Mewaspadai Gerak-gerik AS di ASEAN Vis a Vis China

Selasa, 06 Agustus 2024 - 05:09 WIB
loading...
Mewaspadai Gerak-gerik...
Ilustrasi: Masyudi/SINDOnews
A A A
ANCAMAN kawasan Indo-Pasifik selalu terfokus pada China sebagai dampak klaimnya atas 3,5 juta KM persegi atau 90% luas Laut China Selatan (LCS). Pertanyaannya, apakah benar negeri Tirai Bambu ini sebagai satu-satu kekuatan yang bisa mendatangkan ancaman bagi negara-negara di kawasan, terutama untuk negara-negara di ASEAN ?

baca juga: China Terus Tambah Kapal Monster di Laut China Selatan

Pertanyaan ini relevan karena diskusi yang mengemuka selalu menyorot agresivitas China. Sedangkan manuver Amerika Serikat (AS) dan NATO lebih diposisikan sebagai kekuatan pengimbang. Padahal pasca-Perang Dunia II, kekuatan ini hampir tidak pernah absen dalam banyak konflik di berbagai belahan dunia. Termasuk, dalam perang termutakhir di Ukraina yang dipicu pertarungan geopolitik antara NATO versus Rusia.

Peringatan akan ancaman kehadiran AS dan NATO telah lantang disampaikan Presiden Rusia Vladimir Putin dalam konferensi pers setelah pertemuan dengan Presiden Vietnam To Lam di Hanoi (20/6/2024). Bahkan menurut Putin, manuver yang dilakukan Pam Sam dan gengnya terbilang serius.

‘’Kita melihat apa yang terjadi di Asia, bukan? Sistem blok sedang disusun. NATO sudah bergerak ke sana seolah-olah ke tempat tinggal permanen. Ini, tentu saja, menimbulkan ancaman bagi semua negara di kawasan itu, termasuk Federasi Rusia. Kita berkewajiban menanggapi ini dan kita akan melakukannya.”

Alarm senada telah dibunyikan Menlu Rusia Sergey Lavrov di depan pemimpin ASEAN yang menghadiri KTT ASEAN-Asia Timur di Jakarta beberapa waktu lalu. Lavrov yang mewakili Putin mengingatkan bahwa NATO akan menimbulkan ancaman serius bagi kawasan Indo-Pasifik. Karena itu dia meminta negara-negara di kawasan itu, termasuk Indonesia, tetap berhati-hati.

Lavrov lebih detail memaparkan, blok militer AS telah mengerahkan kekuatan dan infrastruktur di kawasan. Selain NATO, pakta pertahanan AS, Inggris dan Australia (AUKUS) yang dibentuk pada 2021 meningkatkan status ancaman itu. Selain ketiga negara, AUKUS juga mengincar Jepang dan Kanada untuk menjadi anggota.

Dari China, Jubir Kemlu Wang Wenbin menyebut AUKUS sebagai upaya membangun NATO versi Asia-Pasifik. Dalam perspektif Beijing, langkah AS dkk sebagai implementasi mentalitas Perang Dingin yang memotivasi perlombaan senjata, merusak rezim nonproliferasi nuklir internasional, serta merusak stabilitas dan perdamaian regional. Secara tegas Beijing menilai AS telah mencampuri urusan Asia, dan mencapnya sebagai "monster mengerikan" yang telah mengulurkan "tangan hitam" ke wilayah tersebut.

baca juga: Sejarah Konflik China-Filipina dalam Sengketa Laut China Selatan

Sikap keras yang disampaikan Rusia dan China merespons langkah AS dan sekutunya di Indo-Pasifik , LCS, dan khususnya di lingkungan ASEAN, tentu wajar mengingat mereka adalah seteru blok barat. Kehadiran geng AS di kawasan tersebut serta-merta menjadi ancaman terhadap pergerakan dan pengaruh mereka, terutama China yang secara agresif mencaplok hampir seluruh LCS dan menafikkan kedaulatan sejumlah negara ASEAN yang secara absah dilegitimasi hukum internasional.

