Pandemi Covid-19 dan Aksi Reuni 212 yang Tertunda
Kamis, 19 November 2020 - 09:27 WIB
Razikin mengatakan, tokoh-tokoh 212 itu orang yang paham Islam. "Masak sih memaksakan kehendak hanya untuk melampiaskan hasrat politik mereka?" Kata Razikin.(
)
Razikin pun mengingatkan pandemi Covid-19 bukan hanya persoalan Indonesia, tetapi juga masalah bagi umat manusia di seluruh dunia. "Tetapi saya melihat rencana reuni PA 212 itu merupakan gerakan politik, di sana ada power struggle (perebutan kekuasaan-red)," ujarnya.
Razikin menjelaskan, Indonesia telah memilih jalan demokrasi. Dalam berdemokrasi, kata dia, disyaratkan adanya kedewasaan menerima perbedaan, tidak memaksakan kehendak, menghormati hak-hak orang lain, menghormati pemerintahan yang terbentuk melalui Pemilu, serta sirkulasi kekuasaan secara periodik.
"Karenanya, jika ada kelompok masyarakat seperti PA 212 itu mengadakan reuni silakan saja, namun hak-hak orang lain atau kelompok masyarakat lainnya harus juga dihormati. Tidak boleh ada satu kelompok yang merasa benar sendiri, penuh arogansi dan ambisi memperjuangkan haknya dengan cara melanggar kepentingan orang lain," pungkas Razikin.
Sementara itu, mantan politikus Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean menilai reuni 212 bukan lagi murni tentang sebuah kenangan berkumpulnya orang-orang yang dulu menentang dan melawan Ahok.
"Kalau dibuat reuni, saya yakin yang hadir mungkin lebih banyak peserta yang tak hadir saat 212 tahun 2017 lalu saat mendemo Ahok. Jadi yang dimaksud reuni disini sudah gugur," kata Ferdinand Hutahaean kepada SINDOnews secara terpisah.
Sehingga, Ferdinand menilai acara tersebut hanya memperalat kata reuni demi kepentingan politik yang ujung-ujungnya memberikan panggung politik pada orang-orang tertentu dan menyerang pemerintah dan pribadi Presiden Jokowi.
"Itu bukan murni reuni dalam makna sesungguhnya tapi hanya mencatut kata reuni saja sebagai pembenaran melakukan aksi politik identitas. Apa pentingnya reuni 212? Bukankah tujuannya dulu sudah tercapai? Ahok sudah dihukum dan Anies sudah menang Gubernur," kata Ferdinand.
Jadi, menurut dia, tak ada dasar yang bisa membenarkan aksi itu dilakukan lagi kecuali kepentingan politik ke depan, memberi panggung pada orang tertentu dan menyerang pemerintah.
"Kalau bicara penting atau tak penting, perlu atau tak perlu, semestinya tak penting dan tak perlu bila murni ke aksi 212 tahun 2017, misinya sudah selesai. Tapi kalau bicara kepentingan ke depan, tentu bagi mereka ini sangat perlu," pungkas Ferdinand.
Razikin pun mengingatkan pandemi Covid-19 bukan hanya persoalan Indonesia, tetapi juga masalah bagi umat manusia di seluruh dunia. "Tetapi saya melihat rencana reuni PA 212 itu merupakan gerakan politik, di sana ada power struggle (perebutan kekuasaan-red)," ujarnya.
Razikin menjelaskan, Indonesia telah memilih jalan demokrasi. Dalam berdemokrasi, kata dia, disyaratkan adanya kedewasaan menerima perbedaan, tidak memaksakan kehendak, menghormati hak-hak orang lain, menghormati pemerintahan yang terbentuk melalui Pemilu, serta sirkulasi kekuasaan secara periodik.
"Karenanya, jika ada kelompok masyarakat seperti PA 212 itu mengadakan reuni silakan saja, namun hak-hak orang lain atau kelompok masyarakat lainnya harus juga dihormati. Tidak boleh ada satu kelompok yang merasa benar sendiri, penuh arogansi dan ambisi memperjuangkan haknya dengan cara melanggar kepentingan orang lain," pungkas Razikin.
Sementara itu, mantan politikus Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean menilai reuni 212 bukan lagi murni tentang sebuah kenangan berkumpulnya orang-orang yang dulu menentang dan melawan Ahok.
"Kalau dibuat reuni, saya yakin yang hadir mungkin lebih banyak peserta yang tak hadir saat 212 tahun 2017 lalu saat mendemo Ahok. Jadi yang dimaksud reuni disini sudah gugur," kata Ferdinand Hutahaean kepada SINDOnews secara terpisah.
Sehingga, Ferdinand menilai acara tersebut hanya memperalat kata reuni demi kepentingan politik yang ujung-ujungnya memberikan panggung politik pada orang-orang tertentu dan menyerang pemerintah dan pribadi Presiden Jokowi.
"Itu bukan murni reuni dalam makna sesungguhnya tapi hanya mencatut kata reuni saja sebagai pembenaran melakukan aksi politik identitas. Apa pentingnya reuni 212? Bukankah tujuannya dulu sudah tercapai? Ahok sudah dihukum dan Anies sudah menang Gubernur," kata Ferdinand.
Jadi, menurut dia, tak ada dasar yang bisa membenarkan aksi itu dilakukan lagi kecuali kepentingan politik ke depan, memberi panggung pada orang tertentu dan menyerang pemerintah.
"Kalau bicara penting atau tak penting, perlu atau tak perlu, semestinya tak penting dan tak perlu bila murni ke aksi 212 tahun 2017, misinya sudah selesai. Tapi kalau bicara kepentingan ke depan, tentu bagi mereka ini sangat perlu," pungkas Ferdinand.
Lihat Juga :
tulis komentar anda