Bela Negara dan Fenomena Clicktivism
Jum'at, 18 Desember 2020 - 05:00 WIB
Kuatnya pengetahuan dan pemahaman ini pula yang mendorong para pendiri bangsa dan pejuang kemerdekaan kita rela berkorban jiwa dan raga untuk Indonesia. Lewat pendidikan, mereka menjadi tahu dan tersadarkan bahwa rakyat Indonesia hidup menderita karena penjajahan. Rakyat dieksploitasi dan kekayaan alam dibawa penjajah ke luar negeri.
Para pendiri bangsa kita pada umumnya adalah kaum intelektual. Mereka merupakan produk dari politik etis Belanda yang ketika itu memberikan kesempatan kepada kaum bumiputera untuk memperoleh pendidikan. Mereka semua “gila” membaca. Ke mana pun mereka pergi, buku selalu menyertai. Bahkan, menjadi “istri” pertama mereka.
Ilmu pengetahuan yang mereka dapat tidak lantas menjadikan mereka sebagai kaki tangan Belanda. Justru sebaliknya. Lewat berbagai tulisan dan pidato menentang penjajah membuat mereka akhirnya ditangkap, dipenjara, ditawan, dan dibuang bahkan tidak sedikit pula yang meninggal dunia.
Menariknya, bahkan pengadilan pun dimanfaatkan menjadi panggung intelektual mereka untuk menohok Belanda lewat ketajaman pikir dan argumentasi. Seperti pledoi Bung Hatta, Indonesia Merdeka (1928), dan Bung Karno, Indonesia Menggugat (1930).
Namun, bukan berarti hubungan sesama mereka sunyi dari perdebatan dan pertentangan. Perbedaan strategi perjuangan seperti antara membentuk partai massa (Bung Karno) dan partai kader (Hatta, Syahrir) dan perbedaan spektrum pemikiran nasionalis sekuler (Bung Karno) dan nasionalis Islam (Natsir) telah menyulut polemik dan perang tulisan sesama mereka. Debat intelektual, proses dialektika nan mencerahkan dan memajukan namun miskin benci.
Betapa pun besar pertentangan ide dan gagasan tidak membuat hubungan mereka terputus, apalagi sampai mengorbankan semangat kebangsaan. Pancasila dan UUD 1945 adalah buktinya. Dasar negara dan konstitusi tersebut merupakan kesepakatan para pendiri bangsa yang berasal dari beragam latar belakang pemikiran. Pancasila dan UUD 1945 adalah produk dialektika intelektual yang berusaha sedalam mungkin mengubur benci dan dendam ideologis.
Perkuat Literasi
Semangat bela negara yang dikobarkan para pendiri bangsa dan pejuang kemerdekaan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia ini harus terus diteladani. Kita, anak muda, sebagai penerus bangsa menanggung beban untuk meneruskan perjuangan mereka. Karena ancaman, gangguan, hambatan, tantangan (AGHT) terhadap bangsa kita senantiasa mengintai, bahkan semakin canggih seiring dengan kemajuan teknologi.
Karena itu, tugas kita sekarang adalah memastikan tidak ada yang berani atau bisa mengusik kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia. Segala upaya harus kita lakukan sebagaimana telah dicontohkan para pendahulu kita.
Mengacu pada pengalaman para pendiri bangsa, memperkuat literasi untuk meninggikan kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pemahaman sosial budaya, saat ini mutlak dibutuhkan sebagai modalitas dasar. Intinya, kita harus mempunyai pengetahuan yang utuh tentang Indonesia, seperti disinggung di atas. Penguasaan informasi yang komprehensif ini akan mendorong adanya partisipasi masyarakat. Hal ini sangat penting untuk ditekankan, terutama di era media sosial saat ini, yang sering kali melahirkan individu-individu yang terbiasa monolog bahkan cenderung narsistik, hanya mau bercakap-cakap dengan mereka-mereka yang dianggap satu pandangan, tanpa bersedia untuk membuka diri terbiasa dengan dialog, di mana percakapan dibangun dengan pandangan yang heterogen.
Para pendiri bangsa kita pada umumnya adalah kaum intelektual. Mereka merupakan produk dari politik etis Belanda yang ketika itu memberikan kesempatan kepada kaum bumiputera untuk memperoleh pendidikan. Mereka semua “gila” membaca. Ke mana pun mereka pergi, buku selalu menyertai. Bahkan, menjadi “istri” pertama mereka.
Ilmu pengetahuan yang mereka dapat tidak lantas menjadikan mereka sebagai kaki tangan Belanda. Justru sebaliknya. Lewat berbagai tulisan dan pidato menentang penjajah membuat mereka akhirnya ditangkap, dipenjara, ditawan, dan dibuang bahkan tidak sedikit pula yang meninggal dunia.
Menariknya, bahkan pengadilan pun dimanfaatkan menjadi panggung intelektual mereka untuk menohok Belanda lewat ketajaman pikir dan argumentasi. Seperti pledoi Bung Hatta, Indonesia Merdeka (1928), dan Bung Karno, Indonesia Menggugat (1930).
Namun, bukan berarti hubungan sesama mereka sunyi dari perdebatan dan pertentangan. Perbedaan strategi perjuangan seperti antara membentuk partai massa (Bung Karno) dan partai kader (Hatta, Syahrir) dan perbedaan spektrum pemikiran nasionalis sekuler (Bung Karno) dan nasionalis Islam (Natsir) telah menyulut polemik dan perang tulisan sesama mereka. Debat intelektual, proses dialektika nan mencerahkan dan memajukan namun miskin benci.
Betapa pun besar pertentangan ide dan gagasan tidak membuat hubungan mereka terputus, apalagi sampai mengorbankan semangat kebangsaan. Pancasila dan UUD 1945 adalah buktinya. Dasar negara dan konstitusi tersebut merupakan kesepakatan para pendiri bangsa yang berasal dari beragam latar belakang pemikiran. Pancasila dan UUD 1945 adalah produk dialektika intelektual yang berusaha sedalam mungkin mengubur benci dan dendam ideologis.
Perkuat Literasi
Semangat bela negara yang dikobarkan para pendiri bangsa dan pejuang kemerdekaan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia ini harus terus diteladani. Kita, anak muda, sebagai penerus bangsa menanggung beban untuk meneruskan perjuangan mereka. Karena ancaman, gangguan, hambatan, tantangan (AGHT) terhadap bangsa kita senantiasa mengintai, bahkan semakin canggih seiring dengan kemajuan teknologi.
Karena itu, tugas kita sekarang adalah memastikan tidak ada yang berani atau bisa mengusik kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia. Segala upaya harus kita lakukan sebagaimana telah dicontohkan para pendahulu kita.
Mengacu pada pengalaman para pendiri bangsa, memperkuat literasi untuk meninggikan kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pemahaman sosial budaya, saat ini mutlak dibutuhkan sebagai modalitas dasar. Intinya, kita harus mempunyai pengetahuan yang utuh tentang Indonesia, seperti disinggung di atas. Penguasaan informasi yang komprehensif ini akan mendorong adanya partisipasi masyarakat. Hal ini sangat penting untuk ditekankan, terutama di era media sosial saat ini, yang sering kali melahirkan individu-individu yang terbiasa monolog bahkan cenderung narsistik, hanya mau bercakap-cakap dengan mereka-mereka yang dianggap satu pandangan, tanpa bersedia untuk membuka diri terbiasa dengan dialog, di mana percakapan dibangun dengan pandangan yang heterogen.
Lihat Juga :
tulis komentar anda