Menjawab Keraguan Kinerja Satgas Impor
loading...
A
A
A
Abdul Hofir
Pegawai Kemenkeu RI
SATU bulan lebih Satgas Impor Ilegal dibentuk. Lengkapnya, nama satgas tersebut adalah Satuan Tugas (Satgas) Pengawasan Barang Tertentu yang Diberlakukan Tata Niaga Impor. Dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan RI Nomor 932 Tahun 2024.
Satgas beranggotakan 11 Kementerian dan Lembaga (K/L), yaitu Kementerian Perdagangan, Kejaksaan Agung, Polri, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kemenkumham, BIN (Badan Intelijen Nasional), BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), Bakamla (Badan Keamanan Laut), TNI Angkatan Laut, dan dinas provinsi kabupaten/kota yang membidangi perdagangan.
Tugas satgas adalah melakukan inventarisasi permasalahan pengawasan barang tertentu yang diberlakukan tata niaga impor, penetapan sasaran program dan prosedur kerja, melakukan pemeriksaan perizinan berusaha atau persyaratan barang tertentu yang diberlakukan tata niaga impornya, termasuk Standar Nasional Indonesia atau SNI dan pajak.
Dari sekian banyak hal yang harus dilakukan, fokus satgas adalah pengawasan atau pengendalian terhadap tujuh komoditas yang mendapatkan relaksasi impor melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Permendag Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor antara lain tekstil dan produk tekstil (TPT). Ketujuh komoditas tersebut antara lain pakaian jadi dan aksesoris pakaian jadi, keramik, elektronik, kosmetik, alas kaki, dan barang tekstil jadi lainnya.
Kita tentu ingat kejadian penumpukan 17.304 kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok dan 9.111 kontainer di Pelabuhan Tanjung Perak pada pertengahan Mei 2024. Kontainer yang didominasi oleh komoditas besi baja, tekstil, produk tekstil, produk kimia, produk elektronik, dan komoditas lainnya tersebut belum dapat diajukan dokumen impornya karena belum mendapatkan persetujuan impor (PI) atau pertimbangan teknis (Pertek) dari kementerian terkait.
Seusai dibentuk, satgas segera bergerak. Penindakan terhadap produk impor ilegal dilakukan. Pada Selasa, 6 Agustus 2024, sebanyak 20.000 rol kain gulungan dengan nilai Rp46,19 miliar diamankan. Produk tersebut diduga tidak dilengkapi dokumen perizinan impor seperti Persetujuan Impor (PI), Laporan Surveyor (LS), Kewajiban Registrasi Barang Keamanan, Kesehatan, Keselamatan dan Lingkungan Hidup (K3L), serta dokumen lainnya terkait asal barang.
Bareskrim Polri juga melakukan penindakan terhadap pakaian bekas sebanyak 1.883 bal. Demikian juga Ditjen Bea Cukai melalui Kantor Pelayanan Utama Bea Cukai Tanjung Priok dan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Cikarang yang masing-masing mengamankan 3.044 balpress pakaian bekas serta 695 produk jadi (karpet, handuk, perlak), 332 pak tekstil (nilon, poliester, sintetis, kulitdll), 43 buah kosmetik, 371 alas kaki, 6.578 buah elektronik (laptop, telepon seluler, mesin fotokopi), dan 5.896 buah garmen (berbagai jenis pakaian jadi dan aksesori).
Peredaran produk impor ilegal akan mengganggu pasar dalam negeri, merugikan keuangan negara, dan melemahkan daya saing produk sejenis buatan dalam negeri. Imbasnya, banyak pabrik (utamanya tekstil) yang terpaksa tutup dan pekerja yang terkena PHK.
Mari kita lihat contoh riil dari dampak impor ilegal. Tahun 2023, misalnya, meskipun terjadi peningkatan Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia versi S&P Global di level 52,5, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) justru mengalami kontraksi. Penyebab utamanya adalah banjirnya produk impor.
Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) menyebut tingkat pesanan yang masuk ke sejumlah pabrik tekstil di Indonesia terus menurun. Akibat lesunya penjualan itu, mereka harus melakukan efisiensi, salah satunya dengan PHK karyawan.
KSPN mencatat sekitar 13.800 buruh tekstil sudah di-PHK selama periode Januari 2024 hingga awal Juni 2024. PHK di Jawa Tengah terjadi lebih masif, misalnya di Grup Sritex. Terdapat tiga perusahaan di bawah grup Sritex yang mem-PHK karyawannya: PT Sinar Pantja Djaja di Semarang, PT Bitratex di Kabupaten Semarang, dan PT Djohartex di Magelang.
Impor ilegal berpotensi memunculkan ketidakadilan dan kecemburuan. Pengusaha yang melakukan impor secara legal belum tentu mendapatkan keuntungan sebagaimana pelaku impor ilegal. Persaingan menjadi tidak sehat. Sementara bagi sebagian masyarakat, harga murah selalu menjadi prioritas ketika memutuskan membeli barang impor. Tak peduli apakah barang tersebut diimpor secara legal atau ilegal.
Tidak dibayarnya bea masuk dan pajak terkait impor membuktikan bahwa impor ilegal sangat merugikan penerimaan negara. Sayangnya, penulis belum menemukan data nilai kerugian akibat impor ilegal tersebut. Sebaliknya, berdasarkan data ABPN Kita (Kemenkeu RI) yang terbit pada Juli 2024, penerimaan negara sehubungan dengan kegiatan impor justru menunjukkan kinerja positif meskipun sempat berfluktuasi dalam empat bulan terakhir.
Realisasi penerimaan PPN Impor terkumpul Rp125,89 triliun atau setara dengan 14,08 persen dari total penerimaan pajak, sedangkan PPh Pasal 22 Impor terkumpul Rp37,24 triliun atau setara dengan 4,17 persen dari total penerimaan pajak. Kinerja PPN Impor tumbuh 1,75 persen (yoy) akibat kinerja sektor perdagangan komoditas utama.
Impor terutama untuk bahan baku seharusnya berdampak pada kinerja ekspor. Ini berarti bahwa barang-barang yang diimpor semestinya dapat diekspor kembali setelah melalui proses pengolahan, di luar kewajiban memenuhi kebutuhan lokal. Jika ini dilakukan, impor bukan saja membantu produksi dalam negeri tetapi juga berkontribusi terhadap neraca perdagangan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total nilai ekspor sepanjang semester I tahun 2024 mengalami penurunan sebesar 2,76 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Total ekspor periode Januari hingga Juni 2024 mencapai USD125,09 miliar. Meskipun, secara kumulatif neraca perdagangan semester I tahun 2024 mengalami surplus sebesar USD15,45 miliar. Akan tetapi, surplus itu lebih rendah dari surplus periode yang sama tahun sebelumnya senilai USD19,92 miliar.
Hasil survei Institute for Devolpment of Economic and Finance (Indef) menunjukan 99% masyarakat pengguna media sosial X atau Twitter setuju dengan pemberantasan produk impor ilegal. Meski begitu, sebagian masih meragukan kinerja satgas impor illegal. Ini mengindikasikan bahwa keberadaan satgas sebetulnya sangat diharapkan masyarakat.
Kita mengapresiasi langkah pemerintah yang membentuk satgas yang mengawasi barang impor ilegal. Selain bertujuan meningkatkan kepatuhan terhadap regulasi impor, keberadaan satgas juga turut mengamankan penerimaan negara terutama bea masuk, PPh impor, dan PPN impor.
*Artikel merupakan pendapat pribadi penulis, bukan institusi tempat penulis bekerja
Pegawai Kemenkeu RI
SATU bulan lebih Satgas Impor Ilegal dibentuk. Lengkapnya, nama satgas tersebut adalah Satuan Tugas (Satgas) Pengawasan Barang Tertentu yang Diberlakukan Tata Niaga Impor. Dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan RI Nomor 932 Tahun 2024.
