Salah Tafsir soal Kekebalan Hukum dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020
Selasa, 12 Mei 2020 - 08:20 WIB
Dalam ilmu hukum sendiri, penerapan pasal seperti itu bukanlah konsep yang baru, bahkan juga dikenal dalam doktrin "business judgement rule ". Pasal tersebut telah jelas memberikan kewajiban kepada pemerintah dan/atau anggota dan sekretaris KSSK dan pejabat lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tersebut untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan tetap berpedoman pada koridor, prinsip, dan aturan berdasarkan iktikad baik (good will) dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Frasa atau unsur "iktikad baik" dan "berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan" inilah yang kemudian menjadi krusial dan membatasi pemerintah dan pihak lainnya dalam rangka melaksanakan kewenangan yang diberikan oleh perppu tersebut. Keberadaan frasa atau unsur ini telah dengan sendirinya mereduksi imunitas yang juga diberikan olehnya pada pasal yang sama. Dengan kata lain, frasa atau unsur tadi ialah kondisionalitas yang harus terpenuhi, dan kondisionalitas itulah yang pada kenyataannya menjadi absolut, bukan imunitasnya.
Kepentingan Nasional
Selanjutnya, penggunaan wewenang tadi haruslah secara sah memenuhi yuridis formal dan yuridis materiil, artinya pelaksanaan wewenang yang tidak berdasarkan iktikad baik dan tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku haruslah dimaknai bahwa hal itu tetaplah harus dan dapat dibuktikan melalui proses hukum yang fair, baik dalam ranah keperdataan maupun dalam lingkup hukum pidana. Dan, domain untuk menentukan apakah terpenuhi atau tidaknya kondisionalitas tersebut tetaplah menjadi kewenangan hakim. Dengan kata lain, tuntutan pidana dan perdata tersebut akan tetap berlaku dengan sendirinya.
Sementara terkait pasal 27 ayat (3) yang menyatakan bahwa setiap keputusan yang dikeluarkan dalam rangka melaksanakan perppu tersebut, bukanlah merupakan objek gugatan TUN. Maka itu, pasal tersebut tidak seharusnya dimaknai bahwa hak untuk mengajukan gugatan TUN tersebut juga menjadi gugur. Celah hukum untuk dapat menguji setiap keputusan yang dibuat sehubungan dengan pelaksanaan perppu tersebut masih dimungkinkan sepanjang keputusan tersebut ialah satu keputusan tata usaha negara yang bersifat konkret, individual, dan final yang merupakan kewenangan dari Pengadilan Tata Usaha Negara.
Meskipun demikian, dalam pelaksanaan perppu tersebut nantinya, teknis terkait distribusi dan implementasinya haruslah ditetapkan secara profesional, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dan, komitmen terhadap hal tersebut haruslah juga dibarengi dengan terus melakukan koordinasi secara terpadu dengan berbagai pihak seperti KPK, Polri, dan BPK.
Hal Ini menjadi satu langkah yang penting yang harus dilakukan untuk dapat menghindari terjadinya konflik kepentingan dan moral hazard yang pasti akan membayakan negara.
Sekali lagi, kewenangan untuk mengeluarkan perppu merupakan hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 kepada presiden melalui pasal 22 ayat (1), dan kondisi hari ini telah mendorong presiden untuk menggunakan hak tersebut. Perppu ini merupakan landasan yuridis yang penting sebagai bentuk penyesuaian terhadap keadaan faktual hari ini yang begitu kompleks. Langkah tersebut merupakan satu langkah extraordinary agar dapat memastikan penyelamatan kesehatan nasional dan perekonomian nasional berjalan secara bersamaan.
Terdapat sebuah ungkapan dalam bahasa Belanda, Het Recht Hinkt Achter De Feiten Aan , yang berarti hukum itu selalu tertinggal dari peristiwanya. Kehadiran perppu ini diharapkan mampu untuk menjadi jawaban atas kondisi dan situasi hari ini secara komprehensif. Tidak lain hanya untuk kepentingan nasional, yaitu masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.
Frasa atau unsur "iktikad baik" dan "berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan" inilah yang kemudian menjadi krusial dan membatasi pemerintah dan pihak lainnya dalam rangka melaksanakan kewenangan yang diberikan oleh perppu tersebut. Keberadaan frasa atau unsur ini telah dengan sendirinya mereduksi imunitas yang juga diberikan olehnya pada pasal yang sama. Dengan kata lain, frasa atau unsur tadi ialah kondisionalitas yang harus terpenuhi, dan kondisionalitas itulah yang pada kenyataannya menjadi absolut, bukan imunitasnya.
Kepentingan Nasional
Selanjutnya, penggunaan wewenang tadi haruslah secara sah memenuhi yuridis formal dan yuridis materiil, artinya pelaksanaan wewenang yang tidak berdasarkan iktikad baik dan tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku haruslah dimaknai bahwa hal itu tetaplah harus dan dapat dibuktikan melalui proses hukum yang fair, baik dalam ranah keperdataan maupun dalam lingkup hukum pidana. Dan, domain untuk menentukan apakah terpenuhi atau tidaknya kondisionalitas tersebut tetaplah menjadi kewenangan hakim. Dengan kata lain, tuntutan pidana dan perdata tersebut akan tetap berlaku dengan sendirinya.
Sementara terkait pasal 27 ayat (3) yang menyatakan bahwa setiap keputusan yang dikeluarkan dalam rangka melaksanakan perppu tersebut, bukanlah merupakan objek gugatan TUN. Maka itu, pasal tersebut tidak seharusnya dimaknai bahwa hak untuk mengajukan gugatan TUN tersebut juga menjadi gugur. Celah hukum untuk dapat menguji setiap keputusan yang dibuat sehubungan dengan pelaksanaan perppu tersebut masih dimungkinkan sepanjang keputusan tersebut ialah satu keputusan tata usaha negara yang bersifat konkret, individual, dan final yang merupakan kewenangan dari Pengadilan Tata Usaha Negara.
Meskipun demikian, dalam pelaksanaan perppu tersebut nantinya, teknis terkait distribusi dan implementasinya haruslah ditetapkan secara profesional, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dan, komitmen terhadap hal tersebut haruslah juga dibarengi dengan terus melakukan koordinasi secara terpadu dengan berbagai pihak seperti KPK, Polri, dan BPK.
Hal Ini menjadi satu langkah yang penting yang harus dilakukan untuk dapat menghindari terjadinya konflik kepentingan dan moral hazard yang pasti akan membayakan negara.
Sekali lagi, kewenangan untuk mengeluarkan perppu merupakan hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 kepada presiden melalui pasal 22 ayat (1), dan kondisi hari ini telah mendorong presiden untuk menggunakan hak tersebut. Perppu ini merupakan landasan yuridis yang penting sebagai bentuk penyesuaian terhadap keadaan faktual hari ini yang begitu kompleks. Langkah tersebut merupakan satu langkah extraordinary agar dapat memastikan penyelamatan kesehatan nasional dan perekonomian nasional berjalan secara bersamaan.
Terdapat sebuah ungkapan dalam bahasa Belanda, Het Recht Hinkt Achter De Feiten Aan , yang berarti hukum itu selalu tertinggal dari peristiwanya. Kehadiran perppu ini diharapkan mampu untuk menjadi jawaban atas kondisi dan situasi hari ini secara komprehensif. Tidak lain hanya untuk kepentingan nasional, yaitu masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.
Lihat Juga :
tulis komentar anda