Salah Tafsir soal Kekebalan Hukum dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020
loading...
A
A
A
Ogiandhafiz Juanda, SH., LL.M., C.L.A.
Advokat, Dosen Fakultas Hukum Universitas Nasional
Direktur Treas Constituendum Institute
PEMERINTAH mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus (Covid-19). Hal ini dilakukan dalam rangka menghadapi ancaman yang dapat membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan di tengah pandemi Covid-19 ini.
Akan tetapi, sebagian masyarakat menilai buruk kehadiran perppu tersebut karena mereka menganggap bahwa pemerintah telah salah langkah dalam mengambil satu keputusan dengan mengeluarkan produk hukum yang secara intensi dan substansi atau muatan justru dapat membahayakan negara.
Tidak Keliru
Perlu diingat bahwa pandemi Covid-19 ini telah menimbulkan dampak dan konsekuensi yang luar biasa pada semua dimensi, tidak hanya pada sektor kesehatan, tetapi juga berimplikasi pada kondisi sosial dan ekonomi. Pendekatan tersebutlah yang kemudian menjadi dasar pemerintah untuk akhirnya mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tersebut.
Pandemi ini tidak hanya memberikan kedaruratan pada sektor kesehatan secara luas, tetapi juga telah menyebabkan goyahnya struktur ekonomi nasional dalam skala yang sama luasnya. Dalam situasi hari ini, ekonomi nasional dan kesehatan nasional adalah dua aspek yang saling beririsan dan tidak bisa dipisahkan antara satu dan yang lainnya. Kondisi ekonomi negara akan sangat berpengaruh terhadap segala upaya yang akan dilakukan oleh negara dalam rangka memberikan perlindungan dan bantuan kepada masyarakat di tengah pandemi Covid-19 ini. Sampai di sini, lahirnya perppu tersebut seharusnya menjadi logis dan relevan.
Masyarakat perlu untuk menyadari bahwa perppu adalah produk hukum yang dilahirkan dalam kondisi yang mendesak dan memaksa. Artinya, kondisi domestik hari ini telah dianggap oleh pemerintah sebagai satu kondisi yang tidak biasa dan telah menciptakan satu urgensi bagi pemerintah untuk mengambil satu keputusan yang juga tidak biasa.
Dalam konteks kedaruratan hari ini, perppu merupakan jawaban yang paling masuk di akal yang bisa diambil pemerintah.
Kondisi hari ini menuntut pemerintah untuk mengambil satu kebijakan secara cepat. Akan tetapi, sebagai negara hukum, setiap kebijakan negara tersebut haruslah selalu berdasarkan pada landasan hukum yang jelas, sehingga kecepatan dalam mengambil satu kebijakan yang berlandaskan hukum hanya dapat dilakukan melalui pembentukan perppu tadi. Dalam konteks ini, keluarnya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tersebut merupakan satu langkah yang bisa dianggap tidak keliru.
Apalagi, prosedur pembentukan hukum melalui mekanisme yang normal tidaklah mungkin dapat dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pasalnya, kondisi hari ini bukanlah satu kondisi yang ideal untuk dapat membentuk satu aturan hukum secara konvensional.
Gugurnya Imunitas
Kritik terhadap Perppu Nomor 1 Tahun 2020 ini juga disebabkan oleh materi muatan yang terdapat di dalam perppu tersebut. Publik menilai bahwa terdapat sejumlah pasal di dalam perppu tersebut yang justru dapat menciptakan ruang kedaruratan yang baru.
Salah satunya ialah pasal 27 yang mendapatkan kritikan paling tajam. Pasal ini dianggap dapat memberikan imunitas kepada pemerintah dan/atau Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) dan pihak lain yang diatur di dalam perppu ini secara berlebihan, karena pihak-pihak tersebut tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata, dan setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pihak tersebut juga bukanlah merupakan objek gugatan dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN).
Sebagaimana diketahui, beleid tersebut menjadi landasan bagi pemerintah untuk dapat mengeluarkan dana stimulus yang besaran jumlahnya mencapai Rp405,1 triliun. Penggunaan anggaran negara tersebut ditujukan pada empat sektor strategis yang terdampak akibat pandemi Covid-19 ini; Rp75 triliun dialokasikan untuk bidang kesehatan, Rp110 triliun untuk jaring pengamanan sosial (social safety net ), Rp150 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional, dan Rp70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat (KUR).
