Membenahi Langkah dalam Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Kamis, 02 Mei 2024 - 06:00 WIB
Begitu juga dengan rerata nilai Ujian Nasional (UN) SMP yang terus mengalami penurunan dari 61,81 pada tahun pelajaran 2014/2015 turun menjadi 50,80 pada tahun pelajaran 2017/2018. Hal serupa juga dialami rerata nilai UN SMA/MA dari 58,27 pada 2014/2015 turun menjadi 50,80 pada tahun ajaran 2017/2018. Untuk SMK juga mempunyai kecenderungan serupa yakni terus turun dari 62,15 pada 2014/2015 menjadi 45,21 pada 2017/2018. Meskipun Kemendikbud Ristek selalu berargumentasi bahwa penurunan rerata UN dikarenakan pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) yang lebih mengedepankan integritas. Namun, pembiaran tersebut tanpa ada perubahan dalam sistem maupun proses merupakan suatu penurunan dalam mutu pendidikan.
Rendahnya mutu pendidikan Indonesia ini, berdampak pada karakter siswa. Masyarakat sungguh terkaget-kaget melihat beraninya seorang siswa menantang dan mencekik guru ketika ditegur. Kita juga terheran-heran melihat bagaimana siswa masa kini berani mengolok-ngolok gurunya sendiri. Dan kita juga tak bisa mempercayai, bagaimana seorang murid memukul gurunya hingga meninggal dunia. Semua ini merupakan hasil sistem pendidikan nasional. Tahun 2022 yang lalu, Digital Civility Index (DCI) yang dirilis oleh Microsoft menempatkan warganet Indonesia sebagai warganet yang paling biadab/tidak sopan se-Asia Pasifik, ini adalah antitesa pendidikan yang berlandasakan Pancasila. Mutu pendidikan di sini tidak berhenti pada kondisi murid saja, tetapi juga guru, tata kelola, kurikulum, sarana dan prasarana.
Mutu pendidikan yang rendah berdampak langsung dalam kehidupan masyarakat, seperti mudahnya percaya dengan kabar bohong tanpa menganalisanya lebih lanjut. Hal ini muncul pada kajian OECD di tahun 2021 yang menunjukkan bahwa anak Indonesia adalah kelompok yang paling tidak mampu membedakan antara fakta dengan opini karena tidak mampu mencari referensi yang kredibel. Mutu pendidikan yang rendah juga berdampak pada banyaknya siswa yang intoleran. Riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah menyebutkan sebanyak 43,88% mahasiswa dan pelajar. Padahal, menurut seorang wanita tuna netra sekaligus tuna rungu pertama yang memiliki gelar sarjana, Helen Keller, pencapaian tertinggi dari proses pendidikan adalah toleransi.
Rendahnya mutu pendidikan ini juga berakibat pada masalah ketenagakerjaan, contohnya banyak sekolah Satuan Pendidikan Kerja Sama (SPK), dulu dikenal dengan sekolah internasional atau sekolah nasional plus, yang memilih guru dari luar negeri dibandingkan guru lokal karena sulit menemukan yang memenuhi standar sekolah tersebut.
Kedua, memperluas konsep pendidikan yang tidak sebatas persekolahan saja. Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan kita mengatakan bahwa ekosistem pendidikan yang ideal itu harus terdiri dari tiga (3) sentra: rumah; sekolah; masyarakat.
Harus diakui bahwa selama ini rumah-rumah orang Indonesia belum dijadikan sebagai sentra pendidikan bahkan para orang tua banyak sekali yang memiliki konsep alih daya (outsourcing) karena kurangnya kepercayaan diri dalam mendidik buah hatinya. Anak dikirimkan ke pesantren atau asrama, pasrahkan urusan pendidikan kepada sekolah, pulang sekolah serahkan ke guru les/bimbingan belajar, semua berujung ke skor/angka di sekolah bahkan sampai menghalalkan segala cara seperti kasus yang baru saja terungkap di Universitas Lampung dan Universitas Udayana.
Kasus yang serupa bahkan terjadi di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Banyak orang tua akan menghalalkan segala cara agar anaknya diterima di lembaga pendidikan tertentu. Ini yang sangat bertentangan dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Alih-alih mendidik agar anak berintegritas, jujur, bekerja keras, beretika, yang muncul justru bagaimana menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Logikanya, jika masuknya dengan cara 'nyogok' pasti lulusnya juga dengan cara yang sama. Apakah ini yang akan kita siapkan sebagai generasi penerus bangsa? Apakah ini yang kita impikan sebagai Indonesia Emas?
Dengan demikian, pendidikan di rumah dan di masyarakat harusnya mendapatkan porsi yang seimbang dengan pendidikan di sekolah. Dua hal ini adalah yang belum terlaksana dengan baik dalam Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku saat ini dan tampaknya dalam draf RUU Sisdiknas yang baru juga belum terakomodasi. Harus kita pahami bersama yang disusun adalan Sistem Pendidikan Nasional bukan Sistem Persekolahan Nasional.
Ketiga, belum terbukanya akses pendidikan. Meskipun ada Kartu Indonesia Pintar (KIP), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bahkan KIP Kuliah untuk perguruan tinggi, namun persentase peningkatan Angka Partisipasi Murni (APM) kurang dari satu persen pertahun dalam kurun waktu delapan tahun terakhir. Apa penyebabnya? Tak lain karena sekolah negeri didominasi siswa dari golongan ekonomi atas, serta pembangunan unit sekolah belum berdasarkan data. Banyak daerah yang daya tampung sekolah diatas jumlah siswa usia sekolah.
