Keselamatan Rakyat, Negara, dan Solidaritas Sosial
loading...
A
A
A
Eko Cahyono
Pegiat dan Peneliti Sosial- Agraria Sajogyo Institute, Dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB
KINI semakin sadar dan tebal keyakinan rakyat dan publik luas: sulit berharap lagi kepada negara dan pemerintah. Bukan hanya soal cara mengurus kepentingan politik nasional yang semakin jauh dari jiwa kerakyatan dan keadilan sosial karena lebih mengutamakan jalan lapang investasi "dagang", utang, proyek pembangunan dan layanan pasar (global). Namun yang makin lebih nyata tunaempati dan semakin tipisnya jaminan keselamatan rakyat di negeri ini. Demikian memprihatinkan jika jaminan keselamatan nyawa para dokter, perawat, dan petugas medis yang menjadi pejuang di garda depan belum sepenuhnya diprioritaskan.
Tak mengherankan bila Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) dalam surat terbuka kepada Presiden mendesak pemerintah untuk meningkatkan semua sarana dan prasarana kesehatan guna mencegah bertambahnya jumlah korban Covid-19. Sebab rumah sakit rujukan masih minim fasilitas dan kurangnya APD yang dibutuhkan tenaga medis.
Siapa yang akan banyak menjadi korban? Pasti kelompok masyarakat lemah dan miskin, yang semakin jauh jaminan akses dan alternatif atas layanan standar kesehatan. Semakin menyakitkan tatkala kelompok rakyat miskin beberapa waktu lalu masih dituding sebagai penular pandemi ini sehingga dikatakan harus membantu yang kaya agar tidak makin terjangkit. Penting ditanyakan, benarkah ada “kelas sosial” dalam penanganan satu bencana? Lalu sebenarnya negara berpihak dan melindungi kelompok rakyat yang mana? Tunaempati dan ketidakpekaan penguasa atas nasib rakyatnya itu pernah diistilahkan oleh sosiolog WF Wheitheim sebagai satu bentuk sikap Politik Pengabaian (Politik of Iqnorance, Elite vs Massa, 2009).
Sebab semua produk kebijakan diukur menurut “nalar elite” dan tidak bersumber dan tidak dengan “nalar massa”. Beberapa waktu lalu publik menyaksikan praktik tunaempati dan politik pengabaian itu berulang dan membuat berbagai pihak menahan geram. Misalnya, saat akses alat tes Covid-19 datang, mestinya menjadi “hak dasar” dan prioritas bagi paramedis dan golongan mereka yang berpotensi terjangkit, tetapi malah diserobot tanpa malu oleh mereka yang masih ingin disebut: wakil rakyat. Sulit nalar waras menerima dan menyaksikan peristiwa ini. Yang perlu diingat adalah perilaku dan watak egoistis dan miskin sense of humanity para elite politik ini telah terekam di alam pikir dan batin rakyat Indonesia.
Negara Harus Hadir Tanpa Syarat
Di tengah beragam kecemasan dan kekhawatiran akibat wabah Covid-19 berserta serba-ketidakpastian perlindungan keselamatan jiwa, sebenarnya rakyat butuh negara hadir tanpa syarat, melampaui pertimbangan apa pun selain demi keselamatan nyawa dan hidup mereka. Prinsipnya nyawa dan keselamatan rakyat first. Segala kalkulasi-siasat politik dan rencana ekonomi yang tidak menyentuh hajat hidup keselamatan rakyat yang ada di depan mata harusnya diparkir dan abaikan dulu. Saatnya segala otoritas dan kewenangan negara dan wakil rakyat lebih serius melindungi dan selamatkan nyawa rakyatnya.