Besarnya jumlah anggaran negara yang akan digunakan tersebut dan diikuti dengan ketentuan yang terdapat didalam pasal 27 tadi telah menciptakan satu kekhawatiran di tengah masyarakat bahwa akan ada potensi penyimpangan yang rawan untuk dikorupsi. Padahal, kalau kita lihat, pasal tersebut baik secara tekstual maupun secara kontekstual memberikan pengecualian atas keberlakuaan "kekebalan" hukum tersebut. Pasal tersebut tidak seharusnya dimaknai secara normatif yang sempit. Artinya, imunitas yang diberikan oleh pasal tersebut tidaklah bersifat absolut dan bahkan pasal tersebut telah dengan sendirinya memberikan batasan, limitasi, atau parameter tentang bagaimana dan kapan imunitas tersebut akan menjadi gugur.
Dalam ilmu hukum sendiri, penerapan pasal seperti itu bukanlah konsep yang baru, bahkan juga dikenal dalam doktrin "business judgement rule ". Pasal tersebut telah jelas memberikan kewajiban kepada pemerintah dan/atau anggota dan sekretaris KSSK dan pejabat lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tersebut untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan tetap berpedoman pada koridor, prinsip, dan aturan berdasarkan iktikad baik (good will) dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Frasa atau unsur "iktikad baik" dan "berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan" inilah yang kemudian menjadi krusial dan membatasi pemerintah dan pihak lainnya dalam rangka melaksanakan kewenangan yang diberikan oleh perppu tersebut. Keberadaan frasa atau unsur ini telah dengan sendirinya mereduksi imunitas yang juga diberikan olehnya pada pasal yang sama. Dengan kata lain, frasa atau unsur tadi ialah kondisionalitas yang harus terpenuhi, dan kondisionalitas itulah yang pada kenyataannya menjadi absolut, bukan imunitasnya.
Kepentingan Nasional
Selanjutnya, penggunaan wewenang tadi haruslah secara sah memenuhi yuridis formal dan yuridis materiil, artinya pelaksanaan wewenang yang tidak berdasarkan iktikad baik dan tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku haruslah dimaknai bahwa hal itu tetaplah harus dan dapat dibuktikan melalui proses hukum yang fair, baik dalam ranah keperdataan maupun dalam lingkup hukum pidana. Dan, domain untuk menentukan apakah terpenuhi atau tidaknya kondisionalitas tersebut tetaplah menjadi kewenangan hakim. Dengan kata lain, tuntutan pidana dan perdata tersebut akan tetap berlaku dengan sendirinya.
Sementara terkait pasal 27 ayat (3) yang menyatakan bahwa setiap keputusan yang dikeluarkan dalam rangka melaksanakan perppu tersebut, bukanlah merupakan objek gugatan TUN. Maka itu, pasal tersebut tidak seharusnya dimaknai bahwa hak untuk mengajukan gugatan TUN tersebut juga menjadi gugur. Celah hukum untuk dapat menguji setiap keputusan yang dibuat sehubungan dengan pelaksanaan perppu tersebut masih dimungkinkan sepanjang keputusan tersebut ialah satu keputusan tata usaha negara yang bersifat konkret, individual, dan final yang merupakan kewenangan dari Pengadilan Tata Usaha Negara.
Meskipun demikian, dalam pelaksanaan perppu tersebut nantinya, teknis terkait distribusi dan implementasinya haruslah ditetapkan secara profesional, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dan, komitmen terhadap hal tersebut haruslah juga dibarengi dengan terus melakukan koordinasi secara terpadu dengan berbagai pihak seperti KPK, Polri, dan BPK.
Hal Ini menjadi satu langkah yang penting yang harus dilakukan untuk dapat menghindari terjadinya konflik kepentingan dan moral hazard yang pasti akan membayakan negara.
Sekali lagi, kewenangan untuk mengeluarkan perppu merupakan hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 kepada presiden melalui pasal 22 ayat (1), dan kondisi hari ini telah mendorong presiden untuk menggunakan hak tersebut. Perppu ini merupakan landasan yuridis yang penting sebagai bentuk penyesuaian terhadap keadaan faktual hari ini yang begitu kompleks. Langkah tersebut merupakan satu langkah extraordinary agar dapat memastikan penyelamatan kesehatan nasional dan perekonomian nasional berjalan secara bersamaan.
Terdapat sebuah ungkapan dalam bahasa Belanda, Het Recht Hinkt Achter De Feiten Aan , yang berarti hukum itu selalu tertinggal dari peristiwanya. Kehadiran perppu ini diharapkan mampu untuk menjadi jawaban atas kondisi dan situasi hari ini secara komprehensif. Tidak lain hanya untuk kepentingan nasional, yaitu masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.