Sedangkan bagi ASEAN, konfirmasi dinamika yang berkembang tersebut tentu harus dikembalikan pada perspektif negara-negara dalam komunitas ini sendiri. Pertanyaannya harus diverifikasi, yakni secara faktual sejauh mana gerak-gerik dilakukan AS dan geng NATO di ASEAN? Dan bagaimana mereka harus mengambil sikap atas situasi yang berkembang, hingga tidak terjebak dalam alur permainan blok barat tersebut?

Arena Konflik Super Power

Satu dekade terakhir, pertarungan geopolitik dan geomiliter dunia tidak melulu terpusat di kawasan Timur Tengah. Indo-Pasifik secara perlahan telah menjadi arena pertarungan kekuatan utama dunia. Kondisi demikian tentu berisiko bagi negara-negara di kawasan, termasuk yang berada di ASEAN dan Indonesia di dalamnya.

Pertarungan pun tidak lagi bersifat tradisional seperti ditunjukkan konflik China vs Taiwan, Korea Selatan vs Korea Utara, India vs China, atau India vs Pakistan. Perebutan LCS telah menyeret banyak negara di kawasan, dan mengundang kekuatan besar global untuk turut mengintervensi, dengan berbagai kepentingan di dalamnya. Semua dinamika konflik di dalamnya selalu berujung pada pertarungan antara China vis a vis AS beserta sekutunya.

Dalam workshop bertema 'Assessing Indonesia-Korea Special Strategic Partnership Towards Its 50 Years Diplomatic Relation' (26/8/2022), Professor Riset Center for ASEAN - Indian Studies, Institute of Foreign Affairs and National Security (IFANS), Cho Wondeuk, menilai tensi konflik di Indo-Pasifik masuk kategori besar, apalagi turut menyertakan kompetisi antara AS dan China.

Menurut dia, untuk merespons dinamika tersebut negara-negara di dunia, termasuk ASEAN, semestinya membangun hukum konstruktif dan bekerja sama mencari solusi secara inklusif dan saling terhubung. Namun kondisi agak sulit karena pertarungan yang terjadi dibarengi penurunan multilateralisme di dunia, dan di sisi lain minilateralisme justru meningkat.

Sebagai contoh dia menunjuk pembentukan kerja sama terbatas antara India, Jepang, AS dalam QUAD, serta pakta pertahanan AS, Inggris dan Australia dalam AUKUS. Di lain pihak China membangun Global Security Initiative, Belt Road Initiative dan ekspansi potensial Shanghai Cooperation Organisation (SCO). Segala dinamika yang mengemuka berpotensi melemahkan stabilitas Indo-Pasifik, juga ASEAN. Sebagai solusi, dia berharap negara-negara middle power seperti Korea Selatan, Australia dan Indonesia dapat merangkul negara-negara kecil untuk melakukan kerja sama kolektif di Indo-Pasifik.

Survei ISEAS Yusof Ishak Institute pada 2022 sudah menemukan 61,5% responden mengkhawatirkan ASEAN menjadi arena kompetisi dari kekuatan besar dan negara-negara anggotanya dapat menjadi pion perang proxy kekuatan tersebut. Direktur Pusat Strategi Kebijakan Asia Pasifik dan Afrika Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri (BSKLN) Kemlu RI, Muhammad Takdir, yang memaparkan riset tersebut pun mengakui upaya meredam pertarungan konflik di ASEAN semakin sulit dengan hadirnya konflik AS dan China.

baca juga: Mengulik Sejarah Konflik Laut China Selatan yang Panas

Dalam pandangannya, jika ASEAN harus menunjukkan pilihannya sendiri, maka harus mencari pihak ketiga yang mampu memperluas ruang strategis dan opsinya. Pihak ketika dimaksud adalah negara yang dapat mengimbangi persaingan sengit antara AS dan China, di antaranya adalah Korea Selatan, Jepang, India, dan Uni Eropa. Menurut Takdir, sangat menarik jika ketiga negara itu bekerja sama untuk mengimbangi persaingan antara AS dan China.