Wabah korona ini mestinya jadi cermin refleksi kritis untuk menguji ulang segenap mantra desain pembangunan nasional yang sebelumnya diyakini manjur dan jitu untuk menjamin kesejahteraan rakyat. Pertanyaannya, tujuan akhir atas nama pembangunan dari pinggiran yang dulu itu, jawab masalah rakyat yang mana? Benarkah, nasib rakyat kecil yang diutamakan? Jika benar, kenapa hanya untuk memenuhi permintaan darurat alat pelindung diri (APD) paramedis yang berjuang menyelamatkan nyawa rakyat, terus terlambat dan belum prioritas? Mengadakan teknologi untuk tes massal gratis Covid-19 saja, hingga sekarang belum terwujud.
Lalu, apa kabar dan kemanakah kelompok orang-orang terkaya dengan koorporasi besarnya di negeri ini, yang disebut memiliki kekayaan Rp1.884 Triliun itu (Forbes 50 Richest in Indonesia 2019)? Laporan Credit Suisse (2019) menyebut 1% orang kaya tersebut bisa menguasai 45% kekayaan nasional. Namun kontribusi pajak orang kaya ini hanya 0,8% dari total penerimaan pajak nasional. Jika dikalkulasi dari aset kekayaan bukan semata pendapatan, misal 30% dari total aset, maka negara bisa mendapat uang cash Rp 565 triliun/tahun. Jika dibagi rata ke 188 juta rakyat Indonesia, tiap orang akan mendapat Rp 3 juta/orang (universal basic income).
Hal ini cukup memenuhi kebutuhkan untuk penanganan dan pemulihan Covid-19 tanpa harus memperpanjang jerat gurita utang ke IMF dan Bank Dunia. Hitungan awal ini layak diajukan dan diperdalam lagi sebagai alternatif dan terobosan kebijakan strategis nasional.
Pembangkangan dan Solidaritas
Bencana Covid-19 akan jadi cermin besar bangsa ini. Menguji ulang seluruh komitmen politik dan ketaatan-kepatuhan negara pada mandat konstitusi. Termasuk janji-janji para elite/tokoh politik, pemimpin agama, budaya, sosial-kemasyarakatan, dst, yang menjadi representasi sosial dari suara aneka ragam lapisan sosial masyarakat. Jika semua masalah hak dan jaminan dasar keselamatan rakyat itu terus diabaikan dan tidak serius dipenuhi, bisa jadi pasca wabah Covid-19 akan muncul tonggak penting lahirnya sikap pembangkangan sosial-politik: emoh negara, baik yang bersifat terselubung/diam-diam maupun terang-terangan.
Sebagai konsekuensi logis kristalisasi dan endapan paling dasar dari terlukanya hati nurani dan nilai-moral dasar rakyat yang tak terpenuhi hak dasarnya berulang kali sehingga berdampak pada semakin tipis dan luruhnya arti kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya.
Secara teoretis, D Paul Johnson (1994) menyebut solidaritas sebagai suatu hubungan antara individu dan atau kelompok yang berdasar pada moral dan kepercayaan yang dianut bersama serta pengalaman emosional bersama. Solidaritas yang dipegang adalah kesatuan, persahabatan, rasa saling percaya yang muncul akibat tanggung jawab bersama dan kepentingan bersama di antara para anggotanya. Atau solidaritas organik, yakni bentuk solidaritas yang berkembang dalam kelompok masyarakat yang lebih kompleks secara sosial, budaya, ekonomi, dan politik (G Ritzer, 2012). Hakikat makna solidaritas sosial inilah yang menjadi roh dari falsafah Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan termandatkan dalam UUD 1945 yang disebut para founding fathers sebagai jiwa gotong-royong. Jiwa inilah yang menjadi intisari nilai ikatan berbangsa dan bernegara.
