Kuasa Politik di Balik Proyek Pelabuhan Patimban
Kamis, 05 November 2020 - 12:38 WIB
Larangan keterlibatan perusahaan pelabuhan pelat merah sebagai operator pelabuhan Patimban – dalam hal ini Pelindo II atau IPC – sudah diumbar oleh Menteri Perhubungan jauh sebelum proses lelang dibuka. Perihal ini juga sudah bukan rahasia lagi.
Larangan terbaru adalah: BUMN tersebut juga diminta untuk tidak mengembangkan bisnis terminal peti kemasnya. Sekadar pengingat, Pelabuhan Patimban akan memiliki berbagai terminal; untuk tahap awal akan dioperasikan terminal kendaraan yang disusul kemudian oleh pengoperasian terminal peti kemas.
Dengan kuasa politik yang digenggamnya, orang nomor 1 di Kemenhub itu juga memuluskan terpilihnya CT Corp sebagai pemenang tahap prakualifikasi operator pelabuhan Patimban. Sedangkan perusahaan ini merupakan pendatang baru dalam dunia persilatan kepelabuhan di Tanah Air. Dalam bahasa lain, belum ada pengalaman.
Di satu sisi, pengalaman menjadi syarat untuk dapat ikut serta dalam proses tender. Hal lain, korporasi yang bersangkutan tidak/belum mengantongi izin badan usaha pelabuhan (BUP).
Kawan penulis yang sangat menguasai UU Nomor 17/2008 tentang Pelayaran pas ditanya bilang bahwa izin BUP itu syarat mutlak untuk terlibat dalam bisnis pelabuhan di Indonesia. Tetapi, apa lacur, CT Corp sudah “ditetapkan” sebagai pemenang proses prakualifikasi. Sengaja saya pakai kata “ditetapkan” karena lazimnya proses tersebut menghasilkan, paling tidak, dua perusahaan untuk selanjutnya ditetapkan satu sebagai pemenang dalam tahapan berikutnya.
Kompetitor CT Corp dalam proses tender Pelabuhan Patimban, Samudera Indonesia, jelas keberatan dengan penetapan yang ada dan langsung mengajukan sanggahan atas keputusan panitia lelang. Namun, seperti yang sudah diduga, sanggahan mereka tidak menggoyahkan keputusan yang sudah diketok Kemenhub.
Alasan perusahaan ini dihentikan langkahnya untuk menjadi operator Pelabuhan Patimban karena ketiadaan persyaratan teknis dan pengalaman pembiayaan. Dua aspek ini hanya dimiliki oleh anak usahanya. Aneh bukan?
Lantas, apa gunanya aksi politis di balik proyek Pelabuhan Patimban diungkap? Karena segala sesuatu yang sudah diawali dengan patgulipat pasti akan menghasilkan output yang tidak baik pula. Pelabuhan Patimban digadang-gadang sebagai pelabuhan terbesar di Indonesia kelak dan oleh sebab itu perlu good corporate governance agar sesuai dengan status yang diinginkan. Sayang, harapan ini sepertinya sulit digapai karena belum apa-apa sudah diawali dengan proses yang cacat.
Larangan terbaru adalah: BUMN tersebut juga diminta untuk tidak mengembangkan bisnis terminal peti kemasnya. Sekadar pengingat, Pelabuhan Patimban akan memiliki berbagai terminal; untuk tahap awal akan dioperasikan terminal kendaraan yang disusul kemudian oleh pengoperasian terminal peti kemas.
Dengan kuasa politik yang digenggamnya, orang nomor 1 di Kemenhub itu juga memuluskan terpilihnya CT Corp sebagai pemenang tahap prakualifikasi operator pelabuhan Patimban. Sedangkan perusahaan ini merupakan pendatang baru dalam dunia persilatan kepelabuhan di Tanah Air. Dalam bahasa lain, belum ada pengalaman.
Di satu sisi, pengalaman menjadi syarat untuk dapat ikut serta dalam proses tender. Hal lain, korporasi yang bersangkutan tidak/belum mengantongi izin badan usaha pelabuhan (BUP).
Kawan penulis yang sangat menguasai UU Nomor 17/2008 tentang Pelayaran pas ditanya bilang bahwa izin BUP itu syarat mutlak untuk terlibat dalam bisnis pelabuhan di Indonesia. Tetapi, apa lacur, CT Corp sudah “ditetapkan” sebagai pemenang proses prakualifikasi. Sengaja saya pakai kata “ditetapkan” karena lazimnya proses tersebut menghasilkan, paling tidak, dua perusahaan untuk selanjutnya ditetapkan satu sebagai pemenang dalam tahapan berikutnya.
Kompetitor CT Corp dalam proses tender Pelabuhan Patimban, Samudera Indonesia, jelas keberatan dengan penetapan yang ada dan langsung mengajukan sanggahan atas keputusan panitia lelang. Namun, seperti yang sudah diduga, sanggahan mereka tidak menggoyahkan keputusan yang sudah diketok Kemenhub.
Alasan perusahaan ini dihentikan langkahnya untuk menjadi operator Pelabuhan Patimban karena ketiadaan persyaratan teknis dan pengalaman pembiayaan. Dua aspek ini hanya dimiliki oleh anak usahanya. Aneh bukan?
Lantas, apa gunanya aksi politis di balik proyek Pelabuhan Patimban diungkap? Karena segala sesuatu yang sudah diawali dengan patgulipat pasti akan menghasilkan output yang tidak baik pula. Pelabuhan Patimban digadang-gadang sebagai pelabuhan terbesar di Indonesia kelak dan oleh sebab itu perlu good corporate governance agar sesuai dengan status yang diinginkan. Sayang, harapan ini sepertinya sulit digapai karena belum apa-apa sudah diawali dengan proses yang cacat.
(poe)
tulis komentar anda