Sebenarnya, untuk menghadapi segala dinamika geopolitik yang terjadi di wilayahnya, ASEAN telah memiliki prinsip yang sudah ditanamkan saat berdirinya. Prinsip tersebut termuat dalam deklarasi yang ditandatangani ketua delegasi lima negara pendiri, yaitu Menlu Indonesia Adam Malik, Wakil PM Malaysia Tun Abdul Razak, Menlu Filipina Narcisco Ramos, Menlu Singapura S Rajaratnam, dan Menlu Thailand Thanat Khoman.

Prinsip yang dibenamkan memberi tanggung jawab kepada negara-negara anggota ASEAN untuk memperkuat stabilitas ekonomi dan sosial, menjamin adanya perdamaian dan laju pembangunan nasional serta memastikan adanya stabilitas keamanan dari campur tangan luar dengan segala bentuk manifestasinya.

ASEAN pun telah memiliki Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC) yang menjadi pegangan hubungan antar-negara ASEAN. Prinsip dimaksud secara garis besar meliputi saling menghormati kedaulatan, menjauhkan dari campur tangan eksternal, tidak saling mencampuri urusan internal negara anggota, menyelesaikan perselisihan secara damai, serta menolak penggunaan ancaman dan kekerasan.

Selain menjaga stabilitas kawasan, ASEAN juga berkepentingan merespons dinamika di Indo-Pasifik. Melalui ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP), ASEAN mengambil inisiatif menjaga perdamaian, keamanan, stabilitas, dan kemakmuran di kawasan yang meliputi perairan tropika di Samudera Hindia, Samudera Pasifik bagian barat dan tengah, serta laut-laut pedalaman di wilayah Indonesia dan Filipina.

baca juga: Amerika Dukung Sikap Filipina di Laut China Selatan

Seiring meningkatnya tensi pertarungan di Indo-Pasifik, para pemimpin ASEAN juga telah bersepakat menggaungkan prinsip utama AOIP - centrality, inclusivity, dan complementarity- melalu kerja sama inklusif dan kongkret. Untuk itu AOIP membuka dialog dan kerja sama dengan semua negara tanpa terkecuali.

Dalam konteks pertarungan negara-negara gajah di kawasan ASEAN, positioning Kawasan Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (SEANWFZ) merupakan kesepakatan strategis yang diproduksi untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk. Pada 1971, ASEAN mendeklarasikan diri sebagai kawasan damai, bebas, dan netral dari senjata nuklir.

Pergerakan AS dan Sekutu

Manuver AS di kawasan Indo-Pasifik, LCS dan khususnya ASEAN bisa diibaratkan pergerakan tanpa bola. Secara perlahan tapi pasti, langkah yang bisa dikonsepsikan sebagai pengimbangan atau balance of power atas agresivitas China telah begitu jauh masuk dalam benteng pertahanan ASEAN. Negeri Paman Sam juga telah memanfaatkan beberapa negara di komunitas ini sebagai proxy melawan negeri Panda itu.

Memahami personality politic ala koboi yang menjadi karakter negeri adidaya tersebut, bukan tidak mungkin suatu saat negara-negara di ASEAN akan dibenturkan dengan Negeri Tirai Bambu. Sangat mungkin peringatan China bahwa AS adalah ‘’monster mengerikan" yang telah mengulurkan "tangan hitam" ke wilayah ini menjadi kenyataan jika para pemimpin ASEAN terjebak dalam perangkap permainannya.

