Power Wheeling, Pasal 33, dan Agenda Transisi Energi
Senin, 24 Juni 2024 - 17:34 WIB
Dengan kata lain, IPP produsen listrik berbasis EBET dapat langsung menjual setrumnya ke konsumen dengan ‘menyewa’ jaringan transmisi dan distribusi PLN. Mereka tidak harus menjual listriknya melalui PLN, tetapi langsung ke pelanggan dengan memanfaatkan fasilitas PLN.
Ini adalah praktik terselubung unbundling system untuk menciptakan pasar MBMS (Multi Buyers Multi Sellers). PLN akan dipaksa memisahkan unit usaha pembangkitan dengan unit usaha transmisi, distribusi, dan penjualan.
Skenario liberalisasi menunggangi RUU EBET melalui power wheeling atas nama transisi energi. Mekanismenya terselubung, tidak terbuka melalui revisi UU Ketenagalistrikan, tetapi melalui RUU EBET. Ada tiga pertanyaan yang patut diajukan.
Pertama, bolehkah sebuah kebijakan dirancang untuk membelakangi konstitusi, meskipun atas nama transisi energi? Kedua, adakah jaminan skema power wheeling akan menaikkan porsi EBET dalam bauran pembangkit listrik nasional? Ketiga, apakah power wheeling dapat menjamin harga listrik yang terjangkau untuk konsumen?
Putusan MK menjawab pertanyaan pertama. BUMN listrik nasional, dhi. PLN, wajib diprioritaskan untuk menjalankan usaha ketenagalistrikan secara terintegrasi. Bahkan, dalam hal PLN belum bisa efisien, itu bukan alasan untuk meninggalkan PLN dan menyerahkan sektor ketenagalistrikan kepada swasta (MK, 2004: 348-49).
Jika power wheeling dipaksakan lolos, sangat mungkin klausul ini digugat ke MK dan dinyatakan inkonstitusional. Ini dapat mengacaukan kepastian hukum investasi EBET di Indonesia.
Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021 – 2030 yang disusun PLN adalah jawaban pertanyaan kedua. Porsi EBT dalam RUPTL direncanakan sebesar 20,9 GW atau 51,6% dari bauran ketenagalistrikan nasional. Dari jumlah itu, porsi IPP ditetapkan sebesar 11,8 GW atau 56,3%, lebih besar dibanding porsi PLN sendiri.
Artinya, PLN telah membuka seluasnya partisipasi IPP dalam pengembangan EBT, meski tetap dalam koridor skema Multi Buyers Single Seller (MBSS). Jika RUPTL dilaksanakan secara konsisten, ini lebih menjamin peningkatan EBT dalam bauran pembangkit, dibanding skenario power wheeling yang berpotensi merugikan PLN.
Studi kasus di berbagai negara terkait kenaikan tarif listrik akibat sistem unbundling adalah jawaban pertanyaan ketiga. Liberalisasi akan berakhir dengan pembentukan oligopoli swasta yang kekuatan pasarnya akan menyebabkan kenaikan tarif listrik. Ini terjadi di Perancis, Jerman, Belgia, dan Belanda (Percebois, 2008).
Ini adalah praktik terselubung unbundling system untuk menciptakan pasar MBMS (Multi Buyers Multi Sellers). PLN akan dipaksa memisahkan unit usaha pembangkitan dengan unit usaha transmisi, distribusi, dan penjualan.
Skenario Liberalisasi
Skenario liberalisasi menunggangi RUU EBET melalui power wheeling atas nama transisi energi. Mekanismenya terselubung, tidak terbuka melalui revisi UU Ketenagalistrikan, tetapi melalui RUU EBET. Ada tiga pertanyaan yang patut diajukan.
Pertama, bolehkah sebuah kebijakan dirancang untuk membelakangi konstitusi, meskipun atas nama transisi energi? Kedua, adakah jaminan skema power wheeling akan menaikkan porsi EBET dalam bauran pembangkit listrik nasional? Ketiga, apakah power wheeling dapat menjamin harga listrik yang terjangkau untuk konsumen?
Putusan MK menjawab pertanyaan pertama. BUMN listrik nasional, dhi. PLN, wajib diprioritaskan untuk menjalankan usaha ketenagalistrikan secara terintegrasi. Bahkan, dalam hal PLN belum bisa efisien, itu bukan alasan untuk meninggalkan PLN dan menyerahkan sektor ketenagalistrikan kepada swasta (MK, 2004: 348-49).
Jika power wheeling dipaksakan lolos, sangat mungkin klausul ini digugat ke MK dan dinyatakan inkonstitusional. Ini dapat mengacaukan kepastian hukum investasi EBET di Indonesia.
Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021 – 2030 yang disusun PLN adalah jawaban pertanyaan kedua. Porsi EBT dalam RUPTL direncanakan sebesar 20,9 GW atau 51,6% dari bauran ketenagalistrikan nasional. Dari jumlah itu, porsi IPP ditetapkan sebesar 11,8 GW atau 56,3%, lebih besar dibanding porsi PLN sendiri.
Artinya, PLN telah membuka seluasnya partisipasi IPP dalam pengembangan EBT, meski tetap dalam koridor skema Multi Buyers Single Seller (MBSS). Jika RUPTL dilaksanakan secara konsisten, ini lebih menjamin peningkatan EBT dalam bauran pembangkit, dibanding skenario power wheeling yang berpotensi merugikan PLN.
Studi kasus di berbagai negara terkait kenaikan tarif listrik akibat sistem unbundling adalah jawaban pertanyaan ketiga. Liberalisasi akan berakhir dengan pembentukan oligopoli swasta yang kekuatan pasarnya akan menyebabkan kenaikan tarif listrik. Ini terjadi di Perancis, Jerman, Belgia, dan Belanda (Percebois, 2008).
Lihat Juga :
tulis komentar anda