Satgas beranggotakan 11 Kementerian dan Lembaga (K/L), yaitu Kementerian Perdagangan, Kejaksaan Agung, Polri, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kemenkumham, BIN (Badan Intelijen Nasional), BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), Bakamla (Badan Keamanan Laut), TNI Angkatan Laut, dan dinas provinsi kabupaten/kota yang membidangi perdagangan.
Tugas satgas adalah melakukan inventarisasi permasalahan pengawasan barang tertentu yang diberlakukan tata niaga impor, penetapan sasaran program dan prosedur kerja, melakukan pemeriksaan perizinan berusaha atau persyaratan barang tertentu yang diberlakukan tata niaga impornya, termasuk Standar Nasional Indonesia atau SNI dan pajak.
Dari sekian banyak hal yang harus dilakukan, fokus satgas adalah pengawasan atau pengendalian terhadap tujuh komoditas yang mendapatkan relaksasi impor melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Permendag Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor antara lain tekstil dan produk tekstil (TPT). Ketujuh komoditas tersebut antara lain pakaian jadi dan aksesoris pakaian jadi, keramik, elektronik, kosmetik, alas kaki, dan barang tekstil jadi lainnya.
Kita tentu ingat kejadian penumpukan 17.304 kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok dan 9.111 kontainer di Pelabuhan Tanjung Perak pada pertengahan Mei 2024. Kontainer yang didominasi oleh komoditas besi baja, tekstil, produk tekstil, produk kimia, produk elektronik, dan komoditas lainnya tersebut belum dapat diajukan dokumen impornya karena belum mendapatkan persetujuan impor (PI) atau pertimbangan teknis (Pertek) dari kementerian terkait.
Seusai dibentuk, satgas segera bergerak. Penindakan terhadap produk impor ilegal dilakukan. Pada Selasa, 6 Agustus 2024, sebanyak 20.000 rol kain gulungan dengan nilai Rp46,19 miliar diamankan. Produk tersebut diduga tidak dilengkapi dokumen perizinan impor seperti Persetujuan Impor (PI), Laporan Surveyor (LS), Kewajiban Registrasi Barang Keamanan, Kesehatan, Keselamatan dan Lingkungan Hidup (K3L), serta dokumen lainnya terkait asal barang.
Bareskrim Polri juga melakukan penindakan terhadap pakaian bekas sebanyak 1.883 bal. Demikian juga Ditjen Bea Cukai melalui Kantor Pelayanan Utama Bea Cukai Tanjung Priok dan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Cikarang yang masing-masing mengamankan 3.044 balpress pakaian bekas serta 695 produk jadi (karpet, handuk, perlak), 332 pak tekstil (nilon, poliester, sintetis, kulitdll), 43 buah kosmetik, 371 alas kaki, 6.578 buah elektronik (laptop, telepon seluler, mesin fotokopi), dan 5.896 buah garmen (berbagai jenis pakaian jadi dan aksesori).
Impor Ilegal
Masuknya barang-barang impor ilegal alias selundupan mengancam ketahanan industri dalam negeri. Selain tidak memenuhi standar yang disyaratkan (Standar Nasional Indonesia—SNI), produk ilegal ini juga dijual dengan harga yang jauh lebih rendah dibandingkan produk dalam negeri karena tidak membayar pajak dan bea.Peredaran produk impor ilegal akan mengganggu pasar dalam negeri, merugikan keuangan negara, dan melemahkan daya saing produk sejenis buatan dalam negeri. Imbasnya, banyak pabrik (utamanya tekstil) yang terpaksa tutup dan pekerja yang terkena PHK.
