Sidang MK: UU Covid-19 Langgar Azas Pertanggungjawaban Pidana

Kamis, 22 Oktober 2020 - 16:28 WIB
Ketua MK Anwar Usman memimpin sidang tujuh perkara UU Covid-19 secara virtual dengan agenda keterangan ahli, Kamis (22/10/2020). Foto:/Youtube MK.
JAKARTA -
Pakar hukum Abdul Khoir Ramadhan menilai penyusunan pengesahan UU Covid-19 melanggar pertanggungjawaban pidana dan bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini disampaikan saat menjadi ahli pemohon perkara nomor: 43/PUU-XVIII/2020 yang disidangkan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) , Kamis (22/10/2020). 

MK menggabungkan persidangan perkara nomor: 43 dengan enam perkara lainnya yakni nomor 37/PUU-XVIII/2020, 42/PUU-XVIII/2020, 45/PUU-XVIII/2020, 47/PUU-XVIII/2020, 49/PUU-XVIII/2020, dan 75/PUU-XVIII/2020. Persidangan dipimpin langsung oleh Ketua MK Anwar Usman. Ahli dan kuasa pemohon menghadiri persidangan secara virtual guna pencegahan penyebaran pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19) di lingkungan MK. Secara umum, tujuh gugatan mencakup uji materiil dan/atau uji formil Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Keuangan Menjadi Undang-Undang (UU Covid-19) terhadap UUD 1945.

(Baca: Uji Materi UU Ciptaker Dinilai Belum Prioritas) Para pemohon berasal dari beragam individu maupun organisasi. Para pemohon mendalilkan ketentuan pasal-pasal UU a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan pembelajarannya merugikan hak konstitusional para pemohon. "Dari DPR berhalangan, ada surat pemberitahuan. Agenda persidangan kali ini adalah mendengarkan keterangan ahli dari perkara nomor 43, ahlinya atas nama Pak Abdul Khair Ramadhan," ujar Ketua MK Anwar Usman di awal persidangan.

Abdul Khair Ramadhan menyatakan, berdasarkan analisis yuridis teroritis maka UU Covid-19 yang disusun dan disahkan serta berlaku saat ini telah menyalahi sistem hukum pidana. Utamanya kata dia, terkait dengan azas kepastian hukum dan keadilan. Hal ini, menurut Khair, lebih khusus bisa disorot pada Pasal 27 UU Covid-19. Secara umum pasal 27 UU Covid-19, kata Khair, mengatur bahwa kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, program pemulihan ekonomi nasional merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara, serta tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dan segala tindakan termasuk keputusan yang diambil bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.



(Baca: Uji Formil dan Materiil UU COVID-19, Pemohon Persoalkan Rapat Digelar Secara Virtual)

"UU Penanganan Covid-19 dipandang telah menyalahi bekerjanya sistem hukum pidana. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27D UUD 1945. Kesemuanya itu dapat dilihat dalam Pasal 27 UU Penanganan Covid-19, pasal ini mengandung ketidakjelasan perumusan norma. Ketentuan pasal a quo telah membuka peluang akan adanya rekayasa hukum pidana," tegas Khair.

Secara keseluruhan, Pasal 27 UU Covid-19 berbunyi, ayat (1) "Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.Ayat (2) "Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

(Baca: Ramai-Ramai Menguji 'Kekebalan' UU Covid-19)

Ayat (3) "Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara."Khair melanjutkan, rekayasa hukum atas ketentuan Pasal 27 UU Covid-19 maksudnya berupa penegasian unsur kesalahan yaitu kesengajaan. Sementara, tutur dia, unsur kesalahan berupa kesengajaan dalam tindak pidana termasuk korupsi menempati posisi yang paling menentukan bagi pertanggungjawaban pidana seseorang.

"Untuk adanya suatu kesalahan, harus ada suatu kondisi atau keadaan tertentu atau batin tertentu yang berhubungan dengan keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan. Sehingga menimbulkan suatu celaan yang pada nantinya dapat tidaknya seseorang untuk dimintai pertanggungjawaban secara pidana," ucapnya.
(muh)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More