Advokat, Dosen Fakultas Hukum Universitas Nasional
Direktur Treas Constituendum Institute
PEMERINTAH mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus (Covid-19). Hal ini dilakukan dalam rangka menghadapi ancaman yang dapat membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan di tengah pandemi Covid-19 ini.
Akan tetapi, sebagian masyarakat menilai buruk kehadiran perppu tersebut karena mereka menganggap bahwa pemerintah telah salah langkah dalam mengambil satu keputusan dengan mengeluarkan produk hukum yang secara intensi dan substansi atau muatan justru dapat membahayakan negara.
Tidak Keliru
Perlu diingat bahwa pandemi Covid-19 ini telah menimbulkan dampak dan konsekuensi yang luar biasa pada semua dimensi, tidak hanya pada sektor kesehatan, tetapi juga berimplikasi pada kondisi sosial dan ekonomi. Pendekatan tersebutlah yang kemudian menjadi dasar pemerintah untuk akhirnya mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tersebut.
Pandemi ini tidak hanya memberikan kedaruratan pada sektor kesehatan secara luas, tetapi juga telah menyebabkan goyahnya struktur ekonomi nasional dalam skala yang sama luasnya. Dalam situasi hari ini, ekonomi nasional dan kesehatan nasional adalah dua aspek yang saling beririsan dan tidak bisa dipisahkan antara satu dan yang lainnya. Kondisi ekonomi negara akan sangat berpengaruh terhadap segala upaya yang akan dilakukan oleh negara dalam rangka memberikan perlindungan dan bantuan kepada masyarakat di tengah pandemi Covid-19 ini. Sampai di sini, lahirnya perppu tersebut seharusnya menjadi logis dan relevan.
Masyarakat perlu untuk menyadari bahwa perppu adalah produk hukum yang dilahirkan dalam kondisi yang mendesak dan memaksa. Artinya, kondisi domestik hari ini telah dianggap oleh pemerintah sebagai satu kondisi yang tidak biasa dan telah menciptakan satu urgensi bagi pemerintah untuk mengambil satu keputusan yang juga tidak biasa.
Dalam konteks kedaruratan hari ini, perppu merupakan jawaban yang paling masuk di akal yang bisa diambil pemerintah.
Kondisi hari ini menuntut pemerintah untuk mengambil satu kebijakan secara cepat. Akan tetapi, sebagai negara hukum, setiap kebijakan negara tersebut haruslah selalu berdasarkan pada landasan hukum yang jelas, sehingga kecepatan dalam mengambil satu kebijakan yang berlandaskan hukum hanya dapat dilakukan melalui pembentukan perppu tadi. Dalam konteks ini, keluarnya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tersebut merupakan satu langkah yang bisa dianggap tidak keliru.
Apalagi, prosedur pembentukan hukum melalui mekanisme yang normal tidaklah mungkin dapat dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pasalnya, kondisi hari ini bukanlah satu kondisi yang ideal untuk dapat membentuk satu aturan hukum secara konvensional.
Gugurnya Imunitas
Kritik terhadap Perppu Nomor 1 Tahun 2020 ini juga disebabkan oleh materi muatan yang terdapat di dalam perppu tersebut. Publik menilai bahwa terdapat sejumlah pasal di dalam perppu tersebut yang justru dapat menciptakan ruang kedaruratan yang baru.
Salah satunya ialah pasal 27 yang mendapatkan kritikan paling tajam. Pasal ini dianggap dapat memberikan imunitas kepada pemerintah dan/atau Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) dan pihak lain yang diatur di dalam perppu ini secara berlebihan, karena pihak-pihak tersebut tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata, dan setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pihak tersebut juga bukanlah merupakan objek gugatan dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN).
Sebagaimana diketahui, beleid tersebut menjadi landasan bagi pemerintah untuk dapat mengeluarkan dana stimulus yang besaran jumlahnya mencapai Rp405,1 triliun. Penggunaan anggaran negara tersebut ditujukan pada empat sektor strategis yang terdampak akibat pandemi Covid-19 ini; Rp75 triliun dialokasikan untuk bidang kesehatan, Rp110 triliun untuk jaring pengamanan sosial (social safety net ), Rp150 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional, dan Rp70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat (KUR).
