Keselamatan Rakyat, Negara, dan Solidaritas Sosial
Jum'at, 15 Mei 2020 - 05:00 WIB
Lalu, apa kabar dan kemanakah kelompok orang-orang terkaya dengan koorporasi besarnya di negeri ini, yang disebut memiliki kekayaan Rp1.884 Triliun itu (Forbes 50 Richest in Indonesia 2019)? Laporan Credit Suisse (2019) menyebut 1% orang kaya tersebut bisa menguasai 45% kekayaan nasional. Namun kontribusi pajak orang kaya ini hanya 0,8% dari total penerimaan pajak nasional. Jika dikalkulasi dari aset kekayaan bukan semata pendapatan, misal 30% dari total aset, maka negara bisa mendapat uang cash Rp 565 triliun/tahun. Jika dibagi rata ke 188 juta rakyat Indonesia, tiap orang akan mendapat Rp 3 juta/orang (universal basic income).
Hal ini cukup memenuhi kebutuhkan untuk penanganan dan pemulihan Covid-19 tanpa harus memperpanjang jerat gurita utang ke IMF dan Bank Dunia. Hitungan awal ini layak diajukan dan diperdalam lagi sebagai alternatif dan terobosan kebijakan strategis nasional.
Pembangkangan dan Solidaritas
Bencana Covid-19 akan jadi cermin besar bangsa ini. Menguji ulang seluruh komitmen politik dan ketaatan-kepatuhan negara pada mandat konstitusi. Termasuk janji-janji para elite/tokoh politik, pemimpin agama, budaya, sosial-kemasyarakatan, dst, yang menjadi representasi sosial dari suara aneka ragam lapisan sosial masyarakat. Jika semua masalah hak dan jaminan dasar keselamatan rakyat itu terus diabaikan dan tidak serius dipenuhi, bisa jadi pasca wabah Covid-19 akan muncul tonggak penting lahirnya sikap pembangkangan sosial-politik: emoh negara, baik yang bersifat terselubung/diam-diam maupun terang-terangan.
Sebagai konsekuensi logis kristalisasi dan endapan paling dasar dari terlukanya hati nurani dan nilai-moral dasar rakyat yang tak terpenuhi hak dasarnya berulang kali sehingga berdampak pada semakin tipis dan luruhnya arti kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya.
Secara teoretis, D Paul Johnson (1994) menyebut solidaritas sebagai suatu hubungan antara individu dan atau kelompok yang berdasar pada moral dan kepercayaan yang dianut bersama serta pengalaman emosional bersama. Solidaritas yang dipegang adalah kesatuan, persahabatan, rasa saling percaya yang muncul akibat tanggung jawab bersama dan kepentingan bersama di antara para anggotanya. Atau solidaritas organik, yakni bentuk solidaritas yang berkembang dalam kelompok masyarakat yang lebih kompleks secara sosial, budaya, ekonomi, dan politik (G Ritzer, 2012). Hakikat makna solidaritas sosial inilah yang menjadi roh dari falsafah Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan termandatkan dalam UUD 1945 yang disebut para founding fathers sebagai jiwa gotong-royong. Jiwa inilah yang menjadi intisari nilai ikatan berbangsa dan bernegara.
Mengapa penting, karena mengingatkan ulang nilai solidaritas sosial dan gotong-royong sebagai warisan luhur bangsa di tengah derita Covid-19? Menurut penulis, hal itu setidaknya memiliki tiga makna sekaligus: (1) menguji ulang logika pembenaran, bahwa di tengah bencana mewajarkan sifat dasar manusia yang lebih egoistis, mementingkan diri sendiri, dan cenderung berwatak homo homoni lupus; (2) mengingatkan ulang watak jatidiri, spirit dasar, falsafah bangsa, dan arah kiblat bernegara, sejak didirikannya; (3) “sinyal keras” pada elite politik negara, pemerintah dan wakil rakyat untuk sungguh-sungguh melindungi dan menjamin nyawa rakyat dulu (people first). Sebab, jika tidak, telah banyak bukti dalam penggalan sejarah leluhur bangsa ini yang menunjukkan kemampuan rakyat berdaulat dan mandiri menyelesaikan masalahnya sendiri (ada atau tidak ada intervensi “negara”).
Maka jangan sampai ada suatu masa negara dan para pengurus (pemerintahan)-nya masih meyakini dirinya “ada”, tetapi hakikatnya tidak dianggap “ada” oleh rakyat yang menjadi basis konstituen sendiri. Akibatnya telah luruh dan sirna roh dasar tujuan utama berbangsa-bernegara yang selaras dengan cita-cita dan imajinasi para pendirinya. Tepat, di titik inilah bukan saja penyelewengan mandat yang terjadi, tetapi juga bisa berarti satu bentuk pengkhianatan negara atas dasar dan tujuan konstitusinya sendiri: menjaga, melindungi harkat, martabat, dan menjamin keselamatan rakyat serta mewujdukan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berharap musibah Covid-19 dapat mengetuk nurani untuk refleksi, mengecek ulang relevansi sekaligus koreksi seluruh agenda kebijakan pembangunan nasional yang masih abai sense of humanity dan prinsip keadilan sosial-ekologis. Khususnya bagi para otoritas pemangku kebijakan dan elite penguasa politik-ekonomi nasional, segera fokus dan lebih bersungguh-sungguh agar tak sering terlambat lagi menangani dampak Covid-19 secara lebih menyeluruh. Sebab taruhannya nyawa harian rakyat di seluruh negeri. Jangan sampai ada satu titik kritis, rakyat emoh kepada negara dan elite politik sendiri akibat terlalu kenyang sikap tunaempati.
