Perihal Jalur Konstitusional Pembatalan UU Cipta Kerja
Sabtu, 07 November 2020 - 04:52 WIB
Adam Muhshi
Pengajar Hukum Administrasi di Fakultas Hukum Universitas Jember, Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga dan Penerima Beasiswa Eka Tjipta Foundation
YUSRILIhza Mahendra melalui tulisannya yang berjudul "permasalahan Sekitar UU Omnibus Law Cipta Kerja " menyatakan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ( UU Cipta Kerja ) yang sudah ditandatangani Presiden dan diundangkan dalam lembaran negara adalah sah sebagai sebuah UU yang berlaku dan mengikat semua pihak (Detik.com, Rabu, 4/11). Pendapat tersebut tak terbantahkan kebenarannya sebab sejak UU Cipta Kerja diundangkan, berlakulah asas praesumptio iustae causa (asas praduga keabsahan) terhadapnya. Berdasarkan asas ini, meskipun UU Cipta Kerja dinilai cacat hukum tetapi ia harus tetap dianggap sah dan berlaku sebelum ada pembatalan.
Namun, tidak tepat kemudian ketika Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa Presiden dan Pimpinan DPR dapat mengadakan perbaikan terhadap "salah ketik" dalam UU Cipta Kerja yang telah diundangkan tersebut. Pendapat yang kedua ini bertentangan dengan pendapatnya yang pertama, di mana dikatakan bahwa UU Cipta kerja tersebut sah sebagai sebuah UU yang berlaku dan mengikat semua pihak. Sebab sejak UU Cipta Kerja tersebut diundangkan, keabsahan dan keberlakuannya bukan hanya mengikat kepada pihak lain tetapi ia berlaku dan mengikat pula bagi pembentuknya sendiri, yaitu DPR dan Presiden.
Konsekuensinya, sejak UU Cipta kerja diundangkan, DPR dan Presiden terikat untuk tidak melakukan perbaikan (perubahan) terhadapnya kecuali dengan mekanisme yang telah ditentukan dalam UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 (UU PPP). Berdasarkan ketentuan UUD 1945 dan UU PPP, hanya ada dua jalan bagi Presiden dan DPR untuk melakukan perubahan terhadap UU Cipta Kerja, yaitu pertama, melalui Perppu yang ditetapkan oleh Presiden dan selanjutnya harus dimintakan persetujuan kepada DPR dalam persidangan yang berikut; dan kedua, melalui legislatif review di mana DPR dengan kewenangan legislasinya membentuk UU perubahan atas UU Cipta Kerja bersama Presiden. ( )
Batal Demi Hukum
Artinya bahwa jika ingin melakukan perubahan terhadap UU Cipta Kerja, tak ada jalan lain bagi DPR dan Presiden selain harus melewati dua alternatif rute konstitusional tersebut di atas. Penegasan berkenaan dengan limitasi dua jalur perubahan ini penting dikemukakan karena wewenang DPR dan Presiden dalam pembentukan UU tidak tak terbatas.
Wewenang DPR dan Presiden untuk melakukan pembahasan dan perubahan terhadap substansi hanya dapat dilakukan sampai keputusan persetujuan diambil dalam rapat paripurna. A contrario, sejak persetujuan dalam rapat paripurna, DPR dan Presiden tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan perubahan terhadap substansi UU Cipta Kerja tersebut.
Jangankan setelah diundangkan, pasca persetujuan dalam rapat paripurna wewenang DPR terbatas hanya untuk membenahi teknis penulisan sebelum dikirim kepada Presiden untuk disahkan dan kemudian diundangkan dalam lembaran negara. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU PPP yang menyatakan bahwa "Tenggang waktu 7 (tujuh) hari kerja dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan Rancangan Undang-Undang …".
Pengajar Hukum Administrasi di Fakultas Hukum Universitas Jember, Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga dan Penerima Beasiswa Eka Tjipta Foundation
YUSRILIhza Mahendra melalui tulisannya yang berjudul "permasalahan Sekitar UU Omnibus Law Cipta Kerja " menyatakan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ( UU Cipta Kerja ) yang sudah ditandatangani Presiden dan diundangkan dalam lembaran negara adalah sah sebagai sebuah UU yang berlaku dan mengikat semua pihak (Detik.com, Rabu, 4/11). Pendapat tersebut tak terbantahkan kebenarannya sebab sejak UU Cipta Kerja diundangkan, berlakulah asas praesumptio iustae causa (asas praduga keabsahan) terhadapnya. Berdasarkan asas ini, meskipun UU Cipta Kerja dinilai cacat hukum tetapi ia harus tetap dianggap sah dan berlaku sebelum ada pembatalan.
Namun, tidak tepat kemudian ketika Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa Presiden dan Pimpinan DPR dapat mengadakan perbaikan terhadap "salah ketik" dalam UU Cipta Kerja yang telah diundangkan tersebut. Pendapat yang kedua ini bertentangan dengan pendapatnya yang pertama, di mana dikatakan bahwa UU Cipta kerja tersebut sah sebagai sebuah UU yang berlaku dan mengikat semua pihak. Sebab sejak UU Cipta Kerja tersebut diundangkan, keabsahan dan keberlakuannya bukan hanya mengikat kepada pihak lain tetapi ia berlaku dan mengikat pula bagi pembentuknya sendiri, yaitu DPR dan Presiden.
Konsekuensinya, sejak UU Cipta kerja diundangkan, DPR dan Presiden terikat untuk tidak melakukan perbaikan (perubahan) terhadapnya kecuali dengan mekanisme yang telah ditentukan dalam UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 (UU PPP). Berdasarkan ketentuan UUD 1945 dan UU PPP, hanya ada dua jalan bagi Presiden dan DPR untuk melakukan perubahan terhadap UU Cipta Kerja, yaitu pertama, melalui Perppu yang ditetapkan oleh Presiden dan selanjutnya harus dimintakan persetujuan kepada DPR dalam persidangan yang berikut; dan kedua, melalui legislatif review di mana DPR dengan kewenangan legislasinya membentuk UU perubahan atas UU Cipta Kerja bersama Presiden. ( )
Batal Demi Hukum
Artinya bahwa jika ingin melakukan perubahan terhadap UU Cipta Kerja, tak ada jalan lain bagi DPR dan Presiden selain harus melewati dua alternatif rute konstitusional tersebut di atas. Penegasan berkenaan dengan limitasi dua jalur perubahan ini penting dikemukakan karena wewenang DPR dan Presiden dalam pembentukan UU tidak tak terbatas.
Wewenang DPR dan Presiden untuk melakukan pembahasan dan perubahan terhadap substansi hanya dapat dilakukan sampai keputusan persetujuan diambil dalam rapat paripurna. A contrario, sejak persetujuan dalam rapat paripurna, DPR dan Presiden tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan perubahan terhadap substansi UU Cipta Kerja tersebut.
Jangankan setelah diundangkan, pasca persetujuan dalam rapat paripurna wewenang DPR terbatas hanya untuk membenahi teknis penulisan sebelum dikirim kepada Presiden untuk disahkan dan kemudian diundangkan dalam lembaran negara. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU PPP yang menyatakan bahwa "Tenggang waktu 7 (tujuh) hari kerja dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan Rancangan Undang-Undang …".
tulis komentar anda