ASN Profetik dan Netralitas Birokrasi
Selasa, 27 Oktober 2020 - 05:37 WIB
Firna Novi Anggoro
Pemerhati Isu Hukum dan Kebijakan Publik, Bekerja di Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung
PELANGGARAN netralitas aparatur sipil negara (ASN) di Indonesia masih menjadi penyakit kambuhan yang muncul kala kontestasi elektoral digelar. Tidak sedikit ASN yang melarungkan dirinya pada politik dukung-mendukung di ajang pesta demokrasi Pilkada 2020.
Padahal, regulasi terkait pemilu, pilkada, dan manajemen ASN secara gamblang mewajibkan ASN untuk bersikap netral sekaligus memberi sanksi hukum bagi yang melanggarnya. Medio September 2020, lima kementerian/lembaga, yakni Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga telah menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pedoman pengawasan netralitas ASN selama Pilkada 2020.
Hingga 30 September 2020 KASN mencatat sebanyak 694 ASN yang dilaporkan dan 492 ASN terbukti melanggar netralitas Pilkada 2020 sehingga direkomendasikan untuk dijatuhi hukuman. Pelanggaran didominasi oleh ASN yang memberi dukungan kepada salah satu pasangan calon di media sosial dan media massa. Ditemui juga ASN yang masih nekat menghadiri acara terkait kegiatan kampanye pasangan calon. Bahkan tidak segan-segan ASN menggunakan fasilitas dinas untuk kegiatan kampanye tersebut.
Temuan ini tentunya mengkhawatirkan, mengingat kasus yang terjadi di lapangan bisa saja melebihi jumlah kasus yang dilaporkan ke KASN karena tidak seluruh pelanggaran, masuk dalam laporan baik melalui pengawas pemilu ataupun dari manajemen kepegawaian.
Kondisi Dilematis
Momentum pilkada memang kerap membawa ASN berada dalam kondisi dilematis. Satu sisi, negara menerbitkan bermacam regulasi untuk memagari netralitas ASN dari praktik politisasi birokrasi. Sebab, jika birokrasi dikooptasi sebagai instrumen kekuasaan politik maka peran ASN sebagai abdi negara dan masyarakat (public servant) akan tereduksi dan bahkan berpotensi menimbulkan birokrasi yang korup.
Di sisi lain, kedudukan kepala daerah selaku Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) menjadikan ASN sulit bersikap netral. Tingginya biaya politik memaksa para kepala daerah petahana memainkan kewenangannya sebagai PPK untuk mengintervensi para ASN di bawahnya agar berkontribusi mendongkrak elektabilitas politik. Para ASN juga tersandera harus mengerahkan sumber daya yang melekat dalam jabatannya untuk mengamankan kepentingan politik kepala daerah. Jika bersikap netral atau berpihak pada paslon lain, siap-siap ancaman mutasi atau nonjob pun menanti.
Pemerhati Isu Hukum dan Kebijakan Publik, Bekerja di Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung
PELANGGARAN netralitas aparatur sipil negara (ASN) di Indonesia masih menjadi penyakit kambuhan yang muncul kala kontestasi elektoral digelar. Tidak sedikit ASN yang melarungkan dirinya pada politik dukung-mendukung di ajang pesta demokrasi Pilkada 2020.
Padahal, regulasi terkait pemilu, pilkada, dan manajemen ASN secara gamblang mewajibkan ASN untuk bersikap netral sekaligus memberi sanksi hukum bagi yang melanggarnya. Medio September 2020, lima kementerian/lembaga, yakni Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga telah menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pedoman pengawasan netralitas ASN selama Pilkada 2020.
Hingga 30 September 2020 KASN mencatat sebanyak 694 ASN yang dilaporkan dan 492 ASN terbukti melanggar netralitas Pilkada 2020 sehingga direkomendasikan untuk dijatuhi hukuman. Pelanggaran didominasi oleh ASN yang memberi dukungan kepada salah satu pasangan calon di media sosial dan media massa. Ditemui juga ASN yang masih nekat menghadiri acara terkait kegiatan kampanye pasangan calon. Bahkan tidak segan-segan ASN menggunakan fasilitas dinas untuk kegiatan kampanye tersebut.
Temuan ini tentunya mengkhawatirkan, mengingat kasus yang terjadi di lapangan bisa saja melebihi jumlah kasus yang dilaporkan ke KASN karena tidak seluruh pelanggaran, masuk dalam laporan baik melalui pengawas pemilu ataupun dari manajemen kepegawaian.
Kondisi Dilematis
Momentum pilkada memang kerap membawa ASN berada dalam kondisi dilematis. Satu sisi, negara menerbitkan bermacam regulasi untuk memagari netralitas ASN dari praktik politisasi birokrasi. Sebab, jika birokrasi dikooptasi sebagai instrumen kekuasaan politik maka peran ASN sebagai abdi negara dan masyarakat (public servant) akan tereduksi dan bahkan berpotensi menimbulkan birokrasi yang korup.
Di sisi lain, kedudukan kepala daerah selaku Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) menjadikan ASN sulit bersikap netral. Tingginya biaya politik memaksa para kepala daerah petahana memainkan kewenangannya sebagai PPK untuk mengintervensi para ASN di bawahnya agar berkontribusi mendongkrak elektabilitas politik. Para ASN juga tersandera harus mengerahkan sumber daya yang melekat dalam jabatannya untuk mengamankan kepentingan politik kepala daerah. Jika bersikap netral atau berpihak pada paslon lain, siap-siap ancaman mutasi atau nonjob pun menanti.
Lihat Juga :
tulis komentar anda