Kuasa Politik di Balik Proyek Pelabuhan Patimban
loading...
A
A
A
Siswanto Rusdi
Direktur The National Maritime Institute (Namarin)
TULISAN ini untuk kesekian kalinya membahas seputar pelabuhan Patimban oleh penulis. Sejak pelabuhan yang terletak di Kabupaten Subang, Jawa Barat, itu dikerjakan oleh Kementerian Perhubungan, saya sudah mengkritisinya. Kritik saya sebetulnya sudah disampaikan jauh sebelumnya ketika lokasi yang dipilih untuk pelabuhan alternatif pelabuhan Tanjung Priok, DKI Jakarta, masih berada di Cilamaya, Kabupaten Karawang, (juga) Jawa Barat.
Pikiran yang melandasinya sederhana: Keberadaan pelabuhan alternatif bagi Tanjung Priok – di Patimban atau Cilamaya –lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya bagi pelabuhan terbesar di Indonesia itu.
Kok, bisa begitu? Yang ringan-ringan saja penjelasan saya untuk menjawab pertanyaan dimaksud. Baik Pelabuhan Patimban dan Pelabuhan Tanjung Priok memiliki fasilitas terminal yang sama. Di Patimban ada terminal kendaraan, di Tanjung Priok ada terminal kendaraan, malah sudah lebih dahulu beroperasi dan karenanya memimpin pasar pengiriman kendaraan di Tanah Air.
Kedua pelabuhan juga memiliki pasar alias hinterland yang sama, yaitu pabrik-pabrik yang berada di Tambun, Cikarang, Karawang dan sekitarnya. Melihat kekuatan lobi-lobi politik di baliknya, pelabuhan Patimban sepertinya juga akan melahap pasar yang selama ini dilayani oleh pelabuhan Tanjung Emas (Semarang, Jawa Tengah), Tanjung Perak (Surabaya, Jawa Timur) dan pelabuhan Cirebon yang tidak terlalu jauh jaraknya dari Patimban. Singkat cerita, keberadaan pelabuhan Patimban lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya.
Aspek politik memang amat sangat kental dalam proyek pengembangan Pelabuhan Patimban. Proyek ini adalah kompensasi bagi kekecewaan pemerintah Jepang atas dibatalkannya proyek kereta api cepat (high speed train) Jakarta-Surabaya.
Padahal, sudah ada komitmen Presiden Joko Widodo untuk memberikan proyek ini kepada negeri matahari terbit tersebut sebelumnya. Seperti yang sudah diketahui oleh publik, proyek diserahkan kepada Pemerintah China namun jaraknya dikorting hanya sampai Bandung, Jawa Barat.
Faktor politik juga terlihat dari adanya kebijakan untuk melarang keikutsertaan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) dalam tender operator pelabuhan Patimban. Memang, dalam iklan yang dipasang oleh Kementerian Perhubungan di surat kabar perihal prakualifikasi operator pelabuhan Patimban tidak ada kalimat yang melarang BUMN pelabuhan terlibat sama sekali. Tetapi, publik kemaritiman tahu hal itu hanyalah lip service.
Larangan keterlibatan perusahaan pelabuhan pelat merah sebagai operator pelabuhan Patimban – dalam hal ini Pelindo II atau IPC – sudah diumbar oleh Menteri Perhubungan jauh sebelum proses lelang dibuka. Perihal ini juga sudah bukan rahasia lagi.
Larangan terbaru adalah: BUMN tersebut juga diminta untuk tidak mengembangkan bisnis terminal peti kemasnya. Sekadar pengingat, Pelabuhan Patimban akan memiliki berbagai terminal; untuk tahap awal akan dioperasikan terminal kendaraan yang disusul kemudian oleh pengoperasian terminal peti kemas.
Dengan kuasa politik yang digenggamnya, orang nomor 1 di Kemenhub itu juga memuluskan terpilihnya CT Corp sebagai pemenang tahap prakualifikasi operator pelabuhan Patimban. Sedangkan perusahaan ini merupakan pendatang baru dalam dunia persilatan kepelabuhan di Tanah Air. Dalam bahasa lain, belum ada pengalaman.