Besarnya jumlah anggaran negara yang akan digunakan tersebut dan diikuti dengan ketentuan yang terdapat didalam pasal 27 tadi telah menciptakan satu kekhawatiran di tengah masyarakat bahwa akan ada potensi penyimpangan yang rawan untuk dikorupsi. Padahal, kalau kita lihat, pasal tersebut baik secara tekstual maupun secara kontekstual memberikan pengecualian atas keberlakuaan "kekebalan" hukum tersebut. Pasal tersebut tidak seharusnya dimaknai secara normatif yang sempit. Artinya, imunitas yang diberikan oleh pasal tersebut tidaklah bersifat absolut dan bahkan pasal tersebut telah dengan sendirinya memberikan batasan, limitasi, atau parameter tentang bagaimana dan kapan imunitas tersebut akan menjadi gugur.
Dalam ilmu hukum sendiri, penerapan pasal seperti itu bukanlah konsep yang baru, bahkan juga dikenal dalam doktrin "business judgement rule ". Pasal tersebut telah jelas memberikan kewajiban kepada pemerintah dan/atau anggota dan sekretaris KSSK dan pejabat lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tersebut untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan tetap berpedoman pada koridor, prinsip, dan aturan berdasarkan iktikad baik (good will) dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Frasa atau unsur "iktikad baik" dan "berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan" inilah yang kemudian menjadi krusial dan membatasi pemerintah dan pihak lainnya dalam rangka melaksanakan kewenangan yang diberikan oleh perppu tersebut. Keberadaan frasa atau unsur ini telah dengan sendirinya mereduksi imunitas yang juga diberikan olehnya pada pasal yang sama. Dengan kata lain, frasa atau unsur tadi ialah kondisionalitas yang harus terpenuhi, dan kondisionalitas itulah yang pada kenyataannya menjadi absolut, bukan imunitasnya.
Kepentingan Nasional
Selanjutnya, penggunaan wewenang tadi haruslah secara sah memenuhi yuridis formal dan yuridis materiil, artinya pelaksanaan wewenang yang tidak berdasarkan iktikad baik dan tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku haruslah dimaknai bahwa hal itu tetaplah harus dan dapat dibuktikan melalui proses hukum yang fair, baik dalam ranah keperdataan maupun dalam lingkup hukum pidana. Dan, domain untuk menentukan apakah terpenuhi atau tidaknya kondisionalitas tersebut tetaplah menjadi kewenangan hakim. Dengan kata lain, tuntutan pidana dan perdata tersebut akan tetap berlaku dengan sendirinya.
Sementara terkait pasal 27 ayat (3) yang menyatakan bahwa setiap keputusan yang dikeluarkan dalam rangka melaksanakan perppu tersebut, bukanlah merupakan objek gugatan TUN. Maka itu, pasal tersebut tidak seharusnya dimaknai bahwa hak untuk mengajukan gugatan TUN tersebut juga menjadi gugur. Celah hukum untuk dapat menguji setiap keputusan yang dibuat sehubungan dengan pelaksanaan perppu tersebut masih dimungkinkan sepanjang keputusan tersebut ialah satu keputusan tata usaha negara yang bersifat konkret, individual, dan final yang merupakan kewenangan dari Pengadilan Tata Usaha Negara.
Meskipun demikian, dalam pelaksanaan perppu tersebut nantinya, teknis terkait distribusi dan implementasinya haruslah ditetapkan secara profesional, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dan, komitmen terhadap hal tersebut haruslah juga dibarengi dengan terus melakukan koordinasi secara terpadu dengan berbagai pihak seperti KPK, Polri, dan BPK.
Hal Ini menjadi satu langkah yang penting yang harus dilakukan untuk dapat menghindari terjadinya konflik kepentingan dan moral hazard yang pasti akan membayakan negara.
Sekali lagi, kewenangan untuk mengeluarkan perppu merupakan hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 kepada presiden melalui pasal 22 ayat (1), dan kondisi hari ini telah mendorong presiden untuk menggunakan hak tersebut. Perppu ini merupakan landasan yuridis yang penting sebagai bentuk penyesuaian terhadap keadaan faktual hari ini yang begitu kompleks. Langkah tersebut merupakan satu langkah extraordinary agar dapat memastikan penyelamatan kesehatan nasional dan perekonomian nasional berjalan secara bersamaan.
Terdapat sebuah ungkapan dalam bahasa Belanda, Het Recht Hinkt Achter De Feiten Aan , yang berarti hukum itu selalu tertinggal dari peristiwanya. Kehadiran perppu ini diharapkan mampu untuk menjadi jawaban atas kondisi dan situasi hari ini secara komprehensif. Tidak lain hanya untuk kepentingan nasional, yaitu masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.
(mhd)