Paradigma Komprehensif Penanganan Covid-19
Rabu, 14 Oktober 2020 - 05:45 WIB
Berkaca dari pengalaman selama ini, penanggulangan masalah cenderung dihadapi secara parsial. Ini terbukti menyulitkan. Paradigma harus diubah. Harus ada penanganan pandemik yang terencana dan komprehensif, melibatkan semua pihak dan bersatu dalam menghadapi persoalan. Ada beberapa komponen penting perlu diperbaiki demi penanganan masalah pandemik dan perbaikan fondasi kesehatan kita, yakni pertama, kepemimpinan (leadership) yang merupakan kunci tata kelola. Kepemimpinan ini harus ada mulai dari pusat hingga daerah. Akhir Juli lalu Presiden meminta semua pihak memiliki sense of crisis. Kepekaan terhadap krisis dari seorang pemimpin penting untuk memahami masalah dan mampu membangun strategi jitu untuk menangani pandemi Covid-19 ini.
Kedua, keakuratan data. Data diperlukan karena tanpa evidence based yang kuat, maka kebijakan yang dikeluarkan bisa salah sasaran. Presiden sudah pernah meng-highlight 3T (test, tracing, and treatment). Kalau tes kurang, surveillance lemah (contact tracing), maka data selamanya akan under-reported. Sebagian besar (50%) contact tracing belum didapatkan datanya oleh satuan tugas nasional. Kondisi ini bisa membuat arah kebijakan menjadi salah. Gugus tugas pernah mengeluarkan rekomendasi, boleh berkegiatan bagi pekerja di bawah 45 tahun yang datanya hanya diambil dari laporan kematian di rumah sakit. Ini adalah langkah bias karena tidak menggambarkan populasi dan tren masalah secara keseluruhan. Di luar sana kasus suspect dari penderita yang bergejala ringan atau bahkan tanpa gejala bisa memperluas transmisi kejadian sehingga angka terus bertahan di puncak. Cari, temukan, kemudian karantina untuk isolasi penyebarannya. Jika tidak, kasus tanpa gejala akan terus menularkan membentuk kluster-kluster baru yang tak berkesudahan.
Ketiga, kesiapan fasilitas kesehatan (faskes). Hal ini hanya bisa dilakukan kalau semua aspek ditingkatkan seperti peralatan (jumlah tempat tidur, ventilator, dan alat pelindung diri), pengaturan ruang rawat termasuk sirkulasi udara maupun standar pelayanan. Analisis kesiapsiagaan pandemi yang dilakukan saat wabah flu burung merebak memperlihatkan lemahnya faskes kita jika pandemi tidak terbendung. Dalam hitungan bulan kita bisa kolaps dan tenaga kesehatan (nakes) akan bertumbangan jika penyebaran virus tidak dapat dihentikan. Ancaman penularan dalam ruangan maupun kekhawatiran munculnya kluster baru di rumah sakit atau faskes adalah keniscayaan. Saat ini Indonesia salah satu negara dengan kematian nakes tertinggi di dunia.
Terakhir, kita harus membangun partisipasi masyarakat secara sistematis, masif, dan terorganisasi. Kita memiliki 1.5 juta rukun tetangga (RT) dan 800.000 kader pemberdayaan kesehatan keluarga (PKK) yang terbukti militan dan terstruktur hingga ke daerah perifer , yang bisa menjadi corong promosi kesehatan yang ampuh. Selama ini kita bertumpu pada peran dua jejaring tersebut dalam pelaksanaan program kesehatan di masyarakat seperti posyandu, imunisasi, dan gizi. Tokoh masyarakat dan tokoh agama adalah aktor lain yang bisa banyak berperan.
Ini adalah momentum untuk perbaikan dan mengefektifkan sistem yang sudah berjalan, bukan hanya untuk kondisi saat ini, tapi juga membangun pertahanan di masa depan karena sejarah bisa berulang. Perbaikan tata kelola, kepemimpinan, pencatatan dan pelaporan, kualitas layanan dan efektivitas peran serta masyarakat harus dilakukan.
Tanpa strategi yang jitu, kita akan semakin berlama-lama dengan masalah yang bukan hanya menambah jumlah kasus dan kematian, melahirkan masalah kesehatan masyarakat baru seperti penyakit menular, stunting, dan kematian ibu hamil, tapi juga resesi ekonomi yang semakin dekat. Lalu, kita akan menjadi bangsa pecundang yang menjadi penonton hebatnya bangsa lain dalam menghadapi persoalan dan membangun peradaban.
