pencitraan kekuasaan, seolah untuk rakyat, namun realitanya, kekuasaan didayagunakan hanya untuk diri dan kelompok sendiri, sesuai ego politik dan kepentingan oligarki, bersama koalisi partai politik yang terus menerus menggerus kedaulatan rakyat. Perilaku politik yang korup dan meningginya perilaku otoiterianisme adalah wajah buruk kekuasaan saat ini," ungkap Rochmat saat konferensi pers secara virtual berisi 6 pernyataan sikap KAMI, Selasa (12/1/2021).
(Baca:KAMI Sebut Kondisi Indonesia Benar-benar Sedang Gawat Darurat)
Dalam kaitan itu, Rochmat memaparkan, gagasan masa kepemimpin presiden menjadi tiga periode adalah suatu contoh gagasan yang mengarah kepada absolutisme kekuasaan, yang sangat berbahaya bagi kehidupan kebangsaan. Bahkan pada tahun 2021 ini, praktik politik terlihat cenderung akan semakin memburuk, baik dari sisi indeks demokrasi, hak azasi manusia maupun perilaku elit politik kekuasaanya.
"Hampir tidak ada kontrol karena parlemen juga cenderung hanya sebagai stempel kekuasaan. Semua itu sangat berbahaya dalam praktek berdemokrasi," katanya.
(BACA JUGA : Ada Ancaman Pemberontakan Besar, Trump Nyatakan Darurat 13 Hari di Washington )
Rochmat mengungkapkan, KAMI berpandangan bahwa demoralisasi terjadi pada birokrasi pemerintahan baik pusat dan daerah. Orientasi pada jabatan membuat birokrasi tidak lagi peka pada pelayanan publik dan berbagai persoalan masyarakat. Jual beli jabatan dan pangkat dan nepostisme makin dianggap biasa.
Sehingga, ujar dia, berujung pada munculnya kasus-kasus korupsi dan abuse of power. Sebanyak 33 kepala daerah dan 4 menteri terjerat korupsi di era Jokowi. Bahkan bantuan sosial untuk rakyat miskin di tengah pandemi Covid-19 yang dananya berasal dari utang luar negeri pun dikorupsi, dengan melibatkan langsung seorang Menteri.
"Hal demikian menjadi bukti bahwa tidak ada niat serius pemerintahan Jokowi untuk memperbaiki moral dan sistem pemerintahan yang mampu menjalankan prinsipprinsip good governance dan menghindarkan diri dari praktek KKN," ujarnya.
(Baca:Sekali Lagi Demokrasi Dinilai Mundur, LP3ES: Indonesia Balik Kananke Tirani)
Dia menegaskan, KAMI sepakat dan sesuai dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Moh Mahfud MD yang menyatakan agar para menteri yang melakukan tindak pidana korupsi saat bencana pandemi Covid-19 seperti saat ini diancam dan dituntut dengan hukuman mati.
Berikutnya tutur Rochmat, di tengah pandemi Covid 19 juga pemerintah telah memaksakan diri untuk melaksanakan Pilkada Serantak pada 9 Desember 2020. Padahal sebelumnya, hampir seluruh eleman bangsa, termasuk NU dan Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan terbesar di Indonesia, telah memberikan peringatan keras agar menundanya. Kini akibatnya tampak jelas, sekitar sebulan setelah pelaksanaan Pilkada serentak dilaksanakan, penyebaran Wabah Covid-19 semakin luas dan parah.
"Sangat memilukan sekaligus memalukan, karena Pemerintah justeru mengunakan alasan Covid-19 untuk kepentingan politik, memberangus siapa saja yang kritis dan tidak sejalan dengan pemerintah. Lantas, siapa pihak yang berani menyatakan diri bertangung jawab? Bagaimana pertangung jawaban pemerintah atas semua resiko yang terjadi sekarang ini?" ucap Rochmat.
Lihat Juga: Peringati Ultah Gus Dur, Yenny Wahid Ingin Lanjutkan Perjuangan Wujudkan Dunia yang Adil dan Setara
(BACA JUGA : Blusukan, Cara Risma Pinjam Tangan Anies untuk Dongkrak Popularitas )
Presidium KAMI Rochmat Wahab menyatakan, pada indikator politik, menurut KAMI tampak jelas hilangnya keinginan luhur penyelenggara negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Akibatnya, bukan hanya menunjukkan terjadinya defisit kenegarawanan, tapi juga telah menabrak semangat, nilai-nilai dan kejuangan kemerdekaan Indonesia.
