Berpotensi Timbulkan Konflik Pilkada, Jangan Persulit Perekaman E-KTP
Kamis, 26 November 2020 - 07:03 WIB
Untuk memantau perekaman tersebut, Tito akan menerjunkan tim ke daerah pilkada yang perekaman e-KTP -nya kurang. Tito mengatakan tim kecil ini akan melihat seperti apa langkah-langkah yang dilakukan dinas dukcapil. “Apakah mereka bergerak atau tidak. Tentu bagi dinas dukcapil yang benar-benar bekerja all out, Kemendagri akan memberikan reward. Sebaliknya, dinas dukcapil yang tidak bekerja akan diberi punishment. Ini demi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara,” tegasnya. (Baca juga: Pesona Jatiluwih Tetap Bisa Dinikmati saat Pandemi)
Tito pun menjanjikan penghargaan bagi pemerintah daerah (pemda) dengan capaian perekaman 100%. Dia belum menyebut secara pasti apa yang akan dihadiahkan kepada daerah tersebut. Namun, ada beberapa hadiah yang kemungkinan akan diberikan. “Saya akan memberikan penghargaan entah apa pun penghargaan itu nanti,” ungkapnya.
Lima Hal yang Harus Dilakukan
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Nurul Amalia Salabi menuturkan, setidaknya ada lima hal yang harus disiapkan, khususnya oleh KPU, menuju pemungutan suara. Pertama, KPU harus memastikan kesiapan logistik dan distribusinya. Dia mengaku memperoleh informasi bahwa logistik Form C1 Hologram belum selesai diproduksi. Ini disebabkan logistik yang telah disiapkan KPU disesuaikan dengan penerapan Sirekap. “Nah, karena Sirekap tidak jadi diterapkan secara resmi, maka Form C1 hologram itu kemudian diproduksi KPU," bebernya. (Baca juga: OJK Ungkap Tantangan yang Dihadapi Perbankan)
Kedua, KPU juga harus memastikan keterpenuhan jumlah petugas di lapangan dan standar kapasitas mereka agar tidak menimbulkan masalah pada pelaksanaan pemungutan suara nanti. "Kami mendengar juga masih ada TPS yang belum lengkap jumlah KPPS-nya akibat sulitnya merekrut orang untuk mau jadi KPPS," ujarnya.
Merekrut KPPS di masa pandemi menjadi dilema karena orang lebih mengutamakan kesehatan. Selain itu, banyak yang takut menjadi KPPS karena tak paham teknisnya. Pun, menjadi KPPS dipersulit untuk mencegah penularan Covid-19 dan jatuhnya korban jiwa, yaitu maksimal berusia 50 tahun. "Ketiga, KPU harus sosialisasi prosedur dan tata cara pemilihan secara lebih masif. Jangan sampai masyarakat tidak tahu protokolnya sehingga mereka tidak teryakinkan bahwa memilih di TPS itu aman," papar Nurul. (Lihat videonya: KPK Tangkap Menteri KKP Edhy Prabowo di Bandara Soekarno-Hatta)
Keempat, di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang melemah, diprediksi tingkat permisif masyarakat terhadap politik uang meningkat. Hal ini diperparah dengan kurangnya informasi mengenai rekam jejak paslon, membuat pemilih bisa jadi malas datang ke TPS karena mereka tidak kenal paslonnya. Ditakutkan akan ada mobilisasi pemilih ke TPS melalui politik uang. (Dita Angga/Rakhmatulloh/Fahmi Bahtiar)
Tito pun menjanjikan penghargaan bagi pemerintah daerah (pemda) dengan capaian perekaman 100%. Dia belum menyebut secara pasti apa yang akan dihadiahkan kepada daerah tersebut. Namun, ada beberapa hadiah yang kemungkinan akan diberikan. “Saya akan memberikan penghargaan entah apa pun penghargaan itu nanti,” ungkapnya.
Lima Hal yang Harus Dilakukan
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Nurul Amalia Salabi menuturkan, setidaknya ada lima hal yang harus disiapkan, khususnya oleh KPU, menuju pemungutan suara. Pertama, KPU harus memastikan kesiapan logistik dan distribusinya. Dia mengaku memperoleh informasi bahwa logistik Form C1 Hologram belum selesai diproduksi. Ini disebabkan logistik yang telah disiapkan KPU disesuaikan dengan penerapan Sirekap. “Nah, karena Sirekap tidak jadi diterapkan secara resmi, maka Form C1 hologram itu kemudian diproduksi KPU," bebernya. (Baca juga: OJK Ungkap Tantangan yang Dihadapi Perbankan)
Kedua, KPU juga harus memastikan keterpenuhan jumlah petugas di lapangan dan standar kapasitas mereka agar tidak menimbulkan masalah pada pelaksanaan pemungutan suara nanti. "Kami mendengar juga masih ada TPS yang belum lengkap jumlah KPPS-nya akibat sulitnya merekrut orang untuk mau jadi KPPS," ujarnya.
Merekrut KPPS di masa pandemi menjadi dilema karena orang lebih mengutamakan kesehatan. Selain itu, banyak yang takut menjadi KPPS karena tak paham teknisnya. Pun, menjadi KPPS dipersulit untuk mencegah penularan Covid-19 dan jatuhnya korban jiwa, yaitu maksimal berusia 50 tahun. "Ketiga, KPU harus sosialisasi prosedur dan tata cara pemilihan secara lebih masif. Jangan sampai masyarakat tidak tahu protokolnya sehingga mereka tidak teryakinkan bahwa memilih di TPS itu aman," papar Nurul. (Lihat videonya: KPK Tangkap Menteri KKP Edhy Prabowo di Bandara Soekarno-Hatta)
Keempat, di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang melemah, diprediksi tingkat permisif masyarakat terhadap politik uang meningkat. Hal ini diperparah dengan kurangnya informasi mengenai rekam jejak paslon, membuat pemilih bisa jadi malas datang ke TPS karena mereka tidak kenal paslonnya. Ditakutkan akan ada mobilisasi pemilih ke TPS melalui politik uang. (Dita Angga/Rakhmatulloh/Fahmi Bahtiar)
(ysw)
tulis komentar anda