Gerak-gerik AS di Indo-Pasifik, terutama di kawasan ASEAN, bukan hanya mengonsolidasikan dukungan negara-negara anti-China, tapi juga pergerakan militer. Konsolidasi, misalnya dilakukan lewat AUKUS. Pakta Pertahanan Jepang-Filipina juga bisa dipahami sebagai minilateralisme, tapi juga proxy AS untuk head to head China. Pembentukan AUKUS patut mendapat perhatian karena membuka pintu AS dan Inggris membantu Australia mengembangkan 8 kapal selam bertenaga nuklir.

baca juga: Militer China Menguntit Kapal Perang AS di Laut China Selatan

Secara militer, AS juga sudah menempatkan kekuatannya di beranda ASEAN, dalam hal ini di Australia dan Papua Nugini. Australia yang merupakan sekutu AUKUS, telah memberikan red carpet pada AS untuk menempatkan pangkalannya di Darwin, sebuah wilayah negeri down under yang paling dekat dengan Indonesia.

Dilansir BBC (24/10/2023), dalam beberapa tahun terakhir AS berjanji menggelontorkan sekitar USD2 miliar untuk peningkatan pangkalan dan fasilitas baru. Khusus di Darwin, rencananya akan dibangun pusat perencanaan dan operasi misi serta 11 tangki penyimpanan bahan bakar jet. PemerintahAustralia juga berencana membangun sebuah pelabuhan baru di wilayah utara khusus untuk menampung pasukan Korps Marinir Angkatan Laut AS.

Rencana ini dilakukan Negeri Kanguru sebagai upaya menandingi pengaruh China. Masih di Darwin, AS juga akan membangun fasilitas militer untuk menampung kapal-kapal AS. Di tempat tersebut, AS juga menempatkan sekitar 2.000 prajurit marinirnya. Dan masih di dekat wilayah Indonesia timur, militerAS bersama Australia juga sudah diberikan izin menempatkan pasukan di pangkalan militerPapua Nugini.

Berdasarkan pakta keamanan terbaru, Washington bisa mengerahkan pasukan dan kapal di enam pelabuhan dan bandara utama, termasuk Pangkalan Angkatan Laut Lombrum di Pulau Manus dan fasilitas di ibu kota Port Moresby. Selain di beranda, AS juga sudah mendapatkan akses menempatkan pasukannya di jantung ASEAN, tepatnya di Filipina.

Berdasarkan kesepakatan Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA) pada tahun 2014, militer AS memperoleh akses ke lima pangkalan militer Filipina. Namun kesepakatan itu diperluas menjadi sembilan pangkalan militer. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk menandingi pengaruh China dan pembangunan pangkalan militer China di LCS.

Bergantung Komitmen ASEAN

Sejauh mana AS akan menancapkan kukunya di ASEAN dan sebesar apa ancaman akan dihadirkan, sangat tergantung negara-negara internal ASEAN. Jika mereka lengah, apalagi justru rela dijadikan proxy, tentu ancaman tersebut akan kian membesar. Memang tidak mungkin ASEAN melarang Filipina membuat pakta pertahanan dengan Jepang atau memberikan wilayahnya dijadikan pangkalan militer AS, karena Manila memiliki pertimbangan geopolitik tersendiri demi menghadapi ancaman China yang nyata di depan mata mereka. Lantas harus bagaimana?

Jawabannya adalah kesadaran negara-negara ASEAN di tengah rivalitas adidaya untuk tetap memegang prinsip berdirinya ASEAN dan memastikan meminimalisir campur tangan luar dengan segala bentuk manifestasinya. Kondisi juga tergantung negara-negara ASEAN juga tetap kokoh menggunakan TAC sebagai pedoman, hingga berupaya semaksimal mungkin menjauhkan dari campur tangan eksternal, dan menolak penggunaan ancaman dan kekerasan.

baca juga: Konflik Laut China Selatan Memanas, Kapal China dan Filipina Bertabrakan

Harus diakui, AS dan dunia internasional memiliki kepentingan terhadap LCS mengingat begitu vitalnya perairan tersebut bagi jalur perdagangan internasional dan transportasi energi. Seperti pernah diungkap data CSIS dan World Maritim Council, sekitar 25 persen lalu lintas pelayaran dunia melewati kawasan ini dengan valuasi barang mencapai USD5,3 triliun. Demi menjamin kepentingan ekonomi dan mewujudkan kebebasan navigasi, AS dan beberapa negara sekutu mengirim kapal perang untuk melakukan patroli di LCS.