Di satu sisi, pengalaman menjadi syarat untuk dapat ikut serta dalam proses tender. Hal lain, korporasi yang bersangkutan tidak/belum mengantongi izin badan usaha pelabuhan (BUP).
Kawan penulis yang sangat menguasai UU Nomor 17/2008 tentang Pelayaran pas ditanya bilang bahwa izin BUP itu syarat mutlak untuk terlibat dalam bisnis pelabuhan di Indonesia. Tetapi, apa lacur, CT Corp sudah “ditetapkan” sebagai pemenang proses prakualifikasi. Sengaja saya pakai kata “ditetapkan” karena lazimnya proses tersebut menghasilkan, paling tidak, dua perusahaan untuk selanjutnya ditetapkan satu sebagai pemenang dalam tahapan berikutnya.
Kompetitor CT Corp dalam proses tender Pelabuhan Patimban, Samudera Indonesia, jelas keberatan dengan penetapan yang ada dan langsung mengajukan sanggahan atas keputusan panitia lelang. Namun, seperti yang sudah diduga, sanggahan mereka tidak menggoyahkan keputusan yang sudah diketok Kemenhub.
Alasan perusahaan ini dihentikan langkahnya untuk menjadi operator Pelabuhan Patimban karena ketiadaan persyaratan teknis dan pengalaman pembiayaan. Dua aspek ini hanya dimiliki oleh anak usahanya. Aneh bukan?
Lantas, apa gunanya aksi politis di balik proyek Pelabuhan Patimban diungkap? Karena segala sesuatu yang sudah diawali dengan patgulipat pasti akan menghasilkan output yang tidak baik pula. Pelabuhan Patimban digadang-gadang sebagai pelabuhan terbesar di Indonesia kelak dan oleh sebab itu perlu good corporate governance agar sesuai dengan status yang diinginkan. Sayang, harapan ini sepertinya sulit digapai karena belum apa-apa sudah diawali dengan proses yang cacat.
Direktur The National Maritime Institute (Namarin)
TULISAN ini untuk kesekian kalinya membahas seputar pelabuhan Patimban oleh penulis. Sejak pelabuhan yang terletak di Kabupaten Subang, Jawa Barat, itu dikerjakan oleh Kementerian Perhubungan, saya sudah mengkritisinya. Kritik saya sebetulnya sudah disampaikan jauh sebelumnya ketika lokasi yang dipilih untuk pelabuhan alternatif pelabuhan Tanjung Priok, DKI Jakarta, masih berada di Cilamaya, Kabupaten Karawang, (juga) Jawa Barat.
Pikiran yang melandasinya sederhana: Keberadaan pelabuhan alternatif bagi Tanjung Priok – di Patimban atau Cilamaya –lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya bagi pelabuhan terbesar di Indonesia itu.
Kok, bisa begitu? Yang ringan-ringan saja penjelasan saya untuk menjawab pertanyaan dimaksud. Baik Pelabuhan Patimban dan Pelabuhan Tanjung Priok memiliki fasilitas terminal yang sama. Di Patimban ada terminal kendaraan, di Tanjung Priok ada terminal kendaraan, malah sudah lebih dahulu beroperasi dan karenanya memimpin pasar pengiriman kendaraan di Tanah Air.
Kedua pelabuhan juga memiliki pasar alias hinterland yang sama, yaitu pabrik-pabrik yang berada di Tambun, Cikarang, Karawang dan sekitarnya. Melihat kekuatan lobi-lobi politik di baliknya, pelabuhan Patimban sepertinya juga akan melahap pasar yang selama ini dilayani oleh pelabuhan Tanjung Emas (Semarang, Jawa Tengah), Tanjung Perak (Surabaya, Jawa Timur) dan pelabuhan Cirebon yang tidak terlalu jauh jaraknya dari Patimban. Singkat cerita, keberadaan pelabuhan Patimban lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya.
