Mewaspadai Gerak-gerik AS di ASEAN Vis a Vis China
Selasa, 06 Agustus 2024 - 05:09 WIB
Sikap keras yang disampaikan Rusia dan China merespons langkah AS dan sekutunya di Indo-Pasifik , LCS, dan khususnya di lingkungan ASEAN, tentu wajar mengingat mereka adalah seteru blok barat. Kehadiran geng AS di kawasan tersebut serta-merta menjadi ancaman terhadap pergerakan dan pengaruh mereka, terutama China yang secara agresif mencaplok hampir seluruh LCS dan menafikkan kedaulatan sejumlah negara ASEAN yang secara absah dilegitimasi hukum internasional.
Sedangkan bagi ASEAN, konfirmasi dinamika yang berkembang tersebut tentu harus dikembalikan pada perspektif negara-negara dalam komunitas ini sendiri. Pertanyaannya harus diverifikasi, yakni secara faktual sejauh mana gerak-gerik dilakukan AS dan geng NATO di ASEAN? Dan bagaimana mereka harus mengambil sikap atas situasi yang berkembang, hingga tidak terjebak dalam alur permainan blok barat tersebut?
Arena Konflik Super Power
Satu dekade terakhir, pertarungan geopolitik dan geomiliter dunia tidak melulu terpusat di kawasan Timur Tengah. Indo-Pasifik secara perlahan telah menjadi arena pertarungan kekuatan utama dunia. Kondisi demikian tentu berisiko bagi negara-negara di kawasan, termasuk yang berada di ASEAN dan Indonesia di dalamnya.
Pertarungan pun tidak lagi bersifat tradisional seperti ditunjukkan konflik China vs Taiwan, Korea Selatan vs Korea Utara, India vs China, atau India vs Pakistan. Perebutan LCS telah menyeret banyak negara di kawasan, dan mengundang kekuatan besar global untuk turut mengintervensi, dengan berbagai kepentingan di dalamnya. Semua dinamika konflik di dalamnya selalu berujung pada pertarungan antara China vis a vis AS beserta sekutunya.
Dalam workshop bertema 'Assessing Indonesia-Korea Special Strategic Partnership Towards Its 50 Years Diplomatic Relation' (26/8/2022), Professor Riset Center for ASEAN - Indian Studies, Institute of Foreign Affairs and National Security (IFANS), Cho Wondeuk, menilai tensi konflik di Indo-Pasifik masuk kategori besar, apalagi turut menyertakan kompetisi antara AS dan China.
Menurut dia, untuk merespons dinamika tersebut negara-negara di dunia, termasuk ASEAN, semestinya membangun hukum konstruktif dan bekerja sama mencari solusi secara inklusif dan saling terhubung. Namun kondisi agak sulit karena pertarungan yang terjadi dibarengi penurunan multilateralisme di dunia, dan di sisi lain minilateralisme justru meningkat.
Sebagai contoh dia menunjuk pembentukan kerja sama terbatas antara India, Jepang, AS dalam QUAD, serta pakta pertahanan AS, Inggris dan Australia dalam AUKUS. Di lain pihak China membangun Global Security Initiative, Belt Road Initiative dan ekspansi potensial Shanghai Cooperation Organisation (SCO). Segala dinamika yang mengemuka berpotensi melemahkan stabilitas Indo-Pasifik, juga ASEAN. Sebagai solusi, dia berharap negara-negara middle power seperti Korea Selatan, Australia dan Indonesia dapat merangkul negara-negara kecil untuk melakukan kerja sama kolektif di Indo-Pasifik.
