Mewaspadai Gerak-gerik AS di ASEAN Vis a Vis China
Selasa, 06 Agustus 2024 - 05:09 WIB
Jawabannya adalah kesadaran negara-negara ASEAN di tengah rivalitas adidaya untuk tetap memegang prinsip berdirinya ASEAN dan memastikan meminimalisir campur tangan luar dengan segala bentuk manifestasinya. Kondisi juga tergantung negara-negara ASEAN juga tetap kokoh menggunakan TAC sebagai pedoman, hingga berupaya semaksimal mungkin menjauhkan dari campur tangan eksternal, dan menolak penggunaan ancaman dan kekerasan.
baca juga: Konflik Laut China Selatan Memanas, Kapal China dan Filipina Bertabrakan
Harus diakui, AS dan dunia internasional memiliki kepentingan terhadap LCS mengingat begitu vitalnya perairan tersebut bagi jalur perdagangan internasional dan transportasi energi. Seperti pernah diungkap data CSIS dan World Maritim Council, sekitar 25 persen lalu lintas pelayaran dunia melewati kawasan ini dengan valuasi barang mencapai USD5,3 triliun. Demi menjamin kepentingan ekonomi dan mewujudkan kebebasan navigasi, AS dan beberapa negara sekutu mengirim kapal perang untuk melakukan patroli di LCS.
Persoalannya, dalam konflik tersebut negara di ASEAN telah membuka pintu lebar kepada AS dan sekutunya untuk terlibat lebih jauh dalam konflik vis a vis China, seperti ditunjukkan Filipina. Sejatinya, langkah demikian telah menabrak prinsip maupun pedoman yang menjadi pegangan ASEAN. Entah sadar atau tidak, Pinoy menyeret ‘tangan hitam’ -seperti diistilahkan Beijing- masuk ke konflik di wilayah ASEAN.
Risiko tertinggi yang menjadikan ASEAN sebagai teater konflik bisa dihindari bila negara-negara ASEAN tetap mengedepankan dialog dengan pihak-pihak berkepentingan secara terus menerus. Prinsip utama AOIP -centrality, inclusivity, dan complementarity- harus digaungkan dengan lewat dialog dan kerja sama dengan semua negara tanpa terkecuali, termasuk China maupun AS.
Tanpa kesadaran tersebut, bukan tidak mungkin AS lambat laun akan semakin menancapkan kukunya di ASEAN, bukan hanya di Filipina, tapi ke Singapura atau negara-negara di kawasan lainnya yang berbenturan dengan China di LCS. Pergeseran militer AS untuk secara masif ke ASEAN tinggal selangkah lagi karena mereka sudah menempatkan pasukannya di pangkalan yang bertempat di Darwin dan Papua Nugini.
Dinamika tersebut sudah pasti akan memancing China memperkokoh kehadiran militernya di ASEAN dengan menumpuk lebih banyak armada kapal perang maupun pesawat tempur di pulau buatannya, hingga kawasan damai ini menjadi medan konflik sesungguhnya. Di sisi lain, langkah terlalu jauh yang ditunjukkan Filipina atau negara lain untuk melibatkan AS juga bisa mengancam soliditas internal ASEAN. Karena bagaimana pun, sejumlah negara di ASEAN seperti Laos, Kamboja, dan Myanmar memiliki kedekatan dengan Beijing.
baca juga: Aktivitas China di Laut China Selatan Picu Kekhawatiran Krisis Lingkungan
Tak kalah pentingnya, negara-negara ASEAN juga harus tetap berkomitmen menjaga ASEAN sebagai kawasan damai, bebas, dan netral dari senjata nuklir. Rasa was-was akan dilanggarnya kesepakatan itu muncul seiring masuknya kapal induk bertenaga nuklir milik AS, USS Carl Vinson, di Singapura pada akhir 2023 lalu. Dalam konteks geomiliter, tak bisa dimungkiri kehadiran rombongan besar kekuatan AS itu untuk menggertak China dari dalam rumah ASEAN.