Aspek politik memang amat sangat kental dalam proyek pengembangan Pelabuhan Patimban. Proyek ini adalah kompensasi bagi kekecewaan pemerintah Jepang atas dibatalkannya proyek kereta api cepat (high speed train) Jakarta-Surabaya.
Padahal, sudah ada komitmen Presiden Joko Widodo untuk memberikan proyek ini kepada negeri matahari terbit tersebut sebelumnya. Seperti yang sudah diketahui oleh publik, proyek diserahkan kepada Pemerintah China namun jaraknya dikorting hanya sampai Bandung, Jawa Barat.
Faktor politik juga terlihat dari adanya kebijakan untuk melarang keikutsertaan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) dalam tender operator pelabuhan Patimban. Memang, dalam iklan yang dipasang oleh Kementerian Perhubungan di surat kabar perihal prakualifikasi operator pelabuhan Patimban tidak ada kalimat yang melarang BUMN pelabuhan terlibat sama sekali. Tetapi, publik kemaritiman tahu hal itu hanyalah lip service.
Larangan keterlibatan perusahaan pelabuhan pelat merah sebagai operator pelabuhan Patimban – dalam hal ini Pelindo II atau IPC – sudah diumbar oleh Menteri Perhubungan jauh sebelum proses lelang dibuka. Perihal ini juga sudah bukan rahasia lagi.
Larangan terbaru adalah: BUMN tersebut juga diminta untuk tidak mengembangkan bisnis terminal peti kemasnya. Sekadar pengingat, Pelabuhan Patimban akan memiliki berbagai terminal; untuk tahap awal akan dioperasikan terminal kendaraan yang disusul kemudian oleh pengoperasian terminal peti kemas.
Dengan kuasa politik yang digenggamnya, orang nomor 1 di Kemenhub itu juga memuluskan terpilihnya CT Corp sebagai pemenang tahap prakualifikasi operator pelabuhan Patimban. Sedangkan perusahaan ini merupakan pendatang baru dalam dunia persilatan kepelabuhan di Tanah Air. Dalam bahasa lain, belum ada pengalaman.
Di satu sisi, pengalaman menjadi syarat untuk dapat ikut serta dalam proses tender. Hal lain, korporasi yang bersangkutan tidak/belum mengantongi izin badan usaha pelabuhan (BUP).
Kawan penulis yang sangat menguasai UU Nomor 17/2008 tentang Pelayaran pas ditanya bilang bahwa izin BUP itu syarat mutlak untuk terlibat dalam bisnis pelabuhan di Indonesia. Tetapi, apa lacur, CT Corp sudah “ditetapkan” sebagai pemenang proses prakualifikasi. Sengaja saya pakai kata “ditetapkan” karena lazimnya proses tersebut menghasilkan, paling tidak, dua perusahaan untuk selanjutnya ditetapkan satu sebagai pemenang dalam tahapan berikutnya.
Kompetitor CT Corp dalam proses tender Pelabuhan Patimban, Samudera Indonesia, jelas keberatan dengan penetapan yang ada dan langsung mengajukan sanggahan atas keputusan panitia lelang. Namun, seperti yang sudah diduga, sanggahan mereka tidak menggoyahkan keputusan yang sudah diketok Kemenhub.
Alasan perusahaan ini dihentikan langkahnya untuk menjadi operator Pelabuhan Patimban karena ketiadaan persyaratan teknis dan pengalaman pembiayaan. Dua aspek ini hanya dimiliki oleh anak usahanya. Aneh bukan?
Lantas, apa gunanya aksi politis di balik proyek Pelabuhan Patimban diungkap? Karena segala sesuatu yang sudah diawali dengan patgulipat pasti akan menghasilkan output yang tidak baik pula. Pelabuhan Patimban digadang-gadang sebagai pelabuhan terbesar di Indonesia kelak dan oleh sebab itu perlu good corporate governance agar sesuai dengan status yang diinginkan. Sayang, harapan ini sepertinya sulit digapai karena belum apa-apa sudah diawali dengan proses yang cacat.
(poe)