Membenahi Langkah dalam Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Kamis, 02 Mei 2024 - 06:00 WIB
Adanya KIP yang diluncurkan pada 2014, tidak terbukti meningkatkan APM. Untuk SD, kenaikan hanya 0,77 persen sejak 2014, SMP yakni 0,87 persen, dan SMA sederajat hanya 0,92 persen berdasarkan data BPS. KIP memang meningkatkan jumlah siswa yang bersekolah, tapi secara persentase hanya dibawah satu persen. Jumlah yang tidak signifikan dibandingkan dengan anggarannya.
Sebaiknya pemerintah didorong untuk berkonsentrasi untuk memenuhi Wajib Belajar 9 tahun dengan langkah-langkah yang kreatif dan inovatif. Langkah-langkah yang bisa diambil antara lain: membuka sekolah piagam (charter school) yaitu sekolah yang 100% biayanya dari pemerintah tetapi penyelenggara dan sarana/prasarana pendidikan berasa dari pihak swasta; menjadikan sekolah negeri menjadi sekolah negara yang statusnya sebagai satuan kerja instansi pemerintah (satker) sehingga pembiayaan sesuai dengan kebutuhan bukan berdasarkan jumlah siswa; membangun sekolah-sekolah berasrama untuk peserta didik yang berada di daerah terpencil; dan lain sebagainya. Jika ada perubahan nyata, maka Angka Partisipasi Murni (APM) akan meningkat.
Keempat, tata kelola guru perlu perbaikan. Rasio guru dan murid kita lebih unggul dibandingkan negara lain. Untuk SD, rasio guru dan murid 1:14 atau dengan kata lain, satu guru mengajar 14 siswa. Untuk SMP dan SMA rasionya adalah 1:15, dan rasio guru dan murid untuk SMK lebih unggul lagi yakni 1:6. Rasio ini hanya kalah dibandingkan Jepang, tapi dibandingkan Singapura, Amerika Serikat, Tiongkok, Indonesia jauh lebih unggul. Sayangnya, rasio siswa dan guru berhubungan dengan biaya, namun tidak dengan hasil pembelajaran.
Bahkan data dari Kemendikbud (2015) menyebutkan pertumbuhan jumlah siswa di lembaga pendidikan dasar menengah selama kurun waktu 1999 hingga 2015, sebesar 17%. Disisi lain dalam kurun waktu yang sama, pertumbuhan guru PNS sebanyak 23 persen dan guru honorer 860%. Atau dengan kata lain, pertumbuhan tenaga pendidik melampau peserta didik. Sayangnya langkah yang diambil pemerintah justru merekrut 1 juta guru PPPK, yang tentu saja berantakan karena tanpa kajian dan koordinasi yang baik.
Selain itu, kompetensi guru pun harus mendapatkan perhatian lebih. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) hanya guru di 10 provinsi yang memiliki nilai diatas rata-rata 56,69. Lainnya nilai UKG dibawah rata-rata. Pertanyaannya, bagaimana mungkin anak-anak kita diajar oleh guru-guru yang kompetensinya dibawah rata-rata. Laporan ACDP Indonesia menyebutkan mendekati 14 persen guru di Tanah Air bolos mengajar.
Yang kelima, perlu dilakukan evaluasi terhadap Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Selama ini, lulusan LPTK jauh lebih banyak dibandingkan yang diserap oleh dunia pendidikan. Misalnya dari 300.000 lulusan yang dihasilkan LPTK setiap tahunnya, yang diserap kurang dari separuhnya yakni sekitar 120.000 lulusan. Ini menunjukkan dalam membuat kebijakan tidak disesuaikan dengan kebutuhan. LPTK juga tidak hanya sekedar meluluskan tenaga pendidik, tetapi menghasilkan tenaga pendidik yang kompeten, melakukan sertifikasi tenaga pendidik, hingga inovasi pembelajaran di era Revolusi Industri 4.0 untuk menyongsong kehidupan masyarakat (society) 5.0.
Keenam, sarana dan prasarana pendidikan juga mengalami kendala. Sebanyak 75% sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan. Bagaimana berbicara menghadapi tantangan masyarakat 5.0 yang berbasis digital, jika ANBK saja belum bisa 100 persen, server selalu bermasalah, akses listrik dan internet belum merata diseluruh sekolah. Kesulitan pelaksanaan pembelajaran selama pandemi harusnya segera dicarikan solusinya. Daftar barang yang tercantum dalam Dana Alokasi Khusus banyak memiliki spesifikasi yang sudah kadaluwarsa artinya sudah ketinggalan zaman, disini menunjukkan bahwa pemerintah sendiri tidak tahu kebutuhan peralatan pendidikan yang sesuai dengan eranya. Pemerintah dapat meniru negara-negara lain yang setiap tahun selalu menyelenggarakan pameran peralatan pendidikan sehingga produsen dapat menunjukkan teknologi termutakhir untuk melengkapi sarana dan prasarana lembaga pendidikan. Data Pokok Pendidikan (dapodik) juga memiliki kendala. Hal-hal tersebut diatas perlu mendapatkan perhatian lebih.
