Menjawab Keraguan Kinerja Satgas Impor

Kamis, 29 Agustus 2024 - 14:25 WIB
Bareskrim Polri juga melakukan penindakan terhadap pakaian bekas sebanyak 1.883 bal. Demikian juga Ditjen Bea Cukai melalui Kantor Pelayanan Utama Bea Cukai Tanjung Priok dan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Cikarang yang masing-masing mengamankan 3.044 balpress pakaian bekas serta 695 produk jadi (karpet, handuk, perlak), 332 pak tekstil (nilon, poliester, sintetis, kulitdll), 43 buah kosmetik, 371 alas kaki, 6.578 buah elektronik (laptop, telepon seluler, mesin fotokopi), dan 5.896 buah garmen (berbagai jenis pakaian jadi dan aksesori).

Impor Ilegal

Masuknya barang-barang impor ilegal alias selundupan mengancam ketahanan industri dalam negeri. Selain tidak memenuhi standar yang disyaratkan (Standar Nasional Indonesia—SNI), produk ilegal ini juga dijual dengan harga yang jauh lebih rendah dibandingkan produk dalam negeri karena tidak membayar pajak dan bea.

Peredaran produk impor ilegal akan mengganggu pasar dalam negeri, merugikan keuangan negara, dan melemahkan daya saing produk sejenis buatan dalam negeri. Imbasnya, banyak pabrik (utamanya tekstil) yang terpaksa tutup dan pekerja yang terkena PHK.

Mari kita lihat contoh riil dari dampak impor ilegal. Tahun 2023, misalnya, meskipun terjadi peningkatan Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia versi S&P Global di level 52,5, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) justru mengalami kontraksi. Penyebab utamanya adalah banjirnya produk impor.

Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) menyebut tingkat pesanan yang masuk ke sejumlah pabrik tekstil di Indonesia terus menurun. Akibat lesunya penjualan itu, mereka harus melakukan efisiensi, salah satunya dengan PHK karyawan.

KSPN mencatat sekitar 13.800 buruh tekstil sudah di-PHK selama periode Januari 2024 hingga awal Juni 2024. PHK di Jawa Tengah terjadi lebih masif, misalnya di Grup Sritex. Terdapat tiga perusahaan di bawah grup Sritex yang mem-PHK karyawannya: PT Sinar Pantja Djaja di Semarang, PT Bitratex di Kabupaten Semarang, dan PT Djohartex di Magelang.

Impor ilegal berpotensi memunculkan ketidakadilan dan kecemburuan. Pengusaha yang melakukan impor secara legal belum tentu mendapatkan keuntungan sebagaimana pelaku impor ilegal. Persaingan menjadi tidak sehat. Sementara bagi sebagian masyarakat, harga murah selalu menjadi prioritas ketika memutuskan membeli barang impor. Tak peduli apakah barang tersebut diimpor secara legal atau ilegal.

Tidak dibayarnya bea masuk dan pajak terkait impor membuktikan bahwa impor ilegal sangat merugikan penerimaan negara. Sayangnya, penulis belum menemukan data nilai kerugian akibat impor ilegal tersebut. Sebaliknya, berdasarkan data ABPN Kita (Kemenkeu RI) yang terbit pada Juli 2024, penerimaan negara sehubungan dengan kegiatan impor justru menunjukkan kinerja positif meskipun sempat berfluktuasi dalam empat bulan terakhir.

Realisasi penerimaan PPN Impor terkumpul Rp125,89 triliun atau setara dengan 14,08 persen dari total penerimaan pajak, sedangkan PPh Pasal 22 Impor terkumpul Rp37,24 triliun atau setara dengan 4,17 persen dari total penerimaan pajak. Kinerja PPN Impor tumbuh 1,75 persen (yoy) akibat kinerja sektor perdagangan komoditas utama.

Impor terutama untuk bahan baku seharusnya berdampak pada kinerja ekspor. Ini berarti bahwa barang-barang yang diimpor semestinya dapat diekspor kembali setelah melalui proses pengolahan, di luar kewajiban memenuhi kebutuhan lokal. Jika ini dilakukan, impor bukan saja membantu produksi dalam negeri tetapi juga berkontribusi terhadap neraca perdagangan.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More