Mengapa penting, karena mengingatkan ulang nilai solidaritas sosial dan gotong-royong sebagai warisan luhur bangsa di tengah derita Covid-19? Menurut penulis, hal itu setidaknya memiliki tiga makna sekaligus: (1) menguji ulang logika pembenaran, bahwa di tengah bencana mewajarkan sifat dasar manusia yang lebih egoistis, mementingkan diri sendiri, dan cenderung berwatak homo homoni lupus; (2) mengingatkan ulang watak jatidiri, spirit dasar, falsafah bangsa, dan arah kiblat bernegara, sejak didirikannya; (3) “sinyal keras” pada elite politik negara, pemerintah dan wakil rakyat untuk sungguh-sungguh melindungi dan menjamin nyawa rakyat dulu (people first). Sebab, jika tidak, telah banyak bukti dalam penggalan sejarah leluhur bangsa ini yang menunjukkan kemampuan rakyat berdaulat dan mandiri menyelesaikan masalahnya sendiri (ada atau tidak ada intervensi “negara”).
Maka jangan sampai ada suatu masa negara dan para pengurus (pemerintahan)-nya masih meyakini dirinya “ada”, tetapi hakikatnya tidak dianggap “ada” oleh rakyat yang menjadi basis konstituen sendiri. Akibatnya telah luruh dan sirna roh dasar tujuan utama berbangsa-bernegara yang selaras dengan cita-cita dan imajinasi para pendirinya. Tepat, di titik inilah bukan saja penyelewengan mandat yang terjadi, tetapi juga bisa berarti satu bentuk pengkhianatan negara atas dasar dan tujuan konstitusinya sendiri: menjaga, melindungi harkat, martabat, dan menjamin keselamatan rakyat serta mewujdukan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berharap musibah Covid-19 dapat mengetuk nurani untuk refleksi, mengecek ulang relevansi sekaligus koreksi seluruh agenda kebijakan pembangunan nasional yang masih abai sense of humanity dan prinsip keadilan sosial-ekologis. Khususnya bagi para otoritas pemangku kebijakan dan elite penguasa politik-ekonomi nasional, segera fokus dan lebih bersungguh-sungguh agar tak sering terlambat lagi menangani dampak Covid-19 secara lebih menyeluruh. Sebab taruhannya nyawa harian rakyat di seluruh negeri. Jangan sampai ada satu titik kritis, rakyat emoh kepada negara dan elite politik sendiri akibat terlalu kenyang sikap tunaempati.
Pegiat dan Peneliti Sosial- Agraria Sajogyo Institute, Dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB
KINI semakin sadar dan tebal keyakinan rakyat dan publik luas: sulit berharap lagi kepada negara dan pemerintah. Bukan hanya soal cara mengurus kepentingan politik nasional yang semakin jauh dari jiwa kerakyatan dan keadilan sosial karena lebih mengutamakan jalan lapang investasi "dagang", utang, proyek pembangunan dan layanan pasar (global). Namun yang makin lebih nyata tunaempati dan semakin tipisnya jaminan keselamatan rakyat di negeri ini. Demikian memprihatinkan jika jaminan keselamatan nyawa para dokter, perawat, dan petugas medis yang menjadi pejuang di garda depan belum sepenuhnya diprioritaskan.
Tak mengherankan bila Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) dalam surat terbuka kepada Presiden mendesak pemerintah untuk meningkatkan semua sarana dan prasarana kesehatan guna mencegah bertambahnya jumlah korban Covid-19. Sebab rumah sakit rujukan masih minim fasilitas dan kurangnya APD yang dibutuhkan tenaga medis.
Siapa yang akan banyak menjadi korban? Pasti kelompok masyarakat lemah dan miskin, yang semakin jauh jaminan akses dan alternatif atas layanan standar kesehatan. Semakin menyakitkan tatkala kelompok rakyat miskin beberapa waktu lalu masih dituding sebagai penular pandemi ini sehingga dikatakan harus membantu yang kaya agar tidak makin terjangkit. Penting ditanyakan, benarkah ada “kelas sosial” dalam penanganan satu bencana? Lalu sebenarnya negara berpihak dan melindungi kelompok rakyat yang mana? Tunaempati dan ketidakpekaan penguasa atas nasib rakyatnya itu pernah diistilahkan oleh sosiolog WF Wheitheim sebagai satu bentuk sikap Politik Pengabaian (Politik of Iqnorance, Elite vs Massa, 2009).