Persoalannya, dalam konflik tersebut negara di ASEAN telah membuka pintu lebar kepada AS dan sekutunya untuk terlibat lebih jauh dalam konflik vis a vis China, seperti ditunjukkan Filipina. Sejatinya, langkah demikian telah menabrak prinsip maupun pedoman yang menjadi pegangan ASEAN. Entah sadar atau tidak, Pinoy menyeret ‘tangan hitam’ -seperti diistilahkan Beijing- masuk ke konflik di wilayah ASEAN.

Risiko tertinggi yang menjadikan ASEAN sebagai teater konflik bisa dihindari bila negara-negara ASEAN tetap mengedepankan dialog dengan pihak-pihak berkepentingan secara terus menerus. Prinsip utama AOIP -centrality, inclusivity, dan complementarity- harus digaungkan dengan lewat dialog dan kerja sama dengan semua negara tanpa terkecuali, termasuk China maupun AS.

Tanpa kesadaran tersebut, bukan tidak mungkin AS lambat laun akan semakin menancapkan kukunya di ASEAN, bukan hanya di Filipina, tapi ke Singapura atau negara-negara di kawasan lainnya yang berbenturan dengan China di LCS. Pergeseran militer AS untuk secara masif ke ASEAN tinggal selangkah lagi karena mereka sudah menempatkan pasukannya di pangkalan yang bertempat di Darwin dan Papua Nugini.

Dinamika tersebut sudah pasti akan memancing China memperkokoh kehadiran militernya di ASEAN dengan menumpuk lebih banyak armada kapal perang maupun pesawat tempur di pulau buatannya, hingga kawasan damai ini menjadi medan konflik sesungguhnya. Di sisi lain, langkah terlalu jauh yang ditunjukkan Filipina atau negara lain untuk melibatkan AS juga bisa mengancam soliditas internal ASEAN. Karena bagaimana pun, sejumlah negara di ASEAN seperti Laos, Kamboja, dan Myanmar memiliki kedekatan dengan Beijing.

baca juga: Aktivitas China di Laut China Selatan Picu Kekhawatiran Krisis Lingkungan

Tak kalah pentingnya, negara-negara ASEAN juga harus tetap berkomitmen menjaga ASEAN sebagai kawasan damai, bebas, dan netral dari senjata nuklir. Rasa was-was akan dilanggarnya kesepakatan itu muncul seiring masuknya kapal induk bertenaga nuklir milik AS, USS Carl Vinson, di Singapura pada akhir 2023 lalu. Dalam konteks geomiliter, tak bisa dimungkiri kehadiran rombongan besar kekuatan AS itu untuk menggertak China dari dalam rumah ASEAN.

Sekali lagi, bagaimana masa depan ASEAN dalam menyikapi dinamika tarik-menarik kekuatan dunia di wilayahnya sangat bergantung pada komitmen negara-negara ASEAN untuk menjaga komunitasnya sebagai wilayah paling stabil di dunia. Bukan hanya untuk ASEAN, tapi juga Indo-Pasifik dan dunia.

Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antoni Guterres pada ASEAN-UN Summit di Jakarta akhir tahun 2023 mengapresiasi ASEAN sebagai penting bagi persatuan dunia. Capaian ini harus dijaga dengan mewaspadai berbagai manuver kekuatan besar dunia, termasuk AS, hingga sekali lagi tidak terjebak permainan mereka. (*)
(hdr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1129 seconds (0.1#10.140)