Bela Negara dan Fenomena Clicktivism

Jum'at, 18 Desember 2020 - 05:00 WIB
loading...
Bela Negara dan Fenomena...
Dahnil Anzar Simanjuntak (Foto: Dok. KORAN SINDO)
A A A
Dahnil Anzar Simanjuntak
Dosen Pascasarjana Institute Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta

SETIAP 19 Desember kita memperingati Hari Bela Negara (HBN). Tanggal tersebut merujuk pada waktu pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 1948 di Bukittinggi, Sumatera Barat, oleh Syafruddin Prawiranegara. Pembentukan PDRI ini menyusul jatuhnya Ibu Kota RI Yogyakarta dan ditawan serta dibuangnya sejumlah pimpinan nasional seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, Haji Agus Salim, setelah Belanda melancarkan agresi militer Belanda II.

Bersamaan dengan itu pula Panglima Besar Jenderal Soedirman mengeluarkan Perintah Kilat Nomor 1 yang menjadi awal dimulainya perang gerilya melawan Belanda.

Semua anak bangsa bahu-membahu berjuang sekuat tenaga sesuai dengan porsinya masing-masing, baik lewat jalur diplomasi maupun kontak senjata (pertempuran) untuk mempertahankan kemerdekaan. Sampai akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949 dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).

Semangat bela negara dengan kapasitasnya masing-masing ini harus terus dipupuk dan diperkuat.

Patriotisme
Merujuk Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, upaya bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara.

Dengan demikian, sikap dan perilaku bela negara tersebut mensyaratkan adanya kecintaan terhadap Tanah Air. Sementara untuk menumbuhkan rasa cinta tersebut diperlukan pemahaman dan pengetahuan yang holistik tentang Indonesia, baik dari sisi sejarah, demografi, sosial budaya, kekayaan alam, maupun sumber daya manusia, termasuk letak geografisnya.

Kuatnya pengetahuan dan pemahaman ini pula yang mendorong para pendiri bangsa dan pejuang kemerdekaan kita rela berkorban jiwa dan raga untuk Indonesia. Lewat pendidikan, mereka menjadi tahu dan tersadarkan bahwa rakyat Indonesia hidup menderita karena penjajahan. Rakyat dieksploitasi dan kekayaan alam dibawa penjajah ke luar negeri.

Para pendiri bangsa kita pada umumnya adalah kaum intelektual. Mereka merupakan produk dari politik etis Belanda yang ketika itu memberikan kesempatan kepada kaum bumiputera untuk memperoleh pendidikan. Mereka semua “gila” membaca. Ke mana pun mereka pergi, buku selalu menyertai. Bahkan, menjadi “istri” pertama mereka.

Ilmu pengetahuan yang mereka dapat tidak lantas menjadikan mereka sebagai kaki tangan Belanda. Justru sebaliknya. Lewat berbagai tulisan dan pidato menentang penjajah membuat mereka akhirnya ditangkap, dipenjara, ditawan, dan dibuang bahkan tidak sedikit pula yang meninggal dunia.

Menariknya, bahkan pengadilan pun dimanfaatkan menjadi panggung intelektual mereka untuk menohok Belanda lewat ketajaman pikir dan argumentasi. Seperti pledoi Bung Hatta, Indonesia Merdeka (1928), dan Bung Karno, Indonesia Menggugat (1930).

Namun, bukan berarti hubungan sesama mereka sunyi dari perdebatan dan pertentangan. Perbedaan strategi perjuangan seperti antara membentuk partai massa (Bung Karno) dan partai kader (Hatta, Syahrir) dan perbedaan spektrum pemikiran nasionalis sekuler (Bung Karno) dan nasionalis Islam (Natsir) telah menyulut polemik dan perang tulisan sesama mereka. Debat intelektual, proses dialektika nan mencerahkan dan memajukan namun miskin benci.

Betapa pun besar pertentangan ide dan gagasan tidak membuat hubungan mereka terputus, apalagi sampai mengorbankan semangat kebangsaan. Pancasila dan UUD 1945 adalah buktinya. Dasar negara dan konstitusi tersebut merupakan kesepakatan para pendiri bangsa yang berasal dari beragam latar belakang pemikiran. Pancasila dan UUD 1945 adalah produk dialektika intelektual yang berusaha sedalam mungkin mengubur benci dan dendam ideologis.