Sebab semua produk kebijakan diukur menurut “nalar elite” dan tidak bersumber dan tidak dengan “nalar massa”. Beberapa waktu lalu publik menyaksikan praktik tunaempati dan politik pengabaian itu berulang dan membuat berbagai pihak menahan geram. Misalnya, saat akses alat tes Covid-19 datang, mestinya menjadi “hak dasar” dan prioritas bagi paramedis dan golongan mereka yang berpotensi terjangkit, tetapi malah diserobot tanpa malu oleh mereka yang masih ingin disebut: wakil rakyat. Sulit nalar waras menerima dan menyaksikan peristiwa ini. Yang perlu diingat adalah perilaku dan watak egoistis dan miskin sense of humanity para elite politik ini telah terekam di alam pikir dan batin rakyat Indonesia.
Negara Harus Hadir Tanpa Syarat
Di tengah beragam kecemasan dan kekhawatiran akibat wabah Covid-19 berserta serba-ketidakpastian perlindungan keselamatan jiwa, sebenarnya rakyat butuh negara hadir tanpa syarat, melampaui pertimbangan apa pun selain demi keselamatan nyawa dan hidup mereka. Prinsipnya nyawa dan keselamatan rakyat first. Segala kalkulasi-siasat politik dan rencana ekonomi yang tidak menyentuh hajat hidup keselamatan rakyat yang ada di depan mata harusnya diparkir dan abaikan dulu. Saatnya segala otoritas dan kewenangan negara dan wakil rakyat lebih serius melindungi dan selamatkan nyawa rakyatnya.
Wabah korona ini mestinya jadi cermin refleksi kritis untuk menguji ulang segenap mantra desain pembangunan nasional yang sebelumnya diyakini manjur dan jitu untuk menjamin kesejahteraan rakyat. Pertanyaannya, tujuan akhir atas nama pembangunan dari pinggiran yang dulu itu, jawab masalah rakyat yang mana? Benarkah, nasib rakyat kecil yang diutamakan? Jika benar, kenapa hanya untuk memenuhi permintaan darurat alat pelindung diri (APD) paramedis yang berjuang menyelamatkan nyawa rakyat, terus terlambat dan belum prioritas? Mengadakan teknologi untuk tes massal gratis Covid-19 saja, hingga sekarang belum terwujud.
Lalu, apa kabar dan kemanakah kelompok orang-orang terkaya dengan koorporasi besarnya di negeri ini, yang disebut memiliki kekayaan Rp1.884 Triliun itu (Forbes 50 Richest in Indonesia 2019)? Laporan Credit Suisse (2019) menyebut 1% orang kaya tersebut bisa menguasai 45% kekayaan nasional. Namun kontribusi pajak orang kaya ini hanya 0,8% dari total penerimaan pajak nasional. Jika dikalkulasi dari aset kekayaan bukan semata pendapatan, misal 30% dari total aset, maka negara bisa mendapat uang cash Rp 565 triliun/tahun. Jika dibagi rata ke 188 juta rakyat Indonesia, tiap orang akan mendapat Rp 3 juta/orang (universal basic income).
Hal ini cukup memenuhi kebutuhkan untuk penanganan dan pemulihan Covid-19 tanpa harus memperpanjang jerat gurita utang ke IMF dan Bank Dunia. Hitungan awal ini layak diajukan dan diperdalam lagi sebagai alternatif dan terobosan kebijakan strategis nasional.
Pembangkangan dan Solidaritas
Bencana Covid-19 akan jadi cermin besar bangsa ini. Menguji ulang seluruh komitmen politik dan ketaatan-kepatuhan negara pada mandat konstitusi. Termasuk janji-janji para elite/tokoh politik, pemimpin agama, budaya, sosial-kemasyarakatan, dst, yang menjadi representasi sosial dari suara aneka ragam lapisan sosial masyarakat. Jika semua masalah hak dan jaminan dasar keselamatan rakyat itu terus diabaikan dan tidak serius dipenuhi, bisa jadi pasca wabah Covid-19 akan muncul tonggak penting lahirnya sikap pembangkangan sosial-politik: emoh negara, baik yang bersifat terselubung/diam-diam maupun terang-terangan.