Rendahnya mutu pendidikan Indonesia ini, berdampak pada karakter siswa. Masyarakat sungguh terkaget-kaget melihat beraninya seorang siswa menantang dan mencekik guru ketika ditegur. Kita juga terheran-heran melihat bagaimana siswa masa kini berani mengolok-ngolok gurunya sendiri. Dan kita juga tak bisa mempercayai, bagaimana seorang murid memukul gurunya hingga meninggal dunia. Semua ini merupakan hasil sistem pendidikan nasional. Tahun 2022 yang lalu, Digital Civility Index (DCI) yang dirilis oleh Microsoft menempatkan warganet Indonesia sebagai warganet yang paling biadab/tidak sopan se-Asia Pasifik, ini adalah antitesa pendidikan yang berlandasakan Pancasila. Mutu pendidikan di sini tidak berhenti pada kondisi murid saja, tetapi juga guru, tata kelola, kurikulum, sarana dan prasarana.
Mutu pendidikan yang rendah berdampak langsung dalam kehidupan masyarakat, seperti mudahnya percaya dengan kabar bohong tanpa menganalisanya lebih lanjut. Hal ini muncul pada kajian OECD di tahun 2021 yang menunjukkan bahwa anak Indonesia adalah kelompok yang paling tidak mampu membedakan antara fakta dengan opini karena tidak mampu mencari referensi yang kredibel. Mutu pendidikan yang rendah juga berdampak pada banyaknya siswa yang intoleran. Riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah menyebutkan sebanyak 43,88% mahasiswa dan pelajar. Padahal, menurut seorang wanita tuna netra sekaligus tuna rungu pertama yang memiliki gelar sarjana, Helen Keller, pencapaian tertinggi dari proses pendidikan adalah toleransi.
Rendahnya mutu pendidikan ini juga berakibat pada masalah ketenagakerjaan, contohnya banyak sekolah Satuan Pendidikan Kerja Sama (SPK), dulu dikenal dengan sekolah internasional atau sekolah nasional plus, yang memilih guru dari luar negeri dibandingkan guru lokal karena sulit menemukan yang memenuhi standar sekolah tersebut.
Perbaikan Mutu Pendidikan Indonesia
Untuk membenahi mutu pendidikan bukanlah hal yang bisa dilakukan sekejab mata. Dalam tulisan ini, ada beberapa hal yang perlu dibenahi oleh pemerintah. Pertama, perlu adanya evaluasi terhadap anggaran pendidikan. Total anggaran yang sudah digelontorkan untuk bidang pendidikan sejak 2014 hingga 2024 saja sudah mencapai Rp4.960,77 triliun. Sangat besar anggarannya tapi pengelolaannya berbeda dengan anggaran yang digunakan untuk infrastruktur, di mana telah dievaluasi oleh berbagai pihak. Bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani kerap kali mengatakan bahwa penggunaan anggaran pendidikan belum optimal. Pemerintah Daerah sendiri dibiarkan untuk melanggar UUD 1945 pasal 31 ayat 4 dan UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 49 dimana mereka wajib untuk mengalokasikan minimal 20% dari APBD diluar gaji pendidik , data diambil dari Neraca Pendidikan Daerah (https://npd.kemdikbud.go.id)Kedua, memperluas konsep pendidikan yang tidak sebatas persekolahan saja. Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan kita mengatakan bahwa ekosistem pendidikan yang ideal itu harus terdiri dari tiga (3) sentra: rumah; sekolah; masyarakat.
Harus diakui bahwa selama ini rumah-rumah orang Indonesia belum dijadikan sebagai sentra pendidikan bahkan para orang tua banyak sekali yang memiliki konsep alih daya (outsourcing) karena kurangnya kepercayaan diri dalam mendidik buah hatinya. Anak dikirimkan ke pesantren atau asrama, pasrahkan urusan pendidikan kepada sekolah, pulang sekolah serahkan ke guru les/bimbingan belajar, semua berujung ke skor/angka di sekolah bahkan sampai menghalalkan segala cara seperti kasus yang baru saja terungkap di Universitas Lampung dan Universitas Udayana.
Kasus yang serupa bahkan terjadi di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Banyak orang tua akan menghalalkan segala cara agar anaknya diterima di lembaga pendidikan tertentu. Ini yang sangat bertentangan dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Alih-alih mendidik agar anak berintegritas, jujur, bekerja keras, beretika, yang muncul justru bagaimana menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Logikanya, jika masuknya dengan cara 'nyogok' pasti lulusnya juga dengan cara yang sama. Apakah ini yang akan kita siapkan sebagai generasi penerus bangsa? Apakah ini yang kita impikan sebagai Indonesia Emas?
Dengan demikian, pendidikan di rumah dan di masyarakat harusnya mendapatkan porsi yang seimbang dengan pendidikan di sekolah. Dua hal ini adalah yang belum terlaksana dengan baik dalam Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku saat ini dan tampaknya dalam draf RUU Sisdiknas yang baru juga belum terakomodasi. Harus kita pahami bersama yang disusun adalan Sistem Pendidikan Nasional bukan Sistem Persekolahan Nasional.
Ketiga, belum terbukanya akses pendidikan. Meskipun ada Kartu Indonesia Pintar (KIP), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bahkan KIP Kuliah untuk perguruan tinggi, namun persentase peningkatan Angka Partisipasi Murni (APM) kurang dari satu persen pertahun dalam kurun waktu delapan tahun terakhir. Apa penyebabnya? Tak lain karena sekolah negeri didominasi siswa dari golongan ekonomi atas, serta pembangunan unit sekolah belum berdasarkan data. Banyak daerah yang daya tampung sekolah diatas jumlah siswa usia sekolah.
Lihat Juga :
tulis komentar anda