Hal ini cukup memenuhi kebutuhkan untuk penanganan dan pemulihan Covid-19 tanpa harus memperpanjang jerat gurita utang ke IMF dan Bank Dunia. Hitungan awal ini layak diajukan dan diperdalam lagi sebagai alternatif dan terobosan kebijakan strategis nasional.
Pembangkangan dan Solidaritas
Bencana Covid-19 akan jadi cermin besar bangsa ini. Menguji ulang seluruh komitmen politik dan ketaatan-kepatuhan negara pada mandat konstitusi. Termasuk janji-janji para elite/tokoh politik, pemimpin agama, budaya, sosial-kemasyarakatan, dst, yang menjadi representasi sosial dari suara aneka ragam lapisan sosial masyarakat. Jika semua masalah hak dan jaminan dasar keselamatan rakyat itu terus diabaikan dan tidak serius dipenuhi, bisa jadi pasca wabah Covid-19 akan muncul tonggak penting lahirnya sikap pembangkangan sosial-politik: emoh negara, baik yang bersifat terselubung/diam-diam maupun terang-terangan.
Sebagai konsekuensi logis kristalisasi dan endapan paling dasar dari terlukanya hati nurani dan nilai-moral dasar rakyat yang tak terpenuhi hak dasarnya berulang kali sehingga berdampak pada semakin tipis dan luruhnya arti kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya.
Secara teoretis, D Paul Johnson (1994) menyebut solidaritas sebagai suatu hubungan antara individu dan atau kelompok yang berdasar pada moral dan kepercayaan yang dianut bersama serta pengalaman emosional bersama. Solidaritas yang dipegang adalah kesatuan, persahabatan, rasa saling percaya yang muncul akibat tanggung jawab bersama dan kepentingan bersama di antara para anggotanya. Atau solidaritas organik, yakni bentuk solidaritas yang berkembang dalam kelompok masyarakat yang lebih kompleks secara sosial, budaya, ekonomi, dan politik (G Ritzer, 2012). Hakikat makna solidaritas sosial inilah yang menjadi roh dari falsafah Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan termandatkan dalam UUD 1945 yang disebut para founding fathers sebagai jiwa gotong-royong. Jiwa inilah yang menjadi intisari nilai ikatan berbangsa dan bernegara.
Mengapa penting, karena mengingatkan ulang nilai solidaritas sosial dan gotong-royong sebagai warisan luhur bangsa di tengah derita Covid-19? Menurut penulis, hal itu setidaknya memiliki tiga makna sekaligus: (1) menguji ulang logika pembenaran, bahwa di tengah bencana mewajarkan sifat dasar manusia yang lebih egoistis, mementingkan diri sendiri, dan cenderung berwatak homo homoni lupus; (2) mengingatkan ulang watak jatidiri, spirit dasar, falsafah bangsa, dan arah kiblat bernegara, sejak didirikannya; (3) “sinyal keras” pada elite politik negara, pemerintah dan wakil rakyat untuk sungguh-sungguh melindungi dan menjamin nyawa rakyat dulu (people first). Sebab, jika tidak, telah banyak bukti dalam penggalan sejarah leluhur bangsa ini yang menunjukkan kemampuan rakyat berdaulat dan mandiri menyelesaikan masalahnya sendiri (ada atau tidak ada intervensi “negara”).
Maka jangan sampai ada suatu masa negara dan para pengurus (pemerintahan)-nya masih meyakini dirinya “ada”, tetapi hakikatnya tidak dianggap “ada” oleh rakyat yang menjadi basis konstituen sendiri. Akibatnya telah luruh dan sirna roh dasar tujuan utama berbangsa-bernegara yang selaras dengan cita-cita dan imajinasi para pendirinya. Tepat, di titik inilah bukan saja penyelewengan mandat yang terjadi, tetapi juga bisa berarti satu bentuk pengkhianatan negara atas dasar dan tujuan konstitusinya sendiri: menjaga, melindungi harkat, martabat, dan menjamin keselamatan rakyat serta mewujdukan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berharap musibah Covid-19 dapat mengetuk nurani untuk refleksi, mengecek ulang relevansi sekaligus koreksi seluruh agenda kebijakan pembangunan nasional yang masih abai sense of humanity dan prinsip keadilan sosial-ekologis. Khususnya bagi para otoritas pemangku kebijakan dan elite penguasa politik-ekonomi nasional, segera fokus dan lebih bersungguh-sungguh agar tak sering terlambat lagi menangani dampak Covid-19 secara lebih menyeluruh. Sebab taruhannya nyawa harian rakyat di seluruh negeri. Jangan sampai ada satu titik kritis, rakyat emoh kepada negara dan elite politik sendiri akibat terlalu kenyang sikap tunaempati.
(jon)
tulis komentar anda