Sebagai konsekuensi logis kristalisasi dan endapan paling dasar dari terlukanya hati nurani dan nilai-moral dasar rakyat yang tak terpenuhi hak dasarnya berulang kali sehingga berdampak pada semakin tipis dan luruhnya arti kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya.
Secara teoretis, D Paul Johnson (1994) menyebut solidaritas sebagai suatu hubungan antara individu dan atau kelompok yang berdasar pada moral dan kepercayaan yang dianut bersama serta pengalaman emosional bersama. Solidaritas yang dipegang adalah kesatuan, persahabatan, rasa saling percaya yang muncul akibat tanggung jawab bersama dan kepentingan bersama di antara para anggotanya. Atau solidaritas organik, yakni bentuk solidaritas yang berkembang dalam kelompok masyarakat yang lebih kompleks secara sosial, budaya, ekonomi, dan politik (G Ritzer, 2012). Hakikat makna solidaritas sosial inilah yang menjadi roh dari falsafah Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan termandatkan dalam UUD 1945 yang disebut para founding fathers sebagai jiwa gotong-royong. Jiwa inilah yang menjadi intisari nilai ikatan berbangsa dan bernegara.
Mengapa penting, karena mengingatkan ulang nilai solidaritas sosial dan gotong-royong sebagai warisan luhur bangsa di tengah derita Covid-19? Menurut penulis, hal itu setidaknya memiliki tiga makna sekaligus: (1) menguji ulang logika pembenaran, bahwa di tengah bencana mewajarkan sifat dasar manusia yang lebih egoistis, mementingkan diri sendiri, dan cenderung berwatak homo homoni lupus; (2) mengingatkan ulang watak jatidiri, spirit dasar, falsafah bangsa, dan arah kiblat bernegara, sejak didirikannya; (3) “sinyal keras” pada elite politik negara, pemerintah dan wakil rakyat untuk sungguh-sungguh melindungi dan menjamin nyawa rakyat dulu (people first). Sebab, jika tidak, telah banyak bukti dalam penggalan sejarah leluhur bangsa ini yang menunjukkan kemampuan rakyat berdaulat dan mandiri menyelesaikan masalahnya sendiri (ada atau tidak ada intervensi “negara”).
Maka jangan sampai ada suatu masa negara dan para pengurus (pemerintahan)-nya masih meyakini dirinya “ada”, tetapi hakikatnya tidak dianggap “ada” oleh rakyat yang menjadi basis konstituen sendiri. Akibatnya telah luruh dan sirna roh dasar tujuan utama berbangsa-bernegara yang selaras dengan cita-cita dan imajinasi para pendirinya. Tepat, di titik inilah bukan saja penyelewengan mandat yang terjadi, tetapi juga bisa berarti satu bentuk pengkhianatan negara atas dasar dan tujuan konstitusinya sendiri: menjaga, melindungi harkat, martabat, dan menjamin keselamatan rakyat serta mewujdukan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berharap musibah Covid-19 dapat mengetuk nurani untuk refleksi, mengecek ulang relevansi sekaligus koreksi seluruh agenda kebijakan pembangunan nasional yang masih abai sense of humanity dan prinsip keadilan sosial-ekologis. Khususnya bagi para otoritas pemangku kebijakan dan elite penguasa politik-ekonomi nasional, segera fokus dan lebih bersungguh-sungguh agar tak sering terlambat lagi menangani dampak Covid-19 secara lebih menyeluruh. Sebab taruhannya nyawa harian rakyat di seluruh negeri. Jangan sampai ada satu titik kritis, rakyat emoh kepada negara dan elite politik sendiri akibat terlalu kenyang sikap tunaempati.
(jon)