Kemampuan untuk memilih strategi sembari berharap pada imunisasi buatan adalah langkah kunci yang jadi penentu hasil akhir pertempuran kita melawan pandemi. Bersiap jadi pemenang atau jadi pecundang yang tentu sangat tidak kita harapkan.
Kedua, keakuratan data. Data diperlukan karena tanpa evidence based yang kuat, maka kebijakan yang dikeluarkan bisa salah sasaran. Presiden sudah pernah meng-highlight 3T (test, tracing, and treatment). Kalau tes kurang, surveillance lemah (contact tracing), maka data selamanya akan under-reported. Sebagian besar (50%) contact tracing belum didapatkan datanya oleh satuan tugas nasional. Kondisi ini bisa membuat arah kebijakan menjadi salah. Gugus tugas pernah mengeluarkan rekomendasi, boleh berkegiatan bagi pekerja di bawah 45 tahun yang datanya hanya diambil dari laporan kematian di rumah sakit. Ini adalah langkah bias karena tidak menggambarkan populasi dan tren masalah secara keseluruhan. Di luar sana kasus suspect dari penderita yang bergejala ringan atau bahkan tanpa gejala bisa memperluas transmisi kejadian sehingga angka terus bertahan di puncak. Cari, temukan, kemudian karantina untuk isolasi penyebarannya. Jika tidak, kasus tanpa gejala akan terus menularkan membentuk kluster-kluster baru yang tak berkesudahan.
Ketiga, kesiapan fasilitas kesehatan (faskes). Hal ini hanya bisa dilakukan kalau semua aspek ditingkatkan seperti peralatan (jumlah tempat tidur, ventilator, dan alat pelindung diri), pengaturan ruang rawat termasuk sirkulasi udara maupun standar pelayanan. Analisis kesiapsiagaan pandemi yang dilakukan saat wabah flu burung merebak memperlihatkan lemahnya faskes kita jika pandemi tidak terbendung. Dalam hitungan bulan kita bisa kolaps dan tenaga kesehatan (nakes) akan bertumbangan jika penyebaran virus tidak dapat dihentikan. Ancaman penularan dalam ruangan maupun kekhawatiran munculnya kluster baru di rumah sakit atau faskes adalah keniscayaan. Saat ini Indonesia salah satu negara dengan kematian nakes tertinggi di dunia.
Terakhir, kita harus membangun partisipasi masyarakat secara sistematis, masif, dan terorganisasi. Kita memiliki 1.5 juta rukun tetangga (RT) dan 800.000 kader pemberdayaan kesehatan keluarga (PKK) yang terbukti militan dan terstruktur hingga ke daerah perifer , yang bisa menjadi corong promosi kesehatan yang ampuh. Selama ini kita bertumpu pada peran dua jejaring tersebut dalam pelaksanaan program kesehatan di masyarakat seperti posyandu, imunisasi, dan gizi. Tokoh masyarakat dan tokoh agama adalah aktor lain yang bisa banyak berperan.
Ini adalah momentum untuk perbaikan dan mengefektifkan sistem yang sudah berjalan, bukan hanya untuk kondisi saat ini, tapi juga membangun pertahanan di masa depan karena sejarah bisa berulang. Perbaikan tata kelola, kepemimpinan, pencatatan dan pelaporan, kualitas layanan dan efektivitas peran serta masyarakat harus dilakukan.
Tanpa strategi yang jitu, kita akan semakin berlama-lama dengan masalah yang bukan hanya menambah jumlah kasus dan kematian, melahirkan masalah kesehatan masyarakat baru seperti penyakit menular, stunting, dan kematian ibu hamil, tapi juga resesi ekonomi yang semakin dekat. Lalu, kita akan menjadi bangsa pecundang yang menjadi penonton hebatnya bangsa lain dalam menghadapi persoalan dan membangun peradaban.
Kemampuan untuk memilih strategi sembari berharap pada imunisasi buatan adalah langkah kunci yang jadi penentu hasil akhir pertempuran kita melawan pandemi. Bersiap jadi pemenang atau jadi pecundang yang tentu sangat tidak kita harapkan.
(bmm)
tulis komentar anda