Kunjungan Prabowo ke China, Bara Maritim-SETARA Institute: Misintrepretasi Potensi Kerjasama Kemaritiman
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke China untuk bertemu dengan Presiden Xi Jinping setelah pelantikannya sebagai Presiden pada 20 Oktober 2024 menandai dimulainya hubungan mitra strategis yang lebih jelas dan eksplisit.
Dalam penandatanganan nota kesepahaman meliputi pengembangan bersama di sektor perikanan, minyak, dan gas di wilayah maritim yang merupakan klaim tumpang tindih antara kedua negara.
Selain itu, terdapat kesepakatan mengenai keselamatan maritim serta pendalaman kerja sama di bidang ekonomi biru, sumber daya air dan mineral, serta mineral hijau.
Merisa Dwi Juanita, Founder Bara Maritim & Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute
menilai langkah ini sebagai kebijakan yang keliru dan berisiko serius bagi Indonesia.
Indonesia tidak pernah mengakui klaim sepihak China atas peta 10 garis putus-putus (ten dash line) di Laut Cina Selatan yang diterbitkan pada 28 Agustus 2023 oleh Kementerian Sumber Daya Alam China.
Klaim ini mencakup wilayah luas di Laut Cina Selatan, termasuk pulau, terumbu karang, dan zona maritim negara lain, serta mencaplok wilayah perairan Indonesia yang sah di sekitar Pulau Natuna.
Wilayah China jauh melampaui 200 nm ZEE dan 350 nm landas kontinen sehingga jelas tidak ada tumpang tindih klaim wilayah.
Oleh karena itu, memulai kerja sama di wilayah yang menjadi klaim tumpang tindih tidak memiliki dasar yang kuat, terutama mengingat protes terhadap klaim China yang konsisten dilakukan sejak tahun 1995 oleh Menlu Ali Alatas hingga Menlu Retno Marsudi pada periode 2019-2024.
Sehingga pernyataan bersama terkait klaim tumpang tindih pada wilayah maritim kedua negara merupakan inkonsistensi yang serius.
Klaim China melalui ten dash line (sebelumnya nine dash line) telah terbantahkan oleh Arbitrase Internasional pada tahun 2016 sehingga tidak memiliki basis hukum yang sah.
Dalam penandatanganan nota kesepahaman meliputi pengembangan bersama di sektor perikanan, minyak, dan gas di wilayah maritim yang merupakan klaim tumpang tindih antara kedua negara.
Selain itu, terdapat kesepakatan mengenai keselamatan maritim serta pendalaman kerja sama di bidang ekonomi biru, sumber daya air dan mineral, serta mineral hijau.
Merisa Dwi Juanita, Founder Bara Maritim & Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute
menilai langkah ini sebagai kebijakan yang keliru dan berisiko serius bagi Indonesia.
Beberapa Alasan yang Mendasari:
1. Penolakan Klaim Sepihak China
Indonesia tidak pernah mengakui klaim sepihak China atas peta 10 garis putus-putus (ten dash line) di Laut Cina Selatan yang diterbitkan pada 28 Agustus 2023 oleh Kementerian Sumber Daya Alam China.
Klaim ini mencakup wilayah luas di Laut Cina Selatan, termasuk pulau, terumbu karang, dan zona maritim negara lain, serta mencaplok wilayah perairan Indonesia yang sah di sekitar Pulau Natuna.
2. Kepatuhan terhadap UNCLOS 1982
Indonesia dan China adalah negara yang telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Klaim ruang laut Indonesia saat ini sepenuhnya didasarkan pada ketentuan UNCLOS 1982.Wilayah China jauh melampaui 200 nm ZEE dan 350 nm landas kontinen sehingga jelas tidak ada tumpang tindih klaim wilayah.
Oleh karena itu, memulai kerja sama di wilayah yang menjadi klaim tumpang tindih tidak memiliki dasar yang kuat, terutama mengingat protes terhadap klaim China yang konsisten dilakukan sejak tahun 1995 oleh Menlu Ali Alatas hingga Menlu Retno Marsudi pada periode 2019-2024.
Sehingga pernyataan bersama terkait klaim tumpang tindih pada wilayah maritim kedua negara merupakan inkonsistensi yang serius.
3. Putusan Arbitrase Internasional 2016
Klaim China melalui ten dash line (sebelumnya nine dash line) telah terbantahkan oleh Arbitrase Internasional pada tahun 2016 sehingga tidak memiliki basis hukum yang sah.