(Baca:2020 Tahun Kelam, KAMI: Pancasila Diancam Kudeta secara Sistematis-Konstitusional)
Di sisi lain, tutur Rochmat, merosotnya indeks demokrasi dengan angka kebebasan sipil 5,59. Bahkan, kata dia, indeks diperkirakan cenderung makin menurun pada tahun 2021 ini, dengan memperlihatkan betapa kekuasaan membungkam hak berbicara dan berorganisasi warga negara, sebagai hak dasar warga negara yang dijamin UUD 1945. Mereka yang menyampaikan aspirasi dan kritis terhadap pemerintah, yang harusnya dilindungi, justeru diperkarakan dan dipenjarakan.
(BACA JUGA : BPOM Menyatakan Vaksin Sinovac Aman, Khasiat Capai 65% )
"Sangat terlihat bahwa pemerintah bekerja dengan kepalsuan pencitraan kekuasaan, seolah untuk rakyat, namun realitanya, kekuasaan didayagunakan hanya untuk diri dan kelompok sendiri, sesuai ego politik dan kepentingan oligarki, bersama koalisi partai politik yang terus menerus menggerus kedaulatan rakyat. Perilaku politik yang korup dan meningginya perilaku otoiterianisme adalah wajah buruk kekuasaan saat ini," ungkap Rochmat saat konferensi pers secara virtual berisi 6 pernyataan sikap KAMI, Selasa (12/1/2021).
(Baca:KAMI Sebut Kondisi Indonesia Benar-benar Sedang Gawat Darurat)
Dalam kaitan itu, Rochmat memaparkan, gagasan masa kepemimpin presiden menjadi tiga periode adalah suatu contoh gagasan yang mengarah kepada absolutisme kekuasaan, yang sangat berbahaya bagi kehidupan kebangsaan. Bahkan pada tahun 2021 ini, praktik politik terlihat cenderung akan semakin memburuk, baik dari sisi indeks demokrasi, hak azasi manusia maupun perilaku elit politik kekuasaanya.
"Hampir tidak ada kontrol karena parlemen juga cenderung hanya sebagai stempel kekuasaan. Semua itu sangat berbahaya dalam praktek berdemokrasi," katanya.
(BACA JUGA : Ada Ancaman Pemberontakan Besar, Trump Nyatakan Darurat 13 Hari di Washington )
Rochmat mengungkapkan, KAMI berpandangan bahwa demoralisasi terjadi pada birokrasi pemerintahan baik pusat dan daerah. Orientasi pada jabatan membuat birokrasi tidak lagi peka pada pelayanan publik dan berbagai persoalan masyarakat. Jual beli jabatan dan pangkat dan nepostisme makin dianggap biasa.
Sehingga, ujar dia, berujung pada munculnya kasus-kasus korupsi dan abuse of power. Sebanyak 33 kepala daerah dan 4 menteri terjerat korupsi di era Jokowi. Bahkan bantuan sosial untuk rakyat miskin di tengah pandemi Covid-19 yang dananya berasal dari utang luar negeri pun dikorupsi, dengan melibatkan langsung seorang Menteri.
"Hal demikian menjadi bukti bahwa tidak ada niat serius pemerintahan Jokowi untuk memperbaiki moral dan sistem pemerintahan yang mampu menjalankan prinsipprinsip good governance dan menghindarkan diri dari praktek KKN," ujarnya.
(Baca:Sekali Lagi Demokrasi Dinilai Mundur, LP3ES: Indonesia Balik Kananke Tirani)
Dia menegaskan, KAMI sepakat dan sesuai dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Moh Mahfud MD yang menyatakan agar para menteri yang melakukan tindak pidana korupsi saat bencana pandemi Covid-19 seperti saat ini diancam dan dituntut dengan hukuman mati.
Berikutnya tutur Rochmat, di tengah pandemi Covid 19 juga pemerintah telah memaksakan diri untuk melaksanakan Pilkada Serantak pada 9 Desember 2020. Padahal sebelumnya, hampir seluruh eleman bangsa, termasuk NU dan Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan terbesar di Indonesia, telah memberikan peringatan keras agar menundanya. Kini akibatnya tampak jelas, sekitar sebulan setelah pelaksanaan Pilkada serentak dilaksanakan, penyebaran Wabah Covid-19 semakin luas dan parah.
"Sangat memilukan sekaligus memalukan, karena Pemerintah justeru mengunakan alasan Covid-19 untuk kepentingan politik, memberangus siapa saja yang kritis dan tidak sejalan dengan pemerintah. Lantas, siapa pihak yang berani menyatakan diri bertangung jawab? Bagaimana pertangung jawaban pemerintah atas semua resiko yang terjadi sekarang ini?" ucap Rochmat.
Lihat Juga: Peringati Ultah Gus Dur, Yenny Wahid Ingin Lanjutkan Perjuangan Wujudkan Dunia yang Adil dan Setara
(muh)