Ketujuh, tupoksi antar lembaga pelaksana pendidikan nasional masih belum jelas. Misalnya untuk masalah sentralisasi atau otonomi daerah, kalau otonomi daerah mengapa madrasah masih dibawah pemerintah pusat melalui Kementerian Agama. Sementara kalau sentralisasi, mengapa Kemendikbud Ristek tidak punya otoritas mengatur guru. Pemerintah daerah juga tidak memiliki program sendiri, cenderung meniru Kemendikbud Ristek. Selain itu, pemerintah daerah lebih memilih berkoordinasi dengan Kemendagri dibandingkan Kemendikbud Ristek. Salah satu ide yang dapat diterapkan adalah menempatkan Kemendikbud Ristek sebagai compliance agent atau Lembaga penjamin mutu pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dibandingkan dengan kondisi sekarang yang tumpang tindih tupoksinya.
Merujuk pada Peraturan Presiden No 76 Tahun 2023 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2024, anggaran pendidikan yang jumlahnya 20% (dua puluh persen) dari APBN, ternyata hampir separuh dari anggaran pendidikan dialokasikan untuk 22 kementerian dan lembaga negara yang tidak mengurusi bidang pendidikan sama sekali. Dan alokasi anggaran tersebut tidak pernah dijabarkan dalam Sistem Pendidikan Nasional baik pada UU No 20 Tahun 2003. Ironisnya, Kementerian Keuangan dan Kementerian PPN / Bappenas yang menyusun alokasi anggaran pendidikan tidak disebutkan dalam sistem pendidikan nasional. Dengan kata lain anggaran pendidikan Indonesia berada di luar Sistem Pendidikan Nasional.
Kondisi tersebut menunjukkan kalau Indonesia masih menerapkan Multi Sistem Pendidikan Nasional yang tentunya bertentangan dengan konstitusi. Seyogyanya, Sistem Pendidikan Nasional harus ditata ulang sesuai dengan amanat konstitusi yang diselenggarakan dalam satu sistem saja. Perlu sebuah langkah out of the box tanpa menggunakan kerangka yang sudah ada, misalnya dengan menggunakan sistem distrik sekolah. Distrik sekolah adalah lembaga pemerintah yang tugasnya khusus mengurusi sekolah dibuat berdasarkan wilayah tetapi berbeda dengan batas kota/kabupaten, dan manajemen lembaga ini terlepas dari komando pemerintah kota / kabupaten (bukan seperti dinas pendidikan). Orang-orang yang dipilih untuk mengelola lembaga ini adalah para profesional di bidang pendidikan sehingga bukan jabatan karir maupun politik.
Sebaiknya pemerintah didorong untuk berkonsentrasi untuk memenuhi Wajib Belajar 9 tahun dengan langkah-langkah yang kreatif dan inovatif. Langkah-langkah yang bisa diambil antara lain: membuka sekolah piagam (charter school) yaitu sekolah yang 100% biayanya dari pemerintah tetapi penyelenggara dan sarana/prasarana pendidikan berasa dari pihak swasta; menjadikan sekolah negeri menjadi sekolah negara yang statusnya sebagai satuan kerja instansi pemerintah (satker) sehingga pembiayaan sesuai dengan kebutuhan bukan berdasarkan jumlah siswa; membangun sekolah-sekolah berasrama untuk peserta didik yang berada di daerah terpencil; dan lain sebagainya. Jika ada perubahan nyata, maka Angka Partisipasi Murni (APM) akan meningkat.
Keempat, tata kelola guru perlu perbaikan. Rasio guru dan murid kita lebih unggul dibandingkan negara lain. Untuk SD, rasio guru dan murid 1:14 atau dengan kata lain, satu guru mengajar 14 siswa. Untuk SMP dan SMA rasionya adalah 1:15, dan rasio guru dan murid untuk SMK lebih unggul lagi yakni 1:6. Rasio ini hanya kalah dibandingkan Jepang, tapi dibandingkan Singapura, Amerika Serikat, Tiongkok, Indonesia jauh lebih unggul. Sayangnya, rasio siswa dan guru berhubungan dengan biaya, namun tidak dengan hasil pembelajaran.
Bahkan data dari Kemendikbud (2015) menyebutkan pertumbuhan jumlah siswa di lembaga pendidikan dasar menengah selama kurun waktu 1999 hingga 2015, sebesar 17%. Disisi lain dalam kurun waktu yang sama, pertumbuhan guru PNS sebanyak 23 persen dan guru honorer 860%. Atau dengan kata lain, pertumbuhan tenaga pendidik melampau peserta didik. Sayangnya langkah yang diambil pemerintah justru merekrut 1 juta guru PPPK, yang tentu saja berantakan karena tanpa kajian dan koordinasi yang baik.