Sekali lagi, bagaimana masa depan ASEAN dalam menyikapi dinamika tarik-menarik kekuatan dunia di wilayahnya sangat bergantung pada komitmen negara-negara ASEAN untuk menjaga komunitasnya sebagai wilayah paling stabil di dunia. Bukan hanya untuk ASEAN, tapi juga Indo-Pasifik dan dunia.
baca juga: Konflik Laut China Selatan Memanas, Kapal China dan Filipina Bertabrakan
Harus diakui, AS dan dunia internasional memiliki kepentingan terhadap LCS mengingat begitu vitalnya perairan tersebut bagi jalur perdagangan internasional dan transportasi energi. Seperti pernah diungkap data CSIS dan World Maritim Council, sekitar 25 persen lalu lintas pelayaran dunia melewati kawasan ini dengan valuasi barang mencapai USD5,3 triliun. Demi menjamin kepentingan ekonomi dan mewujudkan kebebasan navigasi, AS dan beberapa negara sekutu mengirim kapal perang untuk melakukan patroli di LCS.
Persoalannya, dalam konflik tersebut negara di ASEAN telah membuka pintu lebar kepada AS dan sekutunya untuk terlibat lebih jauh dalam konflik vis a vis China, seperti ditunjukkan Filipina. Sejatinya, langkah demikian telah menabrak prinsip maupun pedoman yang menjadi pegangan ASEAN. Entah sadar atau tidak, Pinoy menyeret ‘tangan hitam’ -seperti diistilahkan Beijing- masuk ke konflik di wilayah ASEAN.
Risiko tertinggi yang menjadikan ASEAN sebagai teater konflik bisa dihindari bila negara-negara ASEAN tetap mengedepankan dialog dengan pihak-pihak berkepentingan secara terus menerus. Prinsip utama AOIP -centrality, inclusivity, dan complementarity- harus digaungkan dengan lewat dialog dan kerja sama dengan semua negara tanpa terkecuali, termasuk China maupun AS.
Tanpa kesadaran tersebut, bukan tidak mungkin AS lambat laun akan semakin menancapkan kukunya di ASEAN, bukan hanya di Filipina, tapi ke Singapura atau negara-negara di kawasan lainnya yang berbenturan dengan China di LCS. Pergeseran militer AS untuk secara masif ke ASEAN tinggal selangkah lagi karena mereka sudah menempatkan pasukannya di pangkalan yang bertempat di Darwin dan Papua Nugini.
Dinamika tersebut sudah pasti akan memancing China memperkokoh kehadiran militernya di ASEAN dengan menumpuk lebih banyak armada kapal perang maupun pesawat tempur di pulau buatannya, hingga kawasan damai ini menjadi medan konflik sesungguhnya. Di sisi lain, langkah terlalu jauh yang ditunjukkan Filipina atau negara lain untuk melibatkan AS juga bisa mengancam soliditas internal ASEAN. Karena bagaimana pun, sejumlah negara di ASEAN seperti Laos, Kamboja, dan Myanmar memiliki kedekatan dengan Beijing.
baca juga: Aktivitas China di Laut China Selatan Picu Kekhawatiran Krisis Lingkungan
Tak kalah pentingnya, negara-negara ASEAN juga harus tetap berkomitmen menjaga ASEAN sebagai kawasan damai, bebas, dan netral dari senjata nuklir. Rasa was-was akan dilanggarnya kesepakatan itu muncul seiring masuknya kapal induk bertenaga nuklir milik AS, USS Carl Vinson, di Singapura pada akhir 2023 lalu. Dalam konteks geomiliter, tak bisa dimungkiri kehadiran rombongan besar kekuatan AS itu untuk menggertak China dari dalam rumah ASEAN.
Sekali lagi, bagaimana masa depan ASEAN dalam menyikapi dinamika tarik-menarik kekuatan dunia di wilayahnya sangat bergantung pada komitmen negara-negara ASEAN untuk menjaga komunitasnya sebagai wilayah paling stabil di dunia. Bukan hanya untuk ASEAN, tapi juga Indo-Pasifik dan dunia.
Lihat Juga :
tulis komentar anda