Bela Negara dan Fenomena Clicktivism
Jum'at, 18 Desember 2020 - 05:00 WIB
Era Clicktivism
Meminjam kajian Merlyna Lim, seorang peneliti dari Arizona State University, Many Clicks but Little Sticks: Social Media Activism in Indonesia (2013), sebuah isu bisa menjadi viral (online) yang kemudian menjadi gerakan (offline) setidaknya light package (dapat dipahami tanpa refleksi mendalam), headline appetite (hanya membutuhkan perhatian kecil dan percakapan satu arah alias monolog), dan trailer vision (cerita sensasional, sederhana atau disederhanakan).
Selain itu pula, isu tersebut berisiko rendah dan sejalan dengan metanarasi ideologis, seperti nasionalisme dan religiusitas.
Inilah kunci kesuksesan isu Coin for Prita (Prita Mulyasari Vs RS Omni International) dan Cicak vs Buaya (Bibit-Chandra kontra Susno Duadji). Padahal, ada banyak kasus lainnya ketika itu, seperti kasus Ahmadiyah dan Lumpur Lapindo tapi tidak viral dan menjadi sebuah gerakan.
Itu pun dalam kasus Cicak vs Buaya, hanya lima ribu orang yang turun aksi ke jalan. Padahal, lebih dari sejuta Facebooker yang mendukung Bibit-Samad.
Rendahnya literasi digital ini acap kali membuat keriuhan di medsos tidak mendorong pada peningkatan partisipasi politik. Istilah-istilah slacktivism, clicktivism, armchair activism dan keyboard activism merujuk pada kondisi tersebut. Merasa menjadi hero hanya sekadar mengunggah, membagikan, menyukai, mengomentari, dan menandatangani petisi online tanpa disertai aksi nyata. Fenomena berisik tanpa gerak, bahkan tanpa disertai dengan dialektika intelektual dan hanya diisi ejekan dan makian ala sosmed telah menjadi fenomena baru abad ini. Oleh sebab itu, pekerjaan rumah anak muda saat ini adalah bagaimana meninggikan literasi untuk kembali menghidupkan tradisi dialektika intelektual.
Ketika media sosial digunakan oleh anak-anak muda yang literasinya tinggi, tradisi dialektikanya hidup, maka fenomena berisik tanpa gerak akan berubah menjadi berisik dan bergerak. Konten-konten media sosial kita akan diisi dengan keriuhan dialog yang mencerahkan dan memajukan, berdebat keras namun tak pernah menyelipkan benci, ejekan, atau makian. Tradisi menghormati ilmu pengetahuan akan hidup, dan ini modalitas utama kita berperan maksimal untuk bela negara.
Karena itu, peringatan HBN harus menjadi momentum untuk memperkuat literasi. Agar kecintaan terhadap negeri meningkat sehingga rakyat senantiasa membela bangsa dan negara lewat karya nyata.
Meminjam kajian Merlyna Lim, seorang peneliti dari Arizona State University, Many Clicks but Little Sticks: Social Media Activism in Indonesia (2013), sebuah isu bisa menjadi viral (online) yang kemudian menjadi gerakan (offline) setidaknya light package (dapat dipahami tanpa refleksi mendalam), headline appetite (hanya membutuhkan perhatian kecil dan percakapan satu arah alias monolog), dan trailer vision (cerita sensasional, sederhana atau disederhanakan).
Selain itu pula, isu tersebut berisiko rendah dan sejalan dengan metanarasi ideologis, seperti nasionalisme dan religiusitas.
Inilah kunci kesuksesan isu Coin for Prita (Prita Mulyasari Vs RS Omni International) dan Cicak vs Buaya (Bibit-Chandra kontra Susno Duadji). Padahal, ada banyak kasus lainnya ketika itu, seperti kasus Ahmadiyah dan Lumpur Lapindo tapi tidak viral dan menjadi sebuah gerakan.
Itu pun dalam kasus Cicak vs Buaya, hanya lima ribu orang yang turun aksi ke jalan. Padahal, lebih dari sejuta Facebooker yang mendukung Bibit-Samad.
Rendahnya literasi digital ini acap kali membuat keriuhan di medsos tidak mendorong pada peningkatan partisipasi politik. Istilah-istilah slacktivism, clicktivism, armchair activism dan keyboard activism merujuk pada kondisi tersebut. Merasa menjadi hero hanya sekadar mengunggah, membagikan, menyukai, mengomentari, dan menandatangani petisi online tanpa disertai aksi nyata. Fenomena berisik tanpa gerak, bahkan tanpa disertai dengan dialektika intelektual dan hanya diisi ejekan dan makian ala sosmed telah menjadi fenomena baru abad ini. Oleh sebab itu, pekerjaan rumah anak muda saat ini adalah bagaimana meninggikan literasi untuk kembali menghidupkan tradisi dialektika intelektual.
Ketika media sosial digunakan oleh anak-anak muda yang literasinya tinggi, tradisi dialektikanya hidup, maka fenomena berisik tanpa gerak akan berubah menjadi berisik dan bergerak. Konten-konten media sosial kita akan diisi dengan keriuhan dialog yang mencerahkan dan memajukan, berdebat keras namun tak pernah menyelipkan benci, ejekan, atau makian. Tradisi menghormati ilmu pengetahuan akan hidup, dan ini modalitas utama kita berperan maksimal untuk bela negara.
Karena itu, peringatan HBN harus menjadi momentum untuk memperkuat literasi. Agar kecintaan terhadap negeri meningkat sehingga rakyat senantiasa membela bangsa dan negara lewat karya nyata.
(bmm)
tulis komentar anda