Perkuat Literasi
Semangat bela negara yang dikobarkan para pendiri bangsa dan pejuang kemerdekaan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia ini harus terus diteladani. Kita, anak muda, sebagai penerus bangsa menanggung beban untuk meneruskan perjuangan mereka. Karena ancaman, gangguan, hambatan, tantangan (AGHT) terhadap bangsa kita senantiasa mengintai, bahkan semakin canggih seiring dengan kemajuan teknologi.

Karena itu, tugas kita sekarang adalah memastikan tidak ada yang berani atau bisa mengusik kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia. Segala upaya harus kita lakukan sebagaimana telah dicontohkan para pendahulu kita.

Mengacu pada pengalaman para pendiri bangsa, memperkuat literasi untuk meninggikan kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pemahaman sosial budaya, saat ini mutlak dibutuhkan sebagai modalitas dasar. Intinya, kita harus mempunyai pengetahuan yang utuh tentang Indonesia, seperti disinggung di atas. Penguasaan informasi yang komprehensif ini akan mendorong adanya partisipasi masyarakat. Hal ini sangat penting untuk ditekankan, terutama di era media sosial saat ini, yang sering kali melahirkan individu-individu yang terbiasa monolog bahkan cenderung narsistik, hanya mau bercakap-cakap dengan mereka-mereka yang dianggap satu pandangan, tanpa bersedia untuk membuka diri terbiasa dengan dialog, di mana percakapan dibangun dengan pandangan yang heterogen.

Era Clicktivism
Meminjam kajian Merlyna Lim, seorang peneliti dari Arizona State University, Many Clicks but Little Sticks: Social Media Activism in Indonesia (2013), sebuah isu bisa menjadi viral (online) yang kemudian menjadi gerakan (offline) setidaknya light package (dapat dipahami tanpa refleksi mendalam), headline appetite (hanya membutuhkan perhatian kecil dan percakapan satu arah alias monolog), dan trailer vision (cerita sensasional, sederhana atau disederhanakan).

Selain itu pula, isu tersebut berisiko rendah dan sejalan dengan metanarasi ideologis, seperti nasionalisme dan religiusitas.
Inilah kunci kesuksesan isu Coin for Prita (Prita Mulyasari Vs RS Omni International) dan Cicak vs Buaya (Bibit-Chandra kontra Susno Duadji). Padahal, ada banyak kasus lainnya ketika itu, seperti kasus Ahmadiyah dan Lumpur Lapindo tapi tidak viral dan menjadi sebuah gerakan.

Itu pun dalam kasus Cicak vs Buaya, hanya lima ribu orang yang turun aksi ke jalan. Padahal, lebih dari sejuta Facebooker yang mendukung Bibit-Samad.

Rendahnya literasi digital ini acap kali membuat keriuhan di medsos tidak mendorong pada peningkatan partisipasi politik. Istilah-istilah slacktivism, clicktivism, armchair activism dan keyboard activism merujuk pada kondisi tersebut. Merasa menjadi hero hanya sekadar mengunggah, membagikan, menyukai, mengomentari, dan menandatangani petisi online tanpa disertai aksi nyata. Fenomena berisik tanpa gerak, bahkan tanpa disertai dengan dialektika intelektual dan hanya diisi ejekan dan makian ala sosmed telah menjadi fenomena baru abad ini. Oleh sebab itu, pekerjaan rumah anak muda saat ini adalah bagaimana meninggikan literasi untuk kembali menghidupkan tradisi dialektika intelektual.

Ketika media sosial digunakan oleh anak-anak muda yang literasinya tinggi, tradisi dialektikanya hidup, maka fenomena berisik tanpa gerak akan berubah menjadi berisik dan bergerak. Konten-konten media sosial kita akan diisi dengan keriuhan dialog yang mencerahkan dan memajukan, berdebat keras namun tak pernah menyelipkan benci, ejekan, atau makian. Tradisi menghormati ilmu pengetahuan akan hidup, dan ini modalitas utama kita berperan maksimal untuk bela negara.

Karena itu, peringatan HBN harus menjadi momentum untuk memperkuat literasi. Agar kecintaan terhadap negeri meningkat sehingga rakyat senantiasa membela bangsa dan negara lewat karya nyata.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1581 seconds (0.1#10.140)