Mari kita lihat contoh riil dari dampak impor ilegal. Tahun 2023, misalnya, meskipun terjadi peningkatan Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia versi S&P Global di level 52,5, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) justru mengalami kontraksi. Penyebab utamanya adalah banjirnya produk impor.
Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) menyebut tingkat pesanan yang masuk ke sejumlah pabrik tekstil di Indonesia terus menurun. Akibat lesunya penjualan itu, mereka harus melakukan efisiensi, salah satunya dengan PHK karyawan.
KSPN mencatat sekitar 13.800 buruh tekstil sudah di-PHK selama periode Januari 2024 hingga awal Juni 2024. PHK di Jawa Tengah terjadi lebih masif, misalnya di Grup Sritex. Terdapat tiga perusahaan di bawah grup Sritex yang mem-PHK karyawannya: PT Sinar Pantja Djaja di Semarang, PT Bitratex di Kabupaten Semarang, dan PT Djohartex di Magelang.
Impor ilegal berpotensi memunculkan ketidakadilan dan kecemburuan. Pengusaha yang melakukan impor secara legal belum tentu mendapatkan keuntungan sebagaimana pelaku impor ilegal. Persaingan menjadi tidak sehat. Sementara bagi sebagian masyarakat, harga murah selalu menjadi prioritas ketika memutuskan membeli barang impor. Tak peduli apakah barang tersebut diimpor secara legal atau ilegal.
Tidak dibayarnya bea masuk dan pajak terkait impor membuktikan bahwa impor ilegal sangat merugikan penerimaan negara. Sayangnya, penulis belum menemukan data nilai kerugian akibat impor ilegal tersebut. Sebaliknya, berdasarkan data ABPN Kita (Kemenkeu RI) yang terbit pada Juli 2024, penerimaan negara sehubungan dengan kegiatan impor justru menunjukkan kinerja positif meskipun sempat berfluktuasi dalam empat bulan terakhir.
Realisasi penerimaan PPN Impor terkumpul Rp125,89 triliun atau setara dengan 14,08 persen dari total penerimaan pajak, sedangkan PPh Pasal 22 Impor terkumpul Rp37,24 triliun atau setara dengan 4,17 persen dari total penerimaan pajak. Kinerja PPN Impor tumbuh 1,75 persen (yoy) akibat kinerja sektor perdagangan komoditas utama.
Impor terutama untuk bahan baku seharusnya berdampak pada kinerja ekspor. Ini berarti bahwa barang-barang yang diimpor semestinya dapat diekspor kembali setelah melalui proses pengolahan, di luar kewajiban memenuhi kebutuhan lokal. Jika ini dilakukan, impor bukan saja membantu produksi dalam negeri tetapi juga berkontribusi terhadap neraca perdagangan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total nilai ekspor sepanjang semester I tahun 2024 mengalami penurunan sebesar 2,76 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Total ekspor periode Januari hingga Juni 2024 mencapai USD125,09 miliar. Meskipun, secara kumulatif neraca perdagangan semester I tahun 2024 mengalami surplus sebesar USD15,45 miliar. Akan tetapi, surplus itu lebih rendah dari surplus periode yang sama tahun sebelumnya senilai USD19,92 miliar.
Hasil survei Institute for Devolpment of Economic and Finance (Indef) menunjukan 99% masyarakat pengguna media sosial X atau Twitter setuju dengan pemberantasan produk impor ilegal. Meski begitu, sebagian masih meragukan kinerja satgas impor illegal. Ini mengindikasikan bahwa keberadaan satgas sebetulnya sangat diharapkan masyarakat.
Kita mengapresiasi langkah pemerintah yang membentuk satgas yang mengawasi barang impor ilegal. Selain bertujuan meningkatkan kepatuhan terhadap regulasi impor, keberadaan satgas juga turut mengamankan penerimaan negara terutama bea masuk, PPh impor, dan PPN impor.
*Artikel merupakan pendapat pribadi penulis, bukan institusi tempat penulis bekerja
(zik)