Selain itu, kompetensi guru pun harus mendapatkan perhatian lebih. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) hanya guru di 10 provinsi yang memiliki nilai diatas rata-rata 56,69. Lainnya nilai UKG dibawah rata-rata. Pertanyaannya, bagaimana mungkin anak-anak kita diajar oleh guru-guru yang kompetensinya dibawah rata-rata. Laporan ACDP Indonesia menyebutkan mendekati 14 persen guru di Tanah Air bolos mengajar.
Yang kelima, perlu dilakukan evaluasi terhadap Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Selama ini, lulusan LPTK jauh lebih banyak dibandingkan yang diserap oleh dunia pendidikan. Misalnya dari 300.000 lulusan yang dihasilkan LPTK setiap tahunnya, yang diserap kurang dari separuhnya yakni sekitar 120.000 lulusan. Ini menunjukkan dalam membuat kebijakan tidak disesuaikan dengan kebutuhan. LPTK juga tidak hanya sekedar meluluskan tenaga pendidik, tetapi menghasilkan tenaga pendidik yang kompeten, melakukan sertifikasi tenaga pendidik, hingga inovasi pembelajaran di era Revolusi Industri 4.0 untuk menyongsong kehidupan masyarakat (society) 5.0.
Keenam, sarana dan prasarana pendidikan juga mengalami kendala. Sebanyak 75% sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan. Bagaimana berbicara menghadapi tantangan masyarakat 5.0 yang berbasis digital, jika ANBK saja belum bisa 100 persen, server selalu bermasalah, akses listrik dan internet belum merata diseluruh sekolah. Kesulitan pelaksanaan pembelajaran selama pandemi harusnya segera dicarikan solusinya. Daftar barang yang tercantum dalam Dana Alokasi Khusus banyak memiliki spesifikasi yang sudah kadaluwarsa artinya sudah ketinggalan zaman, disini menunjukkan bahwa pemerintah sendiri tidak tahu kebutuhan peralatan pendidikan yang sesuai dengan eranya. Pemerintah dapat meniru negara-negara lain yang setiap tahun selalu menyelenggarakan pameran peralatan pendidikan sehingga produsen dapat menunjukkan teknologi termutakhir untuk melengkapi sarana dan prasarana lembaga pendidikan. Data Pokok Pendidikan (dapodik) juga memiliki kendala. Hal-hal tersebut diatas perlu mendapatkan perhatian lebih.
Ketujuh, tupoksi antar lembaga pelaksana pendidikan nasional masih belum jelas. Misalnya untuk masalah sentralisasi atau otonomi daerah, kalau otonomi daerah mengapa madrasah masih dibawah pemerintah pusat melalui Kementerian Agama. Sementara kalau sentralisasi, mengapa Kemendikbud Ristek tidak punya otoritas mengatur guru. Pemerintah daerah juga tidak memiliki program sendiri, cenderung meniru Kemendikbud Ristek. Selain itu, pemerintah daerah lebih memilih berkoordinasi dengan Kemendagri dibandingkan Kemendikbud Ristek. Salah satu ide yang dapat diterapkan adalah menempatkan Kemendikbud Ristek sebagai compliance agent atau Lembaga penjamin mutu pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dibandingkan dengan kondisi sekarang yang tumpang tindih tupoksinya.
Merujuk pada Peraturan Presiden No 76 Tahun 2023 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2024, anggaran pendidikan yang jumlahnya 20% (dua puluh persen) dari APBN, ternyata hampir separuh dari anggaran pendidikan dialokasikan untuk 22 kementerian dan lembaga negara yang tidak mengurusi bidang pendidikan sama sekali. Dan alokasi anggaran tersebut tidak pernah dijabarkan dalam Sistem Pendidikan Nasional baik pada UU No 20 Tahun 2003. Ironisnya, Kementerian Keuangan dan Kementerian PPN / Bappenas yang menyusun alokasi anggaran pendidikan tidak disebutkan dalam sistem pendidikan nasional. Dengan kata lain anggaran pendidikan Indonesia berada di luar Sistem Pendidikan Nasional.
Kondisi tersebut menunjukkan kalau Indonesia masih menerapkan Multi Sistem Pendidikan Nasional yang tentunya bertentangan dengan konstitusi. Seyogyanya, Sistem Pendidikan Nasional harus ditata ulang sesuai dengan amanat konstitusi yang diselenggarakan dalam satu sistem saja. Perlu sebuah langkah out of the box tanpa menggunakan kerangka yang sudah ada, misalnya dengan menggunakan sistem distrik sekolah. Distrik sekolah adalah lembaga pemerintah yang tugasnya khusus mengurusi sekolah dibuat berdasarkan wilayah tetapi berbeda dengan batas kota/kabupaten, dan manajemen lembaga ini terlepas dari komando pemerintah kota / kabupaten (bukan seperti dinas pendidikan). Orang-orang yang dipilih untuk mengelola lembaga ini adalah para profesional di bidang pendidikan sehingga bukan jabatan karir maupun politik.
Lihat Juga :
tulis komentar anda