Salah Tafsir soal Kekebalan Hukum dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020
Selasa, 12 Mei 2020 - 08:20 WIB
Masyarakat perlu untuk menyadari bahwa perppu adalah produk hukum yang dilahirkan dalam kondisi yang mendesak dan memaksa. Artinya, kondisi domestik hari ini telah dianggap oleh pemerintah sebagai satu kondisi yang tidak biasa dan telah menciptakan satu urgensi bagi pemerintah untuk mengambil satu keputusan yang juga tidak biasa.
Dalam konteks kedaruratan hari ini, perppu merupakan jawaban yang paling masuk di akal yang bisa diambil pemerintah.
Kondisi hari ini menuntut pemerintah untuk mengambil satu kebijakan secara cepat. Akan tetapi, sebagai negara hukum, setiap kebijakan negara tersebut haruslah selalu berdasarkan pada landasan hukum yang jelas, sehingga kecepatan dalam mengambil satu kebijakan yang berlandaskan hukum hanya dapat dilakukan melalui pembentukan perppu tadi. Dalam konteks ini, keluarnya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tersebut merupakan satu langkah yang bisa dianggap tidak keliru.
Apalagi, prosedur pembentukan hukum melalui mekanisme yang normal tidaklah mungkin dapat dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pasalnya, kondisi hari ini bukanlah satu kondisi yang ideal untuk dapat membentuk satu aturan hukum secara konvensional.
Gugurnya Imunitas
Kritik terhadap Perppu Nomor 1 Tahun 2020 ini juga disebabkan oleh materi muatan yang terdapat di dalam perppu tersebut. Publik menilai bahwa terdapat sejumlah pasal di dalam perppu tersebut yang justru dapat menciptakan ruang kedaruratan yang baru.
Salah satunya ialah pasal 27 yang mendapatkan kritikan paling tajam. Pasal ini dianggap dapat memberikan imunitas kepada pemerintah dan/atau Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) dan pihak lain yang diatur di dalam perppu ini secara berlebihan, karena pihak-pihak tersebut tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata, dan setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pihak tersebut juga bukanlah merupakan objek gugatan dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN).
Sebagaimana diketahui, beleid tersebut menjadi landasan bagi pemerintah untuk dapat mengeluarkan dana stimulus yang besaran jumlahnya mencapai Rp405,1 triliun. Penggunaan anggaran negara tersebut ditujukan pada empat sektor strategis yang terdampak akibat pandemi Covid-19 ini; Rp75 triliun dialokasikan untuk bidang kesehatan, Rp110 triliun untuk jaring pengamanan sosial (social safety net ), Rp150 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional, dan Rp70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat (KUR).
Besarnya jumlah anggaran negara yang akan digunakan tersebut dan diikuti dengan ketentuan yang terdapat didalam pasal 27 tadi telah menciptakan satu kekhawatiran di tengah masyarakat bahwa akan ada potensi penyimpangan yang rawan untuk dikorupsi. Padahal, kalau kita lihat, pasal tersebut baik secara tekstual maupun secara kontekstual memberikan pengecualian atas keberlakuaan "kekebalan" hukum tersebut. Pasal tersebut tidak seharusnya dimaknai secara normatif yang sempit. Artinya, imunitas yang diberikan oleh pasal tersebut tidaklah bersifat absolut dan bahkan pasal tersebut telah dengan sendirinya memberikan batasan, limitasi, atau parameter tentang bagaimana dan kapan imunitas tersebut akan menjadi gugur.
Dalam konteks kedaruratan hari ini, perppu merupakan jawaban yang paling masuk di akal yang bisa diambil pemerintah.
Kondisi hari ini menuntut pemerintah untuk mengambil satu kebijakan secara cepat. Akan tetapi, sebagai negara hukum, setiap kebijakan negara tersebut haruslah selalu berdasarkan pada landasan hukum yang jelas, sehingga kecepatan dalam mengambil satu kebijakan yang berlandaskan hukum hanya dapat dilakukan melalui pembentukan perppu tadi. Dalam konteks ini, keluarnya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tersebut merupakan satu langkah yang bisa dianggap tidak keliru.
Apalagi, prosedur pembentukan hukum melalui mekanisme yang normal tidaklah mungkin dapat dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pasalnya, kondisi hari ini bukanlah satu kondisi yang ideal untuk dapat membentuk satu aturan hukum secara konvensional.
Gugurnya Imunitas
Kritik terhadap Perppu Nomor 1 Tahun 2020 ini juga disebabkan oleh materi muatan yang terdapat di dalam perppu tersebut. Publik menilai bahwa terdapat sejumlah pasal di dalam perppu tersebut yang justru dapat menciptakan ruang kedaruratan yang baru.
Salah satunya ialah pasal 27 yang mendapatkan kritikan paling tajam. Pasal ini dianggap dapat memberikan imunitas kepada pemerintah dan/atau Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) dan pihak lain yang diatur di dalam perppu ini secara berlebihan, karena pihak-pihak tersebut tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata, dan setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pihak tersebut juga bukanlah merupakan objek gugatan dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN).
Sebagaimana diketahui, beleid tersebut menjadi landasan bagi pemerintah untuk dapat mengeluarkan dana stimulus yang besaran jumlahnya mencapai Rp405,1 triliun. Penggunaan anggaran negara tersebut ditujukan pada empat sektor strategis yang terdampak akibat pandemi Covid-19 ini; Rp75 triliun dialokasikan untuk bidang kesehatan, Rp110 triliun untuk jaring pengamanan sosial (social safety net ), Rp150 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional, dan Rp70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat (KUR).
Besarnya jumlah anggaran negara yang akan digunakan tersebut dan diikuti dengan ketentuan yang terdapat didalam pasal 27 tadi telah menciptakan satu kekhawatiran di tengah masyarakat bahwa akan ada potensi penyimpangan yang rawan untuk dikorupsi. Padahal, kalau kita lihat, pasal tersebut baik secara tekstual maupun secara kontekstual memberikan pengecualian atas keberlakuaan "kekebalan" hukum tersebut. Pasal tersebut tidak seharusnya dimaknai secara normatif yang sempit. Artinya, imunitas yang diberikan oleh pasal tersebut tidaklah bersifat absolut dan bahkan pasal tersebut telah dengan sendirinya memberikan batasan, limitasi, atau parameter tentang bagaimana dan kapan imunitas tersebut akan menjadi gugur.
Lihat Juga :
tulis komentar anda