Survei ISEAS Yusof Ishak Institute pada 2022 sudah menemukan 61,5% responden mengkhawatirkan ASEAN menjadi arena kompetisi dari kekuatan besar dan negara-negara anggotanya dapat menjadi pion perang proxy kekuatan tersebut. Direktur Pusat Strategi Kebijakan Asia Pasifik dan Afrika Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri (BSKLN) Kemlu RI, Muhammad Takdir, yang memaparkan riset tersebut pun mengakui upaya meredam pertarungan konflik di ASEAN semakin sulit dengan hadirnya konflik AS dan China.
baca juga: Mengulik Sejarah Konflik Laut China Selatan yang Panas
Sedangkan bagi ASEAN, konfirmasi dinamika yang berkembang tersebut tentu harus dikembalikan pada perspektif negara-negara dalam komunitas ini sendiri. Pertanyaannya harus diverifikasi, yakni secara faktual sejauh mana gerak-gerik dilakukan AS dan geng NATO di ASEAN? Dan bagaimana mereka harus mengambil sikap atas situasi yang berkembang, hingga tidak terjebak dalam alur permainan blok barat tersebut?
Arena Konflik Super Power
Satu dekade terakhir, pertarungan geopolitik dan geomiliter dunia tidak melulu terpusat di kawasan Timur Tengah. Indo-Pasifik secara perlahan telah menjadi arena pertarungan kekuatan utama dunia. Kondisi demikian tentu berisiko bagi negara-negara di kawasan, termasuk yang berada di ASEAN dan Indonesia di dalamnya.
Pertarungan pun tidak lagi bersifat tradisional seperti ditunjukkan konflik China vs Taiwan, Korea Selatan vs Korea Utara, India vs China, atau India vs Pakistan. Perebutan LCS telah menyeret banyak negara di kawasan, dan mengundang kekuatan besar global untuk turut mengintervensi, dengan berbagai kepentingan di dalamnya. Semua dinamika konflik di dalamnya selalu berujung pada pertarungan antara China vis a vis AS beserta sekutunya.
Dalam workshop bertema 'Assessing Indonesia-Korea Special Strategic Partnership Towards Its 50 Years Diplomatic Relation' (26/8/2022), Professor Riset Center for ASEAN - Indian Studies, Institute of Foreign Affairs and National Security (IFANS), Cho Wondeuk, menilai tensi konflik di Indo-Pasifik masuk kategori besar, apalagi turut menyertakan kompetisi antara AS dan China.
Menurut dia, untuk merespons dinamika tersebut negara-negara di dunia, termasuk ASEAN, semestinya membangun hukum konstruktif dan bekerja sama mencari solusi secara inklusif dan saling terhubung. Namun kondisi agak sulit karena pertarungan yang terjadi dibarengi penurunan multilateralisme di dunia, dan di sisi lain minilateralisme justru meningkat.
Sebagai contoh dia menunjuk pembentukan kerja sama terbatas antara India, Jepang, AS dalam QUAD, serta pakta pertahanan AS, Inggris dan Australia dalam AUKUS. Di lain pihak China membangun Global Security Initiative, Belt Road Initiative dan ekspansi potensial Shanghai Cooperation Organisation (SCO). Segala dinamika yang mengemuka berpotensi melemahkan stabilitas Indo-Pasifik, juga ASEAN. Sebagai solusi, dia berharap negara-negara middle power seperti Korea Selatan, Australia dan Indonesia dapat merangkul negara-negara kecil untuk melakukan kerja sama kolektif di Indo-Pasifik.
Survei ISEAS Yusof Ishak Institute pada 2022 sudah menemukan 61,5% responden mengkhawatirkan ASEAN menjadi arena kompetisi dari kekuatan besar dan negara-negara anggotanya dapat menjadi pion perang proxy kekuatan tersebut. Direktur Pusat Strategi Kebijakan Asia Pasifik dan Afrika Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri (BSKLN) Kemlu RI, Muhammad Takdir, yang memaparkan riset tersebut pun mengakui upaya meredam pertarungan konflik di ASEAN semakin sulit dengan hadirnya konflik AS dan China.
baca juga: Mengulik Sejarah Konflik Laut China Selatan yang Panas
Lihat Juga :
tulis komentar anda